Chereads / Should Be / Chapter 1 - Bab 01 : Awal Mula Katanya

Should Be

🇮🇩coureimmac
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 57.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 01 : Awal Mula Katanya

Semua manusia memiliki dua ketakutan yang sudah ia miliki sejak lahir ; yaitu takut akan suara keras dan takut akan jatuh.

Ya, semua manusia pada normalnya takut dengan suara keras dan jatuh bukan? Tapi bukannya kita bisa tidak takut lagi akan kedua hal itu. Ya, mungkin saja dengan menjadi seorang yang pemberani.

Seperti misalnya jika kamu mendengar suara keras, kamu harus bisa menutup telingamu agar suara tersebut tidak masuk ke indera pendengaranmu dan jika engkau berada di tempat ketinggian engkau tidak boleh takut akan jatuh dari situ, kamu harus berhati-hati jika berada di situ.

Ya, semua orang harus berani untuk melawan ketakutannya.

Ya, semua orang. Tanpa pengecualian sekalipun, walaupun engkau adalah anak seorang raja atau anak seorang presiden. Engkau harus berani dan tangguh.

"Yera, mau makan?" Tanya seseorang yang tengah berada di muka pintu kamarnya sambil menatap Yera yang tengah duduk tersungkur di ujung ranjang.

"Tidak usah, aku akan sarapan di sekolah." Ketusnya dingin, tanpa memperdulikan orang yang tengah bertanya kepadanya.

Wanita tersebut menghembuskan nafasnya secara kasar dan pergi meninggalkan kamar milik seorang gadis muda. Samar-samar mendengarkan jejak kaki kepergiannya, Ave Shayera Purnamasan melirik sebentar muka pintunya yang tidak ditutup rapat oleh wanita tersebut.

Ave Shayera Purnamasan kembali menatap bingkai foto keluarganya yang sedang bergantung di tangan kanannya. Bingkai foto yang telah dihujani oleh air mata seorang gadis muda yang masih saja memikirkan masa silam tersebut.

Kalau boleh jujur, Ave Shayera Purnamasan yang akrab dipanggil Yera itu sangat membenci tangisan. Tangis itu buat orang yang bodoh dan jika kau menangis, kau adalah orang bodoh tersebut.

Secara tidak sadar, Yera mengatakan dirinya sendiri bodoh.

Bingkai foto yang kira-kira sudah berumur enam tahun lamanya. Bingkai foto—yang kala itu diadakan pemotretan untuk foto keluarganya, umur Yera sekitar sebelas tahun. Yera asyik bermain dengan adiknya dan sesekali kakaknya menganggu dirinya dan adiknya.

"Kak Yera, aku sudah ganteng belum?"

"Sudah dong, kan adik kakak selalu ganteng."

"Mami, kak Gia ngolokin aku. . ."

"Pelaporan cuih,"

"Kakak Gia, adik. Sudah jangan bertengkar!"

"Papi nanti foto sama aku ya? Ya ya?"

Klise memori lama kembali berputar di otaknya, sebuah adegan rekaman singkat tenang percakapan sebuah keluarga yang bahagia melakukan pemotretan foto keluarga.

Tapi siapa yang tahu, jika itu merupakan pemotretan foto keluarga mereka untuk terakhir kalinya. Yera tersenyum tipis menatap foto keluarga miliknya yang telah usang dimakan oleh waktu.

BEPP

Suara alarm di jam tangan kirinya berbunyi, pertanda ia harus segera pergi ke sekolahnya.

"Yera makan du—" ingin melanjutkan ucapannya, pria itu menatap lurus ke arah Yera yang tidak meresponnya. Yera pergi begitu saja dari hadapan dua orang tersebut.

"Sudah mas, biar aku aja yang ngantar bekel buatnya." Wanita tersebut menatap suaminya sambil tersenyum. Ia menatap kepergian Yera, sampai kapan Yera mau menerimanya?

**

Yera mengendari motor Scoopy berwarna hitam menuju sekolahnya, jalanan pagi menuju sekolah kali ini tidak terlalu padat. Yera hanya perlu membutuhkan 15 menit sampai ke sekolahnya.

Yera memarkirkan motor miliknya di daerah ladang parkiran milik siswa SMA Cendekia Nusantara. Yera segera melepaskan helmnya yang berwarna hijau dengan stiker matahari menempel di bagian belakang menjadi ciri khas dari helm milik Ave Shayera Purnamasan.

Sambil berjalan menuju ke kelasnya, Yera memasukkan AirPods ke dalam kedua telinganya yang terhubung dari bluetooth handphone tersebut. Lagu milik band Indie Indonesia, Hindia dengan lagu secukupnya versi akustik berputar di telinganya.

"Kak Yera!" Panggil seseorang dari belakang badannya, walaupun samar-samar Yera menghapal suara milik orang tersebut.

"Apaan Injun?" Tanya Yera sambil melepas kedua AirPods miliknya dan menatap lelaki yang memanggil namanya tersebut.

"Kak, ini ada titipan dari tante Salma. Katanya suruh kak Yera makan nanti siang." Ucap lelaki yang memiliki nama panjang Artajuna Maheswara atau biasa dipanggil Injun—sedikit kaku sambil menunjuk bekel yang telah disiapkan oleh wanita yang bernama Salma.

"Makan aja, aku nggak butuh. Kalau bisa kalian bagi tiga sama Nana Nono ya," ucap Yera tak lupa menepuk pelan kepala adik kelasnya yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri.

"Kakak nggak mau cobain? Kasihan loh tante udah masakin tapi kakak nggak mau coba," ucap Injun sambil menunduk dan menatap ke arah bekel yang ia pegang.

"Nggak, bukan selera kakak. Yaudah kakak pergi dulu ya, Jun. Kakak baru ingat nanti ada UKD," Yera mengalihkan topik pembicaraan agar segera bebas dari permintaan Injun. Yera berbohong, mana ada Ulangan Harian hari ini dan ini sudah ke berapa kalinya wanita itu menitipkan makanan kepada Injun. Yera muak dengan pencitraannya yang sok baik di depan semua orang.

Akibat wanita itu, semuanya hancur dan pergi tanpa membawanya ikut. Yera benar-benar ingin meremas wanita itu dan memotong daging-dagingnya layaknya seorang psikopat yang puas menghabisi korbannya.

Yera tak sadar, kini dirinya telah berada diambang muka pintu kelasnya, XII Mipa 2. Yera segera masuk ke dalam kelasnya, sebagian menyapa Yera ketika Yera masuk ke dalam kelas, sebagian sibuk dengan handphonenya, dan sebagian sibuk dengan aktivitasnya masing-masing ya seperti tidur di pagi buta hingga memakan mie instan kesukaan mereka yang mereka pesan di kantin sekolah.

Yera duduk di bangku miliknya yang berada di belakang kelas dan segera mendudukkan dirinya, Yera menidurkan kepalanya di atas meja.

"Woy Yer. . . Woy. ." Panggil seseorang sambil menggoyangkan tubuh Yera yang sedang asyik memainkan pikirannya.

"Apansih?" Tanya Yera tanpa mengubah posisinya hanya menatap temannya yang tadi menggoyangkan tubuhnya dengan tatapan tajam.

"Lesu amet lo kayak cicak melahirkan," ujar temannya sambil mencongorkan bibirnya menatap Yera.

"Gublok tenan yo rek ternyata otakmu. Cicak sejak kapan sih melahirkan? Adanya bertelur." ujar Yera sambil menyentil dahi milik temannya tersebut.

"Ya gue kan nggak tahu, iya tahu anak kesayangannya bu May," ujar Dayang Ronnie Sianturi atau akrab dipanggil Daron tersebut.

"Bapak lo keceblung paret, sejak kapan sih gue jadi anak kesayangannya si May May itu?" Ungkap Yera kesal sambil menatap Daron dengan tajam.

"Kok out of the topic sih, ya sudah terserah lo. Lo mau jadi anak kesayangannya kah, anak kandungnya kah, anak pungutnya kah, anak asunya kah, anak pesugihannya kah, ora urus awakku! Gue nanya kenapa lo? Mukanya lesu amat kayak orang lagi patah hati." Ungkap Daron sambil melihat Yera yang sedang memijat punuk hidungnya secara perlahan.

"Haha nothing, sis. Everything is alright," ungkap Yera sambil tersenyum menatap Daron. Daron menatapnya untuk mendapatkan setitik kejujuran dari matanya. Tapi sepertinya apa yang Daron rasakan benar, everything isn't alright.

"Gue tahu lo bohong Shayera, honest." Daron menatap Yera yang sedang tersenyum seolah dirinya adalah barang yang kuat. Tidak ingin membuat Yera malu, Daron mengajak Yera keluar dari kelas menuju daerah belakang sekolah yang terkenal sepi. Hanya butuh tiga menit untuk sampai ke sana.

"Tell me everything in here. I'm here!" Ujar Daron sambil melihat teman akrabnya yang tengah bersusah payah tidak menangis ini tengah menunduk.

"Lagi dan lagi, dia seolah perduli denganku." Takluk Yera akhirnya, Yera menatap roknya yang sudah basah dengan air matanya.

"Ada lagi sesuatu yang lo sembunyikan, tell me!" Ujar Daron yang masih merasa Yera menyembunyikan sesuatu lain lagi baginya.

"Gue boleh ikut mereka ke sana nggak, Ron?"