Chereads / Should Be / Chapter 2 - Bab 02 : Rumah dan Pulang

Chapter 2 - Bab 02 : Rumah dan Pulang

Satu hal lagi yang Yera benci, yaitu harus pulang ke rumah yang tidak dilayak disebut rumah.

Entah sejak kapan Yera membenci tempat tinggal yang seharusnya ia panggil rumah tersebut. Tiga tahun lalu rumah merupakan tempat yang sangat Yera rindukan ketika ia ada di sekolah, rumah adalah tempatnya berpulang dan tempatnya ia beristirahat dengan tenang.

Tetapi setelah kepergian mami dan adiknya, Yera sangat membenci tempat tinggal yang dijuluki sebagai rumah tersebut.

Yera yang dulu suka berada di rumah sekarang membenci apa itu rumah. Dulu Yera sering ada di rumah sebagai tempatnya pulang kini ia menganggapnya sebagai neraka duniawi. Rumah yang seharusnya definisi tempat berpulang yang tepat sekarang tidak akan lagi dan tidak akan pernah ada lagi di hidup Yera.

Ketika pulang sekolah tiba, Yera akan pergi ke tempat lesnya untuk mendapatkan pelajaran tambahan. Itulah yang selalu ia lakukan tiga tahun belakangan ini. Ya sekarang ia sudah berada di kelas tiga akhir, ia harus semakin rajin mengikuti les yang ia ikuti.

Setelah selesai les, Yera biasanya akan pergi ke kafe peninggalan maminya untuk mengisi penampilan. Ya biasanya Yera akan membawa beberapa lagu untuk para pengunjung kafe. Mungkin sekarang musik adalah teman yang tepat bagi Yera.

Atau pula ia akan pergi ke gereja, pergi ke kapel dan berdoa kepada Bapa. Bapa merupakan teman sejati yang selalu dimiliki oleh manusia. Bapa adalah teman berbagi suka dan duka yang tepat.

Intinya, Yera menyibukkan dirinya agar ia tidak ada di rumah. Yera menganggap rumahnya yang sekarang menjadi tempat persinggahannya, tempatnya untuk tidur dan mandi.

"Woy. . . Lesu amet sih kayak nggak ada semangat hidupnya," ujar pria yang sedang duduk sebangku dengannya sambil menjentikkan jari di depan mukanya.

"Sana lo perhatiin bu Mia, nanti lo nggak ngerti lagi dan imbasnya kena gue juga." Ucap Yera datar sambil menidurkan kepalanya di atas meja.

"Tumben lesu amat, mau sate nggak?" Tanya pria itu sambil merapikan rambut milik Yera yang menutupi mukanya.

"Udah ah perhatiin sana bu Mia. Nanti lo nggak ngerti nanya gue, gue tebas lo!" Ujar Yera sambil menegakkan kepalanya dan memeloti temannya tersebut.

"Ah lo nih, malas tahu dengerin bu Mia ngomong. Itu mah pak Jancok sudah ngejelasin di kelas dan gue paham-paham aja," ujar Radhika Deryasphati, panggil saja dia Dery jangan Dhika, nanti dikira Raditya Dika.

Jika memang waktunya malas mendengarkan, Yera akan tak acuh dengan orang yang sedang berbicara di depan. Yera menatap Dery sekilas lalu memutarkan bola matanya karena kesal terhadap Dery.

"Nggak mau cerita? Gue dah baik meluangkan waktu gue dan terutama duit gue," ujar Dery sambil menaikkan alis kanan sambil tersenyum simpul.

"20 tusuk sate?" Ujar Yera sambil tersenyum licik menatap Dery.

"Licik lo! Pemerasan itu namanya," ujar Dery tak terima tak setuju dengan pendapat Yera.

"Lah gimana sih, ya udah gue habis ini mau ke gereja aja," ujar Yera sambil fokus kembali ke arah papan tulis di depan.

"Yaudah 20 tusuk, tapi janji nggak ada beli Shumoo?" Ujar Dery dengan tersenyum paksa menatap Yera yang telah tersenyum menang menatapnya.

"Deal."

**

Tidak usah berlama-lama, setelah jam habis mereka langsung pergi ke warung sate terdekat dari tempat les mereka. Yera turun sambil melepaskan helm hijau khasnya.

"Bang, seperti biasa. Tapi buat Yera 20 tusuk bang," ujar Dery kepada tukang sate yang tersenyum menatap kehadiran mereka berdua.

"Wokeh mas Dery, ngidam mbak Yer?" Canda tukang sate sambil tersenyum simpul menatap ke arah Yera yang tertawa tipis.

"Nggak bang, kebetulan ditraktir sama Dery jadi minta banyak-banyak," jawab Yera sambil tersenyum simpul ke arah tukang sate. Dery hanya menghela nafas, bukan kebetulan, setiap kali ke sini Dery selalu mentraktir Yera.

"Back to the topic yang kita bahas di les. Lo kenapa?" Tanya Dery antusias meminta jawaban Yera yang murung saja dari tadi di tempat les saat mereka duduk di bangku.

"Gue nggak kenapa-napa yaelah, santuy aja dong, Drol." Ungkap Yera sambil mengeluarkan handphonenya dari dalam saku hoodienya.

"Jangan bohong, mata lo bisa ungkapin kalau lo sedang berbohong!" Ujar Dery sedikit serius membuat Yera sedikit gugup untuk menjawabnya.

"Gue muak." Hanya itu yang bisa dia ungkapkan, ya memang seperti itu yang ia rasakan selama tiga tahun belakangan ini.

"Lo tahu ini sudah tahun ke berapa tante Jose sama Echan ninggalin lo?" Ujar Dery sambil menatap matanya yang berusaha mengalihkan ke arah pandangnya ke arah lain.

"Ketiga,"

"Dan lo belum pernah ngeikhlasin kepergian mereka. Hey dude, they will surely be sad. Jalan satu-satunya agar lo dan mereka bahagia adalah ikhlas." Ujar Dery sambil menatap sendu ke arah Yera.

"Lo nggak ngealamin yang gue rasakan, Der. Keluarga lo sempurna, my family no longer exists." Ucap Yera sambil menatap mata indah milik Dery. Yera bukannya tidak ikhlas, tapi mengapa Yera ditinggalkan sendirian ketika semua keterpurukan melanda dirinya.

"Lo masih punya papi lo, kak Gia dan tante Salma. Mereka keluarga lo, ingat! Dan jangan selalu menganggap kalau lo nggak bahagia! Di luar sana, ada yang lebih menderita dari lo," ujar Dery sambil menatap sendu ke arah Yera. Dery benci Yera yang selalu sedih seperti ini, seperti ada sekat yang berada di dadanya kala ia melihat Yera harus menangis, merutuki nasibnya dan menyalahkan dirinya sendiri.

"Mas mbak. . . Serius amat kayak mau Ijab Qabul," ujar tukang sate sambil menatap keduanya heran. Yera dan Dery menatap ke arah babang Hanung yang tengah menyodorkan makanan milik mereka.

"Nggak lah bang. Kita kan nggak Ijab Qabul, kita mah janji di depan altar," ujar Dery sambil menatap manis ke arah Yera.

"Yeay siapa yang juga mau nikah sama lo? Gue mah ogah banget," ujar Yera yang sebenarnya hanya bercanda.

Tapi mungkin berbeda pandangan dengan Dery, ia menganggap serius omongannya. Tetapi tolakan candaan dari Yera, yang entah mengapa membuat sekat di dadanya semakin terasa perih. Begini kah yang dinamakan cinta bertepuk sebelah tangan?

**

Yera mengingkari janji yang dibikin Dery, bukannya langsung pulang ke rumah tapi ia sempat-sempatnya mampir dulu ke gereja.

Sudah semakin malam, ia tak sadar jika ini sudah pukul setengah sembilan malam, Yera masuk ke dalam gereja yang sepi kali ini. Biasanya Yera akan mendapati beberapa orang yang sedang latihan koor untuk mengisi misa mingguan di gereja atau pertemuan rutin dari beberapa organisasi gereja.

Gereja sepi, ia hanya menyapa pak satpam yang selalu menjadi teman obrolnya kala ia berada di gereja. Yera pamitan untuk masuk ke dalam gereja.

Yera mendapati ruangan gereja gelap, ia menyalakan saklar lampu daerah altar agar terang kembali. Yera berjalan menuju piano yang berada di ujung kiri depan gereja.

Ia membuka kap penutup organ sambil membersihkan tuts-tuts di atasnya, mencolokkan kabel organ di sambungan listrik dan setelah itu jari-jari manisnya bermain indah di atas tuts-tuts organ tersebut.

Jari jemarinya bermain dengan indah di atas sana seolah sedang berdansa. Lagu milik Panbers yang berjudul Gereja Tua itu telah ia mainkan, lagu yang sering ia bawakan ketika penampilan di gereja. Biasanya ia akan membawa lagu ini bersama lagu milik Nikita yang berjudul Di Doa Ibuku.

Dua lagu gereja yang selalu menemani di kala sedih, sepertinya benar apa yang dikatakan oleh Alkitab. Suatu saat nanti engkau tidak perlu repot-repot mencariku, aku sudah berada di rumah Bapaku dengan tenang.

Tapi kapan ia akan kembali ke Bapa? Kapan ia akan bersatu dengan Bapa? Ia rindu dengan Bapa di Surga.

Satu hal yang ingin disampaikan, sepertinya teman terbaik dan selalu membantumu ialah Bapa, walaupun engkau telah jatuh didalam dosa.