Chereads / THE ROOMMATE 2 : SIDE STORIES (21++) / Chapter 48 - 47 ARINA & LEO : DUEL TERBUKA (2) – PIANO CHALLENGE (1)

Chapter 48 - 47 ARINA & LEO : DUEL TERBUKA (2) – PIANO CHALLENGE (1)

"Tunggu!!!" bentak Mariska tak terima.

Ia tidak rela kalah hari ini. Belum!!!

Langkah Arina dan Leo langsung terhenti dan mereka berdua lalu memalingkan kepalanya kea rah wanita keras kepala itu dengan tatapan bingung.

Masih ada lagi?

Sebenarnya mau apa sih gadis edan ini?

"Piano challenge!!" teriak Mariska gusar.

"Salah satu ciri bangsawan kelas atas adalah mereka mampu memainkan salah satu instrument alat music sebagai keterampilan dasarnya…"

Huh! Kali ini aku tidak akan kalah!!! Dengus Mariska di dalam hatinya.

"Piano!! Aku menantangmu untuk bermain piano!!!"

Kali ini, Mariska langsung tertawa terbahak-bahak di dalam hatinya. Piano adalah salah satu instrument music yang paling ia sukai dan kuasai dari kecil. Dari semua nada dasar dan music klasik sudah ia hafalkan di luar kepala.

Kali ini!!! Ya, kali ini!!

Ia tidak akan kalah!!

Pasti!

"Baiklah…." dengus Arina letih.

"Dimana lokasi pertandingannya?"

"Akan kuberitahukan kepada Leo nanti…"

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Arina mengangguk kecil dan segera melengos pergi. Diikuti oleh Leo yang mengekor di belakangnya.

...........

Rose Mansion, kamar tidur Arina

Leo menghela nafas panjang.

"Kau yakin bisa melakukannya, Sayang?" tanya Leo cemas sambil memainkan ujung rambut Arina yang sibuk tidur-tiduran setelah ia menyelesaikan kelas kepribadiannya hari itu.

"Lalu, kau pikir? Apa aku punya pilihan lain?" tanya Arina balik sambil mendelik.

"Ehmmm.. tidak juga sih.." balas Leo sambil terkekeh dan mencium puncak kepala gadis tersebut. Tak lama, pemuda itu lalu keluar kamar dan menutup pintu.

Begitu pintu kamar Arina ditutup, sebuah notifikasi pesan langsung masuk ke dalam ponselnya.

"Dua hari dari sekarang, Sotheby's Hall, pukul 10.00…"

...........

Dua hari kemudian, Sotheby's Hall, Pk 09.30.

Para tamu undangan sudah berdatangan dan duduk memenuhi ruangan aula dengan sangat tertib dan teratur. Sotheby Hall sendiri adalah salah satu tempat yang paling bergengsi di kota itu. Dengan penataan akustik yang luar biasa apik, tempat ini menjadi satu-satunya lokasi dimana hampir semua orchestra terkenal dan pertunjukan music internasional dilakukan.

Mariska sendiri sudah bersiap di belakang panggung. Mulutnya menyunggingkan senyum iblis. Ia sengaja mengundang berbagai kalangan terhormat dan berkuasa untuk menunjukkan kemahiran jari-jarinya yang lincah menari diatas tuts piano. Dengan kemampuannya, Mariska berniat untuk menunjukkan pihak mana yang lebih piawai untuk memainkan instrument ini sekaligus mempermalukan Arina habis-habisan di depan umum.

Ia ingin tahu, setelah dipermalukan begitu rupa, akankah hati Leo tetap berpegang teguh pada gadis tersebut? Sebagai pewaris tunggal klan yang paling berkuasa di dunia, bukankah sebaiknya ia membuat pilihan yang lebih bijaksana??

Pukul 09.45. Arina dan Leo hadir di belakang panggung. Gadis itu terlihat tenang seperti biasa. Berbeda dengan Mariska yang sangat bersemangat.

"Berani juga kau datang…" sindir Mariska dengan nada sinis.

"Jadi, kau mengharapkan sebaliknya?" tanya Arina balik dengan nada sarkastis.

"Tidak juga…"

"Setidaknya hari ini aku ingin melihat sejauh mana kemampuanmu dalam bermain piano…"

"Hmm.. mungkin tidak lebih baik darimu…" balas Arina yang membuat senyum di wajah Mariska semakin lebar.

Pukul 10.00, pihak panitia lalu memanggil Mariska untuk bersiap –siap keluar panggung. Ada sebuah grand piano besar yang sudah diletakkan di atas panggung.

"Aku duluan. Permisi…" pamit Mariska sambil keluar panggung.

Arina tidak bicara apa-apa lagi. Ia hanya menunduk kecil untuk menanggapi wanita menyebalkan tersebut.

Tak lama, Mariska lalu memulai permainan pianonya. Ia akan memainkan beberapa lagi klasik secara medley dimulai dari lagu Fur Elise Beethoven kemudian dilanjutkan dengan Symphony No 40 dari Mozart dan terakhir ditutup dengan lagu The Four Season dari Antonio Vivaldi.

Dalam hal ini, Arina harus mengakui kalau Mariska benar-benar piawai dalam bermain piano. Setiap nada yang keluar dari tuts piano yang ditekannya sangat murni dan indah. Mengalir tenang dan menembus jiwa setiap penonton yang berada di dalam ruangan aula sekarang. Arina merasa seakan-akan jiwanya dibawa terbang tinggi ke dalam lautan bintang di angkasa saat mendengar permainan piano Mariska yang sangat bagus dan indah.

Lalu, ingatannya kembali pada satu orang. Selalu.

Dicky Valdez.

Ia ingat kalau pemuda tersebut juga mengajarkannya untuk bermain piano dulu. Ada sebuah piano tua di Bar Lopez dan piano tersebut terletak di lantai dua. Tidak dibuka untuk umum. Hanya Dicky, dirinya dan Sante yang diijinkan untuk memiliki akses ke sana serta memainkan piano tua tersebut. Walaupun sudah berumur, piano tersebut terawat dengan sangat baik dan bunyinya masih jernih.

"Piano ini pasti punya sebuah kenangan khusus untuk Lopez…" kata Dicky sambil ia menekan tuts piano tersebut perlahan dengan jari-jarinya. Bunyi denting yang nyaring lalu keluar seiring dengan jari-jari Dicky yang menari lincah di atasnya. Beberapa lagu yang dikenal oleh Arina lalu mengalun keluar dari piano tersebut. Beberapa masih terdengar asing di telinganya, tapi tetap saja enak didengarnya.

"Apa kau mau mencobanya, Arina?" tanya Dicky setelah ia selesai memainkan piano tersebut. Arina mengangguk. Dicky lalu menyuruh gadis tersebut untuk duduk di sebelahnya dan perlahan, ia mulai mengajari Arina untuk memainkan tangga dasar.

Setelah beberapa bulan mereka berdua belajar secara lebih intensif, Arina kini mulai lancar untuk memainkan alat music tersebut. Beberapa music klasik sederhana juga mulai dikuasainya dan wajah Dicky selalu tersenyum padanya setiap saat gadis tersebut berhasil menyelesaikan sebuah lagu. Terakhir, Dicky lalu berkata.

"Aku ingin mengajarkan sebuah lagu untukmu, Arina…."

"Ini adalah lagu yang kubuat sendiri…."

"Dengarkan…."

Suara Dicky yang merdu lalu mulai menyanyikan sebuah lagu sembari kedua jarinya terus menari lincah diatas tuts piano. Arina yang baru sekali tersebut mendengar Dicky menyanyi, lalu menitikkan air mata tanpa terasa.

Lagu itu….

Sangat menyentuh. Indah, sedih, dan sangat romantis di waktu yang sama. Arina tak pernah merasakan perasaan yang mengharukan seperti itu seumur hidupnya.

"Kau menyukainya?" tanya Dicky setelah ia menekan tuts terakhir dari lagu ciptaannya tersebut.

Arina mengangguk sekali lagi.

"Sini, biar kuajarkan…."

Tangan pemuda itu lalu terulur sekali lagi padanya dengan wajah tersenyum lembut.

............….

"Arina Morgan…"

Arina tersentak kaget saat namanya dipanggil tiba-tiba. Lamunannya langsung buyar seketika.

"Giliranmu…"

Arina mengangguk dan dengan kepala terangkat, ia maju ke depan panggung.

.