Adel menunggu Rinai yang tak kunjung datang, sudah 5 menit sebentar lagi bel masuk berbunyi. Apakah nanti ia akan diam saja? Semoga Rinai masuk.
Bel masuk berbunyi. Hati Adel gusar. Kelasnya sudah mulai penuh. Adel menatap bangku Rinai kosong.
Syila menyerahkan absensi dan jurnal di meja guru. Adel memanggilnya. "Syil, Rinai kenapa?"
Syila menggeleng. "Gak tau del, gak ada suratnya."
Bu Syifa sebagai walikelas masuk sebelum pelajaran di mulai.
"Silahkan berdoa,"
Adel mencoba mengirimkan pesan pada Rinai.
Lo gak masuk Rin? Kok gak ada suratnya?
Tak ada balasan. Adel kembali memperhatikan bu Syifa.
"Rinai sakit ya, Syila tolong hapus keterangan Alpha-nya. Tadi dia telepon ke sekolah, untuk suratnya menyusul besok."
Ucapan bu Syifa membuat Adel murung. Lalu ia akan istirahat dengan siapa?
Jam pelajaran pertama di mulai, tugas yang di berikan oleh guru Adel kerjakan sendiri. Melihat kamus yang ia bawa untuk menerjemahkan bahasa Inggris.
Caca menghampirinya. "Eh, kerjaian punya gue dong del. Gak bisa nih," pinta Caca memelas, sekarang jadi pengemis kalau bukan tugas enggan menganggap kehadirannya dan Rinai.
Adel melirik malas buku Caca yang masih bersih, catatan tak hinggap disana. 'Kalau gak niat sekolah, mending kerja aja deh Ca.'
Caca meraih buku Adel, namun Adel menahannya lebih kuat. "Liat sebentar doang kok, pelit amat sih."
Adel menunda mengerjakan tugasnya. Caca kembali mengomelinya, seenaknya perintah ini-itu yang hanya penting. "Kerjaian sekarang juga, kalau sampai buku gue masih bersih lo dan Rinai gak bakalan tenang sampai kelas 12."
Caca kembali ke tempat duduknya. Adel kembali melihat kamusnya.
Di kelas Antariksa, cowok itu tengah serius mengerjakan tugas dari guru piket. Di kelasnya sering jamkos. Rafi dan Agung mendampingi Antariksa, kalau selesai nanti menyalin. Brian? Cowok itu mengerjakan sendiri, di kelas ini yang selalu menjadi saingan Antariksa dan Brian. Sama-sama unggul menguasai semua mata pelajaran. Antariksa selalu posisi pertama, dan Brian kedua.
"Udah selesai gak sa? Lama banget," Agung menatap tangan Antariksa yang lincah menghitung angka yang membuat kepalanya migrain.
"Antariksa kosentrasi, jangan ganggu. Nanti salah jawabannya, lo mau dapat nilai jelek?" Rafi memilih fokus pada game favoritnya, Free Fire.
"Tapi kalau ujian, Antariksa mana pernah kasih jawaban waktu ujian. Katanya harus jujur biar gantengnya bertambah,"
Rafi menggeleng. Agung itu penurut. "Kalau ganteng kenapa gak ada yang nyangkut?"
"Masih otw, sabun wajah merk Antariksa aja mahal. Masih nabung nih,"
Antariksa memberikan buku tulisnya. "Jangan bacot, cepetan salin,"
Agung membawa buku Antariksa ke bangkunya, senang. Terima kasih untuk yang kuasa yang telah mengutus Antariksa ke Bumi menjadi sahabatnya sekaligus sekelas dengannya.
☁☁☁
Adel makan bekalnya sekaligus membeli es teh di kantin. Ia duduk sendiri, tanpa Rinai.
Antariksa, Rafi, Agung dan Brian berjalan menghampiri temannya Rinai.
"Sendirian aja, Rinai mana?" Brian membuka suara.
Antariksa tak mau kalah. "Sakit?" tebaknya, Adel mengangguk.
Mereka duduk saty meja dengan Adel, Cica yang melihat teman Rinai keenakan duduk satu meja dengan Antariksa, tidak bisa di biarkan.
Cica membawa bekal hasil masakannya sendiri. Ia menyodorkan oada Antariksa. "Boleh gabung gak nih?"
Tak ada yang merespon, Antariksa diam, Rafi melanjutkan game yang tertunda tadi, Agung menatap Adel lekat, Brian sibuk dengan urusannya dengan buku apa saja yang setiap hari di bawanya, tentang pengetahuan tak pernah berbau fiksi.
Sampai Cica bosan sendiri di abaikan ia memilih pergi.
"Gimana kalau nanti ke rumahnya Rinai?" usul Agung, Rafi setuju. Antariksa dan Brian sangat setuju, kesempatan bertemu kedua orang tuanya juga.
"Pasti, tapi lo bareng gue aja ya, terpercaya kok." Agung meyakinkan cewek itu, Rafi ngebut, Antariksa ngebut balapan, Brian sepeda vespa yang lamban. Hanya Agung yang memenuhi standard menaati lalu lintas.
Adel mengangguk saja, aslinya gengsi. Tapi lumayan uang sakunya aman.
☁☁☁
Antariksa sudah mengecek alamat rumah Rinai di kantor.
Adel dengan Agung, saat motor yang ia tumpangi melaju memang pelan. Antariksa mengambil posisi paling depan, Brian di belakangnya. Rafi sejajar dengan Antariksa.
Di sebuah rumah besar bertingkat mewah, mobil hitam mengkilat terpakir di pekarangan rumah.
Rafi berdecak kagum, oa kira Rinai adalah orang biasa. "Ya ampun, berarti Rinai kaya dong. Rumah lo aja kalah sa,"
Rumah Antariksa memang sama, tingkat. Namun tak semewah milik Rinai yang bak istana raja.
Pintu gerbangnya terbuka.
"Kalian berdua aja deh," suruh Agung pada Antariksa dan Brian.
Antariksa lebih dulu. Lalu Btian menyusul.
Antariksa mendapati seorang pembantu yang tengah menyiram tanaman.
"Apa Rinai ada?"
"Ada kok, di kamarnya. Mas siapanya?"
"Calon suaminya Rinai," Antariksa terlalu percaya diri, hingga pembantu itu kaget, wah berarti majikannya sebentar lagi menikah.
Antariksa masuk, Brian memanggil Agung dan Rafi, Adel tengah mengobrol dengan pembantu tadi, menanyakan jenis tanaman yang indah tengah di siramnya.
Kamar Rinai mudah di temukan, ruang tamu dan ada pintu bercat biru bertuliskan Room Rinai.
Rinai yang tengah menonton film di laptopnya mendengar pintu kamarnya di ketuk.
Saat Rinai membuka, wajah tampan Antariksa dan Brian membuatnya terkejut. "Kalian ngapain kesini?"
Antariksa memberikan buah-buahan pada Rinai, Brian membawakan roti tawar. Hanya kali ini, Rinai akan menghargai Antariksa.
"Masuk aja," Rinai kembali melihat film aksinya.
Kamar Rinai tak ada hiasan apapun, apalagi foto. Sama di ruang tamu tak ada foto sedikitpun yang terpajang, Antariksa semakin penasaran akan sosok Rinai.
"Sakit? Gak istirahat?" Antariksa ikut melihat film-nya. Aksi bertarung melawan militer.
"Udah mendingan," jawab Rinai tanpa melihat Antariksa.
Dan ia harap Antariksa segera pulang, dalam jarak dekat jantungnya berdegup tak karuan.
☁☁☁