"Sekretaris tolong catat kelompok di papan, absennya saya acak." perintah bu Syifa, guru prakarya.
Rinai mendesah lesu. "Pasti kita pisah del,"
Adel mengangguk. "Yang sabar Rin, turutin aja apa kata mereka daripada gak dapet nilai di coret dari kelompok?"
Syila mencatat sesuai dikte kelompok acak dari bu Syifa. Berjumlah 6 kelompok, masing-masing ada 5 orang atau 6.
"Lusa di kumpulkan ya, kerajinan dari kayunya yang bagus supaya nilai jualnya tinggi. Sekarang kumpul dengan kelompoknya,"
"Kuatin hati," Adel menyemangati.
Rinai mengambil buku paket prakarya dan alat tulis, ia satu kelompok dengan Caca, Dinda, Tia, dan Salma.
Caca mengangkat kursinya, Rinai pun kesusahan, Adel membantunya. "Makasih,"
"Kursi aja gak kuat," ucap Caca ketus, seisi kelas memang tak menyukainya.
Rinai mengambil posisi di sebelah Tia, namun cewek itu menyuruhnya berjauhan sedikit. Entah sejijik apa dirinya.
Caca dan Dinda berunding, memikirkan kerajinan kayu berkualitas tinggi. Salma bagian mencatat bahannya, Tia yang akan membawakan kayunya. Rinai? Ia hanya diam seperti tak di anggap kehadirannya.
Rinai kelompok 2, Adel 4 duduknya di belakang. Rinai menatap Adel, mereka menyalurkan kekuatan bersabar.
"Nanti refreshing," ucap Adel dengan gerak bibir yang Rinai fahami.
Rinai senang mempunyai satu sahabat, bukan yang banyak tapi munafik. Hanya menemani saat di atas, jika sudah berbalik ke bawah di tinggalkan begitu saja.
Caca menyerahkan catatannya. "Kalau ini bu? Apa bisa bernilai tinggi?"
Dinda juga ikut maju, Tia dan Salma juga. Rinai diam, tapi ia ingin maju. Nanti bu Syifa berpikiran negatif bahwa dirinya di jauhi. Rinai mencoba tersenyum.
"Kalau ini boleh, ya kan Rinai?" bu Syifa percaya padanya, karena Rinai-lah yang aktif bertanya saat pelajaran prakarya.
"Bagus kok bu,"
Caca meraih catatannya. "Terima kasih bu, sarannya."
Dinda, Tia dan Salma kembali duduk. Tia mengomelinya.
"Ngapain sih caper di depan guru?" tanyanya galak.
Adel yang melihat Rinai di marahi menghampirinya. "Bentar ya," izinnya pada kelompoknya.
Adel berjongkok, menemani Rinai. Menggenggam tangannya. "Jangan di masukin ke hati, gimana Rin kerajinan apa yang kelompok lo buat?"
"Lampu, hiasannya kayu. Gak tau gambarnya gimana, tapi bagus."
"Makannya, kalau kerja kelompok itu jangan diem, ikutan mikir dong." ujar Tia, ia kesal dengan sikap pendiamnya Rinai.
"Kalian aja yang gak anggap Rinai. Mau deket di usir, disini ya lo yang seenaknya." Adel membela.
"Del, udah nanti bu Syifa liat. Jangan berantem,"
Adel yang ingin mencakar wajah Tia di tahannya oleh Rinai. "Udah, balik aja ke kelompok del, nanti bisa refreshing kok."
"Apa? Refreshing? Heh Rin! Lo harus ikut ke rumah gue buat kerajinan kayunya. Enak banget lo," Caca menggerutu kesal.
"Iya, gue bakalan ikut kok," menuruti bacotnya cewek ini daripada namanya di coret dari kelompok.
☁☁☁
Seusai pulang sekolah, Rinai bingung harus bareng dengan siapa. Ia melihat Caca dengan Dinda, Tia dan Salma. Uang Rinai habis untuk membeli bahan-bahan kerjaninan nanti.
"Heh! Cati ojekan dong, masa diem aja?" Caca gregetan, Rinai berdiri di parkiran sekolah tanpa berniaf mencari ojekan atau angkot yang lewat.
"Buruan!" sentak Tia.
Rinai mengangguk, ia membuka aplikasi Gojek. Menunggu beberapa menit barulah datang, Caca dan yang lainnya menunggunya. Rinai tak tau apa-apa tentang alamatnya Caca.
'Duh, terus bayar pake apa ya? Uang dua ribu mana cukup.' Rinai meletakkan tasnya di pangkuan, setelah Gojeknya berjalan mengikuti Caca, Rinai mengecek setiap kantong tas berharap ada uang yang pernah ia letakkan. Di kotak pensil, Rinai menemukan uang limabelas ribu. 'Akhirnya, ketemu juga.' Rinai juga tak enak hati jika meminjam uang, bisa-bisanya nanti Tia dan Caca mengomelinya.
Setelah sampai di rumah Caca, Tia dan Salma membeli bahan-bahannya. Sedangkan Dinda bermain ponselnya, Rinai terdiam tak tau harus apa. Mengeluarkan buku prakarya, membaca bab kerajinan daripada menganggur, walaupun nanti kehadirannya disini tak ada gunanya.
Caca membawa bahan yang di butuhkan, Tia dan Salma membawa 4 bungkus bakso.
"Nah, mending minta sama nyokap lo aja Ti," Salma mengusulkan.
"Oke, gambarnya tadi mana?"
Salma mengeluarkan kertas desain kayu dari tasnya. "Nih, kalau hiasnya nanti. Makan dulu yuk, laper,"
Caca, Dinda, dan Tia mengambil baksonya. Tersisa habis, Rinai menahan rasa laparnya. Jadi ini bukan kerja kelompok? Hanya asik kumpul saja?
Tia menatap Rinai kasihan. "Laper ya? Makanya beli," Tia memakan baksonya dengan lahap.
Ada camilan di meja, Rinai yang ingin mengambilnya tangannya di tepis oleh Caca. "Enak aja lo, pulang aja sana!"
Rinai juga tak tahan di tempat jahannam ini, ia di bohongi. Rinai menemasi bukunya, saat bergegas keluar Caca mengikutinya. "Biar gue cariin ojek,"
'Jahat-jahat berhati peri, emang Caca susah di tebak.'
Caca menghampiri tetangganya yang berprofesi sebagai ojek. Ia memanggil pak Mus. "Pak Mus, ada yang mau ngojek nih. Tolong anterin," setelahnya Caca kembali ke rumahnya.
Pak Mus keluar. "Ayo neng, rumahnya dimana?"
"Jalan Anggrek pak,"
Hari ini Rinai dibuat hancur, Caca itu merepotkan apalagi teman-temannya. Jika saja mereka tau yang sebenarnya maka di jamin Rinai akan memiliki teman banyak karena hartanya berlimpah.
☁☁☁