Pagi itu Raja Ambo Enre Ratulangi mengajak beberapa pengawalnya untuk melakukan perburuan di hutan. Dia melakukan kegiatan itu di tengah-tengah waktu kosongnya. Selain itu dia juga ingin melepaskan penat di istana kerajaan yang begitu menyita waktunya ditambah dia juga jenuh karena harus bertemu dengan istri dan putrinya yang hampir tiap hari dia temui. Oleh karena itu, dengan perencanaan yang telah matang jauh-jauh hari sebelumnya berangkatlah dia dan beberapa pengawalnya menuju ke hutan.
Putrinya yang kebetulan melihat ayahnya akan berangkat bersegera mendatangi ayahnya. Dia pun segera menghampiri ayahnya itu sambil merengek agar dia bisa diajak ikut serta bersama dengan ayahnya berburu di hutan.
" Etta, meloki lao kega? Paccioka etta, paccioka lao sibawa idi. " ( Ayah, kau mau pergi kemana? Aku ikut ayah, aku mau ikut bersama denganmu ).
Raja Ambo Enre Ratulangi seakan tidak menghiraukan keinginan putrinya itu. Dia terus berjalan dan berjalan keluar menuju istana tanpa mempedulikan sang putri yang terus merengek agar diajak turut serta bersamanya. Jangankan memuluskan keinginan putrinya itu, melihat ke arahnya dan melihat wajah putrinya pun dia bahkan tidak sudi. Kekecewaan yang berlarut-larut selama hampir enam tahun lamanya akibat belum mendapatkan seorang putra dari istri keduanya masih terus berlanjut hingga putinya itu tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang manja dan egois.
Menangislah sang putri kecil sekencang-kencangnya dengan deraian air mata yang bercucuran dan membasahi pipinya. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya jarang sekali mengabulkan keinginannya, padahal dia adalah anak semata wayang dari Raja Ambo Enre Ratulangi dan Ratu Besse Rini Markonah. Para pelayan yang ada dalam istana mencoba untuk menenangkan hati sang permaisuri kecil dengan jutaan bujukan maut agar sang princess kecil menghentikan tangisannya dan kembali tersenyum seperti biasanya. Akan tetapi usaha mereka hanyalah sia-sia belaka. Sang permaisuri kecil itu tetap menangis dan menangis di depan banyak orang. Kakek dan neneknya pun sudah turun tangan untuk mendiamkannya, namun mereka juga tidak berhasil melakukannya. Jika seperti itu maka orang yang biasanya mampu menghentikan tangis sang permaisuri kecil adalah Ibunya sendiri yakni sang ratu.
Datanglah Ratu Besse Rini Markonah menghampiri putrinya itu. Lalu dia menyuruh semua pelayan istana pergi meninggalkan mereka berdua, begitu pula dengan ayah dan ibu mertuanya yang dia suruh pergi. Semuanya pun mengerti dan tidak merasa tersinggung dengan ucapan sang ratu terhadap mereka, justru sebaliknya mereka sangat mengerti dengan kondisi sang ratu.
Setelah merasa situasi sudah tenang, berbicaralah sang ratu dengan putrinya secara empat mata. Putri kecilnya tadi yang menangis tersedu-sedu perlahan mulai menghentikan tangisannya itu.
" Hei, magi moterri? Aga memang peddiko? " ( Hei, mengapa kau menangis? Apakah yang menyakiti hatimu? ) tanya sang ratu kepada putrinya itu.
Masih dengan isakan tangis yang masih terdengar, dia lalu menjelaskan pada Ibunya itu jika ayahnya tidak mau mengajaknya berpergian turut serta dengannya. Lalu dia juga bertanya pada Ibunya mengenai perayaan ulang tahunnya.
Secara perlahan sang ratu mulai menjelaskan alasan mengapa ayahnya tidak memuluskan keinginannya untuk mengajaknya naik kuda bersamanya. Lalu kemudian sang ratu pun menjelaskan dan tetap bersikukuh untuk mengadakan pesta ulang tahun untuk putrinya itu tanpa ada dukungan atau tidak dari sang suami.
Sang permaisuri kecil kemudian merasa lega setelah mendengatkan penjelasan mendetail dari ibunya. Baginya hanya ibunya seorang yang dapat mengerti isi hatinya dan mau menuruti semua permintaannya.
Nampaknya sifat manja dan egois yang dimiliki oleh sang putri ternyata turunan dari ibunya. Ratu Besse Rini Markonah yang ambisius dan selalu menghalalkan segala cara agar keinginannya terkabul juga menurun kepada Indo Ulinar Ratulangi sang putri kecil yang cantik, namun tak secantik parasnya.
~~~~~