Senja mengiringi tapakkan kaki ku bersama Kak Ge ia terlihat berbeda dari sebelum nya, tampak seperti laki-laki dalam mimpi yang melontarkan candaan manis nya. Kala itu, sembari kami berdua tertawa lepas burung-burung walet pun beterbangan layaknya memberi arah untuk pulang. Seperti sebuah filosofi mengatakan bahwa burung walet merupakan intrepretasi dari cinta, kesetiaan, dan kedamaian. Beberapa orang mempercayai bahwa roh burung walet itu ceria, tegas, dan penuh harapan.
"Kei, lihat burung-burung berterbangan pulang seperti kita ya?" Kata kak Ge.
"Oh ya kak, terimakasih ya lagu yang kakak perdengarkan ke aku. Jujur ga tahu kapan aku mulai takut dengan suara petir." kataku yang mulai nyaman dengan kak Ge. Kata nyaman adalah sesuatu yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan.
"Oh ya dong sama-sama. Kamu suka lagu G minor bach juga?" tanya Kak Ge.
"Setahuku kebanyakan musisi terinspirasi dari alam baik seperti ada alunan suara gemericik air, hujan ataupun kicauan burung. Dan G minor bach beneran menenangkan jiwaku kak seperti berada di surga." jawabku.
Tanpa sadar asrama dengan warna dominan keemasan dan coklat mulai nampak. Beberapa orang
"Kak aku duluan ya kak, Au revoir!"
"Au revoir Kei!" Kak Ge melambaikan tangan seakan esok harus menanti malam yang panjang menanti pagi yang cerah.
Aku pun bergegas masuk ke kamar untuk bergegas mengganti baju dengan gaun sutera dan sebentar lagi harus turun ke ruang makan asrama untuk makan malam. Kami sedikit gaduh saat mengambil makanan beberapa kali aku menyapa temanku Joe dan Noelle.
Setelah jam makan malam selesai aku segera membuka buku harianku dan menulis salah satu ungkapan Shakespeare,
"Saat aku melihatmu aku jatuh cinta dan kamu tersenyum karena kamu tahu itu." Aku menulisnya dan aku tandai dengan pembatas buku dari Novel yang kubaca karya Laura Ingals Wilder.
Tanpa sengaja Roie membacanya dan bertanya, "Apakah kamu sedang jatuh cinta?"
"Rahasia kataku." Sambil membuat suara "ssss" dengan mulutku dan telunjuk yang reflek menutupi mulutku.