Lilia menonton pertandingan basket yang sedang berlangsung dari kejauhan. Melihat para pemuda itu bermain dengan penuh semangat membuatnya merasa sedikit iri. Saat dia menjadi mahasiswi, sebagian besar waktunya habis oleh berbagai kesibukan sebagai model, sehingga dia tidak punya waktu untuk menikmati masa mudanya.
"Permisi, apakah Anda Nona Lilia?"
Lilia mendengar seseorang bertanya dari belakangnya. Dalam hati, dia menyesal karena lupa memakai kacamata hitamnya. Harold sudah berulang kali menekankan agar Lilia tidak menarik perhatian di publik, tapi sepertinya dia masih saja teledor. Wanita itu menghela nafas dan membalikkan badan.
"Ya, benar. Kamu…" Lilia mulai berbicara, tapi kata-katanya langsung terhenti saat melihat lawan bicaranya.
Orang yang memanggilnya adalah seorang pria bertubuh tinggi, bahkan lebih tinggi dari Daniel. Dia mengenakan seragam dosen dan celana hitam, dengan setumpuk map tebal yang memenuhi kedua lengannya. Kacamata berpinggiran hitam yang dipakainya membuat pria muda itu terlihat cerdas dan terpelajar.
"Maaf, siapa Anda?" Lilia buru-buru mengoreksi ucapannya.
Pria itu tersenyum ramah. "Nama saya Alfred Ricardo, dosen wali Daniel."
"Ah, senang bertemu dengan Anda, Bapak Alfred. Saya kakak Daniel, Lilia Pangestu." Lilia membungkuk saat memperkenalkan diri kepada dosen muda itu.
Di luar dugaan Lilia, Alfred tertawa. "Tidak ada seorang pun di angkatan Daniel atau bahkan di seluruh Fakultas Teknik Multimedia yang tidak tahu tentang Anda. Daniel selalu membanggakan kakaknya sebagai model yang terkenal."
Mendengar itu, Lilia menjadi semakin salah tingkah. "Dari dulu adik saya sedikit sombong, mungkin karena dia terlalu sering dimanja. Tolong maafkan tingkah lakunya itu."
Alfred menggeleng dan memberitahu Lilia kalau Daniel adalah murid yang baik. Lalu pria itu melirik tumpukan map yang dibawanya. "Nona Lilia, apakah Anda datang hari ini karena masalah yang ditimbulkan Daniel?"
Lilia seketika mendapat firasat buruk soal ini. Dia teringat sikap Daniel yang aneh tadi dan menduga bahwa keduanya berhubungan. "Masalah apa yang Anda maksud?" Tanya Lilia.
Dosen muda itu menghela nafas dan memperlihatkan salah satu map di tangannya. Tulisan 'Kasus Daniel Pangestu' di map itu membuat Lilia kehilangan kata-kata.
"Sepertinya Daniel belum memberitahu keluarganya tentang ini. Apakah Nona Lilia bersedia membantunya mengatasi masalah ini? Tidak apa-apa jika Anda keberatan, saya bisa meminta orangtua kalian untuk datang." Alfred menanyakan.
"Ah…saat ini, orangtua kami…" Lilia mulai menjelaskan.
Saat keduanya sedang berbicara dengan wajah serius, Daniel mencuri pandang ke arah mereka di sela-sela permainannya. Akibat itu, bola di tangannya dengan mudah direbut oleh tim lawan.
"Kapten, apa sih yang kamu lakukan?! Apa kamu sengaja membantu tim lawan menang?!" Salah satu anggota tim Daniel memprotes.
"Aku ada urusan lain, jadi aku harus pergi sekarang!"
Daniel berusaha kabur dari latihan basketnya, tapi semua anggota timnya menghalanginya dan menggagalkan usaha pemuda itu. Dia hanya bisa melihat kakaknya pergi dengan Alfred.
*****
Saat Lilia selesai membaca isi map itu di ruang kantor Alfred, ekspresi wajahnya tampak sedingin es. Dia bertanya-tanya apakah adiknya menghabiskan seluruh kepintarannya untuk masuk ke universitas bergengsi ini. Tidak heran Daniel tadi bertingkah begitu mencurigakan. Jika Lilia tidak bertemu dengan Alfred hari ini, mungkin adiknya itu tidak akan bercerita pada siapapun.
Lilia menghela nafas dan menutup map itu.
Alfred mulai berbicara. "Nona Lilia, kejadiannya persis seperti yang Anda sudah baca. Kasus ini sangat mempengaruhi reputasi universitas kami. Walau pihak universitas tidak melarang mahasiswanya untuk menjalin hubungan, kasus ini sudah melampaui batas. Orangtua mahasiswi itu datang ke kampus dan mengklaim kalau Daniel menghamili putri mereka saat mahasiswi itu sedang mabuk."
Mendengar itu, Lilia menyesalkan pola asuh orangtuanya yang terlalu memanjakan Daniel. Terutama ibunya, yang tidak pernah sekali pun memarahi adiknya. Lihat apa akibatnya sekarang!
Alfred melanjutkan, "Kalau kasus ini tidak ditangani dengan baik, kemungkinan terburuknya adalah pihak kepolisian juga ikut dilibatkan. Jika itu nama universitas sampai tercoreng oleh kejadian ini, pihak universitas tidak akan segan-segan mengeluarkan Daniel. Sebagai dosen walinya, aku tidak ingin hal itu terjadi."
"Permisi!" Daniel membuka pintu ruangan Alfred tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dia terengah-engah dan basah kuyup oleh keringat, seolah dia berlari ke sini tanpa beristirahat setelah latihan basketnya selesai.
Daniel menghampiri Lilia dan terlonjak mundur saat melihat ekspresi dingin di wajah kakaknya. Dia tahu itu artinya dia dalam masalah yang sangat besar.
"K-Kak, tolong dengarkan aku dulu…" Daniel mencoba membujuknya.
Alfred mengambil kesempatan ini untuk beranjak dari kursinya. "Aku akan mengambilkan minuman untuk Daniel. Kalian bisa bicarakan dulu masalah ini sebagai keluarga." Katanya sebelum pergi.