Lilia menatap kartu kamar hotel itu dengan penuh keraguan. Tapi saat dia mengangkat wajah untuk menanyai staf yang mengantarkan kartu itu, tidak ada siapapun di depannya.
Lilia memandang berkeliling, tapi dia tidak bisa membedakan pria yang dicarinya dari para staf yang berlalu lalang di lobi.
Dia kembali menatap kartu di tangannya dengan tatapan curiga. Lilia tidak bisa membayangkan Jean menyuruh seseorang untuk memberinya kartu kamar hotel begitu saja. Dia mendapat firasat buruk soal ini dan memutuskan untuk mencoba menghubungi Jean.
"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Silakan coba lagi setelah beberapa saat…"
Kerutan di kening Lilia semakin dalam saat dia berulang kali gagal menelepon Jean. Apa dia benar-benar sesibuk itu sampai menyuruh Lilia menunggu di kamar hotel? Ataukah Jean hanya kebetulan tidak bisa dihubungi, dan ada orang lain yang mengirimkan kartu hotel ini atas namanya?
Rasa penasaran Lilia terlalu kuat dan dia memutuskan untuk pergi mengecek kamar hotel itu. Dia meninggalkan pesan lewat aplikasi Lain untuk Jean sebelum masuk ke elevator.
Dari kejauhan, staf tersebut mengawasi elevator yang dinaiki Lilia berhenti di lantai 30. Pria itu segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
Lilia turun di lantai 30, lalu dia mengikuti petunjuk arah untuk mencapai kamar nomor 3086. Dia berhenti di depan pintu kamar tersebut dan menarik nafas dalam-dalam.
Lilia menekan tombol bel kamar itu sambil menggenggam kartu hotel di tangan satunya. Dia tidak sebodoh itu untuk langsung masuk begitu saja. Dia ingin memastikan apakah ada orang lain yang sudah menunggunya di kamar itu.
"Selamat malam, maaf mengganggu istirahat Anda. Saya kebetulan menemukan kartu kamar Anda saat sedang membersihkan lorong dan ingin mengembalikannya." Lilia berpura-pura menjadi pelayan hotel untuk memancing siapapun yang mungkin ada di dalam kamar itu.
Setelah menunggu sesaat, terdengar suara pria yang berat dan kasar dari balik pintu. "Sebentar, akan kubuka pintunya."
Lilia menghela nafas lega setelah tahu bahwa kecurigaannya benar. Seseorang berusaha menjebaknya untuk masuk ke dalam kamar ini.
"Ah, tidak usah repot-repot. Saya akan selipkan kartunya melalui celah pintu." Lilia segera membalas.
Dia membungkuk dan mendorong masuk kartu kamar itu melalui celah di bawah pintu. Tapi sebelum Lilia bisa pergi dari situ, pintu kamar berayun terbuka dan menampakkan sosok seorang pria.
Pria bertubuh gemuk itu hanya mengenakan selembar handuk putih yang melingkari pinggangnya dan rambutnya masih setengah basah. Dia menunduk dan melihat Lilia, yang membeku dalam posisi membungkuk. Mata sipit pria itu berkilat dengan kepuasan saat dia mengenali Lilia.
"Kamu…Peter?!" Lilia segera menegakkan tubuh dan menjauh dari kekasih Rina itu. Dia masih ingat pertemuan tidak menyenangkan dengan Rina dan pria ini di Bar King. Lilia langsung tahu siapa yang berusaha menjebaknya malam ini.
Namun Peter mengulurkan tangannya yang besar dan mencengkeram lengan Lilia. Senyuman penuh nafsu di wajahnya membuat Lilia jijik.
"Karena kamu sudah tahu siapa aku, tidak usah malu-malu begitu." Peter menjilat bibirnya sambil menyeret Lilia ke dalam kamar. "Kujamin kamu pasti akan menyukai ini!"
"Stop!! Lepaskan aku! Tolong! Seseorang…hmph!"
Lilia melawan dan berteriak agar seseorang datang menolongnya, tapi Peter menangkupkan tangannya di mulut Lilia.
"Percuma kamu berteriak, tidak akan ada orang yang datang! Di seluruh lantai ini hanya ada kamu dan aku!" Peter tertawa vulgar sambil terus menarik Lilia ke arahnya.
Dalam keputusasaan, Lilia menggigit tangan Peter sambil menginjakkan sepatu hak tingginya ke atas kaki Peter. Pria itu melolong kesakitan dan menampar Lilia. Tamparan itu jauh lebih keras daripada tamparan Sylvia, membuat kepalanya pening sesaat. Peter memanfaatkan momen itu untuk mendorong Lilia ke dalam kamar. Wanita itu menghantam karpet dengan keras dan mengernyit kesakitan.
"Kalau kamu berani melawanku lagi, aku akan menghajarmu!" Peter menggeram sambil memegangi tangannya yang berdarah.
Lilia memaksa tubuhnya yang nyeri untuk bangun. Dia harus melewati Peter untuk bisa mencapai pintu, tapi dia tidak bisa membayangkan dirinya menang melawan tenaga pria dewasa.
Peter maju selangkah demi selangkah mendekati Lilia. Tatapan vulgarnya mengamati wanita itu dari atas ke bawah. Dia sudah mulai membayangkan apa saja yang akan dilakukannya pada model yang sedang populer ini.
Tiba-tiba Lilia melepas sebelah sepatunya dan melemparkannya ke wajah Peter. Pria itu otomatis melindungi wajahnya dengan kedua lengan. Lilia menggunakan kesempatan ini untuk berlari menuju pintu.
Saat tangannya hampir mencapai pintu, dia merasakan lengan gemuk Peter menangkap pinggangnya.
Lilia terjatuh ke karpet dan Peter kembali menyeretnya masuk. Wanita itu menjulurkan lengannya sejauh mungkin, berusaha menggapai pintu. Tangannya berhasil memegang ujung pintu, tapi Peter menyentak tubuhnya dan membuat pegangan Lilia terlepas.
"Ah…!" Lilia dilanda rasa takut dan keputusasaan saat melihat tubuhnya ditarik semakin jauh dan jauh dari pintu kamar.
Sebagai bentuk perlawanan terakhir, Lilia mengangkat satu kakinya dan menjejakkan sepatunya ke wajah Peter. Sepatu hak tinggi itu berhasil mematahkan hidung pria itu dan darah berhamburan ke mana-mana.
"Beraninya kamu…!" Peter meraung dan justru menarik Lilia semakin keras, merobek bagian bawah gaun mahalnya. "Dasar pelacur! Aku tidak akan memaafkanmu! Aku akan menghancurkan mukamu dan menghajarmu sampai puas! Aku akan mempermalukanmu sampai kamu lebih memilih mati saja! Aku akan…!"
"Apa yang akan kamu lakukan pada saudara iparku, hah?!"
Pada saat Lilia mendengar teriakan marah itu, seseorang muncul dan menghantam wajah Peter sekuat tenaga. Pria itu ambruk ke lantai, membawa Lilia bersamanya.
Tom mengibaskan tangannya yang terkena darah Peter dan segera membantu Lilia melepaskan diri. Namun sebelum Lilia bisa berterima kasih pada Tom, sepasang tangan yang kuat menarik Lilia ke dalam pelukannya. Tubuh Lilia yang dipenuhi adrenalin perlahan menjadi rileks saat dia mencium aroma musim semi yang tidak asing.
"Kamu ini benar-benar…" Suara berat pria itu berbisik di telinganya. "Jangan membuatku khawatir seperti ini lagi."
Lilia tidak dapat melihat wajah pria itu, tapi dia bisa mendengar kepanikan dan kecemasan dalam suara beratnya. Dia terkejut saat menyadari bahwa seorang Jean Widjaya pun bisa merasa panik seperti orang pada umumnya.
"Sialan, siapa kamu?! Beraninya kamu memukulku?!" Peter berteriak sambil memegangi wajahnya yang bengkak.
Tom bersedekap dan memelototi Peter. "Kamu berurusan dengan orang yang salah!"