Vote sebelum membaca😘
.
.
Seorang wanita yang hanya dibalut selimut tipis memandang keluar jendela dengan tatapan kosong, air matanya mengalir begitu saja setelah semua yang dia alami. Tuhan memang tidak adil, itu anggapannya. Pria yang selama ini dia cintai ternyata seorang psikopat yang ingin membunuh temannya. Jaden, pria itu berubah menjadi monster yang sangat kejam, dia tidak segan mengikat Aurin di tiang ranjang, memaksanya untuk melihat adegan pembunuhan yang dilakukannya. Lalu setelahnya dia memberikan ancaman, bahwa Jaden akan membunuh keluarga Aurin seperti itu juka dia berontak dan menolaknya.
Mengingat hal itu membuat air mata Aurin jatuh semakin deras, dia tidak mempedulikan angin pagi yang begitu sejuk menembus kulit telanjangnya. Tubuhnya kotor, Jaden tanpa ampun mempermainkannya. Pria itu juga memberikan pukulan pada tubuhnya saat mulutnya meringis kesakitan. Jaden benar-benar berubah, bola matanya dipenuhi amarah yang begitu dalam.
"Apa yang sedang kau lakukan, Aurin?"
Wanita itu tidak bergeming, dia masih duduk meringkuk menatap keluar jendela mansion yang besar itu.
"Pakai bajumu, Aurin," ucap Jaden penuh penekanan.
Perlahan tubuhnya bergerak, dia melangkah meninggalkan selimut itu lalu memakai pakaian yang ada di lemari. Aurin tidak peduli jika Jaden melihat tubuhnya, mungkin dia memang harus melihat seberapa banyak lebam yang diberikan hanya dalam waktu dua malam.
Wanita itu memakai pakaian layaknya robot, tanpa ada ekspresi dan begitu lemah. Membuat Jaden jengkel hingga dia mencengkram dagu Aurin saat wanita itu belum selesai berpakaian. "Pakai pakaianmu dengan benar."
"Aku sedang melakukannya," ucap Aurin dengan lemah.
Jaden terkekeh dan melempar dagu perempuan itu asal. "Mungkin kau tidak perlu melakukannya, kau akan aku hukum."
"Kumohon jangan, Jaden, aku sakit," ucapnya beringsut mundur saat Jaden mendekat. "Lihat, aku memakainya, aku memakai pakaianmu ini." Aurin memakainya dengan terburu-buru.
Jaden tertawa, sedetik kemudian dia menghantamkan kepala Aurin pada tembok. "Beraninya kau menolakku, apa kau tidak ingat saat dirimu menyerahkan dirimu sendiri malam itu?" Jaden menaikan alisnya menggoda Aurin, mengingatkannya pada malam saat dirinya bodoh dan menyerahkan semuanya pada Jaden.
"Aku mohon…. Jaden, tidak sekarang, aku lelah," ucapnya terisak di sudut ruangan.
Jaden yang semakin kesal mendengar isakan itu melemparkan vas bunga yang mendarat tepat di tembok yang ada di samping Aurin. Wanita itu menjerit ketakutan."Ampun, Jaden, ampun," ucapnya mulai tertunduk di atas lantai.
Jaden berjongkok di hadapan Aurin. "Kau tahu bukan, aku bisa membunuh keluargamu kapan saja jika kau sampai melakukan hal yang tidak aku sukai?"
Aurin mengangguk cepat. "Ya, ya, aku tahu."
"Bagus, sekarang ikut aku ke bawah," ucapnya mengelus kepala Aurin pelan. Dia membiarkan wanita itu membereskan penampilannya sebelum melangkah menuju ruang makan yang ada di lantai bawah.
Aurin duduk di dekat Jaden, dia menundukan kepalanya takut jika dirinya melakukan sesuatu yang tidak disukai Jaden. Keduanya sarapan dalam diam, ini pertama kalinya Aurin sarapan di ruangan ini, sebelumnya seorang pelayan mengantarkannya pada kamar tempat Jaden mengurungnya.
"Kau boleh jalan-jalan di sekitar sini jika kau ingin," ucap Jaden saat dirinya selesai dengan makanannya. "Kau mendengarku, Aurin?"
Wanita itu segera mengangguk. "Aku mengerti," ucapnya penuh ketakutan.
"Dibelakang sana ad ataman jika kau ingin melihatnya."
Aurin kembali mengangguk tanpa menatap mata pria itu. Ketika Jaden lebih dulu meninggalkan ruang makan, Aurin memilih berjalan kea rah taman yang Jaden maksud. Bukan hanya sekedar berjalan-jalan saja, Aurin juga mencari jalan keluar secara diam-diam. Dia terus melangkah tanpa menyadari sepasang mata mengawasinya dari belakang.
"Kau mencari apa, Aurin? Jalan keluar?"
Dirinya tersentak kaget lalu memutar badannya menatap Jaden yang kini ada dibelakangnya. "Tidak, tidak, Jaden, aku hanya melihat-lihat."
"Kau pikir aku tidak tahu, huh?"
"Maaf, Jaden, aku… aku hanya berpikir siapa yang akan member keluargaku uang jika aku tidak bekerja," ucapnya dengan bibir bergetar, tatapannya masih enggan melihat mata Jaden.
"Aku sudah mengirim mereka uang yang akan mereka gunakan sampai tahun depan, kau tidak perlu bekerja, Aurin," ucapnya mengelus pipi wanita yang kini memejamkan matanya penuh ketakutan.
"Lihat mataku, Aurin."
Dengan terpaksa dia menatap mata Jaden dengan penuh ketakutan.
"Kau mencintaiku bukan?"
Aurin hanya menganggukan kepalanya, dia takut jika jawaban yang mengecewakan Jaden akan membuatnya mendapatkan pukulan. Terlepas dari hal itu, Aurin memang mencintai Jaden.
"Kau akan melakukan apa pun untukku bukan?"
Aurin mengangguk, tapi kali ini dipaksakan.
"Kalau begitu bantu aku untuk membunuh Sophia."
"A… apa?"
Jaden tersenyum miring. "D'allesandro harus merasakan bagaiaman rasanya kehilangan, apalagi janin yang ada di dalam perut Sophia."
"Sophia teman kita, Jaden, kau harus mengingatnya, dia menikah dengan Edmund secara paksa karena dia hamil."
Aurin yang menaikan nada bicaranya membuat Jaden kesal, dia menarik Aurin menuju pohon besar lalu mengikat tubuh wanita itu menggunakan tanaman rambat yang sedikit berduri.
"Ampun, Jaden, maafkan aku," ucapnya sambil menangis kesakitan.
"Ini hukumanmu."
Pria itu meninggalkan Aurin seorang diri, membiarkan dia merasakan rasa sakit dari duri-duri kecil yang ada di tanaman itu. Aurin harus mengerti, kalau perkataaannya itu adalah petrintah.
***
Berhari-hari Aurin berada di mansion itu, tubuhnya semakin kurus dan penuh dengan lebam. Setiap malam Jaden menginginkannya, setiap hari pria itu memukulnya. Dia selalu mencari kesalahannya, Jaden melampiaskan marah pada tubuhnya yang kini terlihat menyedihkan.
"Aurin?"
Wanita itu memejamkan matanya takut sebelum menarik napas dan bangun dari tidurnya, menatap pria yang melangkah menuju arahnya.
"Ada apa?" Dia bertanya dengan suara yang hamper tertelan angin malam.
Selama beberapa menit Jaden hanya menatap Aurin, pria itu memperhatikan lebam yang ada di sudut bibirnya. Aurin ketakutan saat Jaden duduk di sampingnya, tangannya terangkat menyentuh lebam Aurin hingga dia meringsi kesakitan.
"Apa ini sakit?"
Airin menggeleng, membuat Jaden tertawa keras. "Baiklah jika kau berpikir begitu." Jaden mencium bibir Aurin singkat. "Selamat malam," ucapnya keluar dari kamar itu.
Aurin mendesah lega saat Jaden sudah keluar dari kamarnya, dia memegang jantungnya yang berdetak begitu kencang akibat ketakutan. Aurin yang hendak tidur itu harus mengurungkan niatnya karena merasa haus, wanita itu melangkah keluar menuju dapur di malam yang hamper larut ini.
Langkah Jaden terhenti di dekat tangga saat dia mendengar Jaden sedang berbicara dengan seorang wanita di ruang tamu. Aurin mendekat, dia mengintip di balik sekat apa yang sedang mereka lakukan. Dirinya merasa de javu, mengintip Jaden yang menatap mengintimidasi lawan bicaranya.
"Aku menawarkan bantuanku," ucap wanita yang membelakangi Aurin.
"Kau tahu, dirimu masuk ke dalam sarang serigala."
"Aku cukup tahu mana serigala jinak dan liar," ucapnya ,menyentuh dada Jaden, membuat Aurin mengepalkan tangannya di sana. "Aku suka pria liar."
"Apa yang kau dapat jika kau membantuku?"
"Tuhanku, melihat dia mati dengan satu tusukan pisau saja membuatku senang," ucap wanita itu dengan tangan merayap ke belakang leher Jaden. "Ayo kita bunuh Sophia, dan aku mendapatkan Edmund juga hartanya. Aku bisa memberimu sebagian harta itu jika kau mau."
"Apa kau punya rencana?"
"Kita akan membunuhnya setelah dia pulang dari liburannya, biarkan mereka bersenang-senang terlebih dahulu menikmati baby moon."
Jaden tersenyum miring ketika bibir merah milik wanita di depannya mencium leher dan menjilat pipinya. ��Baiklah, akan aku biarkan kau ikut andil dalam proses pencabutan nyawanya," ucap Jaden dengan tangan menelusuri tubuh wanita seksi di depannya. Saat dirinya hendak mencium wanita itu, dia melihat Aurin yang sedang mengintip.
Wanita itu ketakutan, dia segera menyembunyikan dirinya di balik tembok. Berdo'a supaya Jaden tidak melakukan hal buruk padanya.
"Kemarilah, Aurin."
Dia memejamkan matanya sebelum melangkah ke sana dengan ketakutan.
"Sepertinya kau akan menjadi tawanan abadiku, Sayang, aku berencana membunuh Sophia setelah dia pulang dari liburannya."
Aurin hanya memejamkan mata enggan menatap dua orang itu, dia menunduk menyembunyikan buliran air mata yang menerobos keluar.
"Dan dia akan menjadi teman barumu."
Perlahan mata Aurin menatap wanita yang ada di hadapannya, wanita itu tersenyum dengan bibirnya yang merah. "Hai, aku Lexi D'allesandro, kau memiliki dua tuan mulai detik ini."
---
Ig : @alzena2108
💋💋💋💋