Vote sebelum membacaš
.
.
"Kemana kita akan pergi?"
Edmund terkekeh. "Baiklah, Sayang. Ini saatnya kau berhenti marah." Tangannya meraih tangan istrinya, membantu perempuan itu masuk ke dalam kapal pesiar yang sudah disiapkannya. Sophia duduk di kursi yang ada di depan , disusul oleh Edmund yang membawakan segelas limun untuk diminumnya.
Sophia mengerutkan keningnya. "Tubuhmu bisa terbakar," komentarnya saat melihat Edmund yang hanya memakai celana pendek dan kacamata hitam saja.
"Tenanglah, aku memakai tabir surya," ucap Edmund mulai menikmati sengatan matahari dan angin segar saat kapal pesiar itu mulai bergerak.
"Apa kau tidak kepanasan?"
Sophia menggeleng sambil mengeratkan kain tipis yang membungkus tubuhnya. "Tidak," ucapnya memakai kacamata yang sebelumnya ada di atas rambutnya.
"Ayolah, Sophie, nikmati sengatan sinar matahari, kau membungkus dirimu sendiri seakan tidak menikmati liburan ini."
"Ah, ini liburan? Bukan baby moon?"
Edmund tersenyum, dia menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal. Membuat Sophia harus menelan ludahnya kasar melihat pemandangan itu. "Ini liburan, sekaligus baby moon. Ayo, lepaskan itu," paksa Edmund menarik kain tipis itu dengan satu tangannya hingga Sophia terpaksa melepaskannya. Edmund tersenyum puas melojat istrinya yang kini hanya dibalut kaos putih tipis dengan celana pendek.
"Tidak terpikir membuka kaos itu?"
Sophia menggeleng. "Tidak, terima kasih," ucap Sophia membaringkan dirinya di kursi itu, dia memakai handuk yang ada di sana sebagai bantal. Sophia memejamkan matanya, mendengarkan suara angin dan air laut yang membuat pikirannya rileks. Layaknya melodi indah, hal itu membuat Sophia mengantuk.
Matanya terbuka seketika saat merasakan sebuah tangan masuk ke dalam pakaiannya dan mengusap perutnya, dia menoleh ke arah Edmund yang terlihat begitu menikmati sinar matahari, sedangkan satu tangannya terus saja mengusap perut Sophia. "Berapa minggu dia?"
"12, kurasa," ucapnya memiringkan badan menatap Edmund sambil tersenyum kecil. "Berapa lama kita akan berada di sini?"
"Tentu saja sebulan."
Jawaban Edmund membuat Sophia terkejut, dia menurunkan kacamatanya. "Benarkah? Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
Edmund memiringkan tubuhnya, menayangga kepala dengan salah satu tangannya. Dia menurunkan kacamatanya mengikuti Sophia. "Kurasa dad akan membereskannya."
"Astaga, aku pikir dia tidak ingin mengurusi bisnis lagi."
Edmund mengangguk. "Lihatlah demi siapa dia melakukannya." dia mengecup bibir Sophia sesaat sebelum kembali membaringkan tubuhnya menghadap sinar matahari.
Sophia mendudukan dirinya, dia melihat lautan biru yang diterangi sinar matahati hingga membuatnya berkilau. Tangannya menepuk dada Edmund saat mata Sophia melihat sebuah pulau berpasir putih, dari sana dia dapat melihat rumah kayu yang nampak asri. Senyumannya mengembang saat kapal itu mengarah ke sana.
"Edmund, bangun."
"Ada apa?" Dia membuka kacamatanya dan melihat istrinya yang tersenyum sambil melihat ke arah depan.
"Apa kita akan ke sana?"
Edmund duduk dan melihat arah pandang istrinya. "Kita akan di sana selama satu bulan."
"Kau pasti bercanda."
Edmund tersenyum. "Aku harap begitu."
Sophia terdiam saat merasakan kapal pesiar itu berhenti secara tiba-tiba, dia melihat ke arah kemudi di mana seorang pria yang bertugas mengemudikan kapal sedang menurunkan motor boat ke dalam air. "Apa yang sedang dia lakukan?"
Edmund mengenakan kemeja dengan motif matahari miliknya. "Kita akan ke Scrub Island."
"Dengan itu?"
Edmund mengangguk. "Ya, kita tidak bisa membawa kapal ke sana. Kau tahu, ada karang yang dapat merusaknya."
Sophia mengangguk-anggukan kepala sebelum menerima uluran tangan suaminya. Dia menuruni tangga dibantu oleh dua orang pelayan di kapal itu untuk memakai rompi pelampung dan menaiki motor boat. Sophia tertawa keras saat Edmund menyalakannya dan memutar gasnya cukup kencang. Pria itu ikut tertawa saat istrinya menjerit mendapatkan cipratan air yang membasahi kakinya. Mereka berputar-putar beberapa saat sebelum menepi, di mana di tepian itu sudah ada seorang pria tua yang menunggunya.
"Selamat datang, SeƱor, SeƱora," ucapnya sambil membantu keduanya membawa rompi pelampung.
"Kau sudah mempersiapkan semuanya?"
"Tentu, SeƱor, semua yang SeƱora butuhkan ada."
Sophia menatap Edmund yang ada di sampingnya. "Apa yang aku butuhkan?"
Edmund tersenyum dan mengusap tangan Sophia yang berlayut manja padanya. "Makanan."
"Astaga, kau pikir aku rakus? Mereka harus menyiapkan makanan?" Sophia mencubit perut Edmund dan membuat pria itu berteriak kesakitan. Keduanya dihiasi dengan tawa saat masuk ke dalam rumah itu, Edmund yang merangkul bahu Sophia membuat perempuan itu merasa nyaman, dia senang mengira Edmund mulai membuka hatinya.
***
Waktu terasa begitu cepat bagi Sophia, tidak ada hari tanpa senyuman untuknya semenjak berada di Anguilla. Ini adalah hal terindah yang dia rasakan dalam hidupnya, bagaimana pria yang dicintainya melimpahkan segala perhatian dan kasih sayang. Dalam lubuk hatinya, Sophia selalu berharap kalau Edmund membuka hati untuknya.
Bahkan satu bulan pun terasa hanya beberapa hari bagi Sophia, dia menikmati setiap hari, setiap jam bahkan setiap detiknya bersama Edmund. Mereka selalu bersama, ketika pergi ke kota untuk berbelanja atau pun berkendara dengan supercar milik Edmund untuk menemukan tempat-tempat yang indah. Semenjak mereka menginjakan kaki di Anguilla, Edmund menerapkan peraturan kalau mereka tidak boleh memegang ponsel. Hanya ada telpon beberapa kali dalam seminggu untuk Edmund tentang pekerjaannya.
Hal itu membuat Sophia semakin senang, waktunya bersama Edmund semakin banyak. Mereka benar-benar seperti pasangan kekasih yang baru menikah dengan perasaan saling mencintai. Entah Edmund melakukannya demi bayi yang ada dalam kandungannya atau memamg demi dirinya, Sophia tidak peduli. Dia hanya, menikmati setiap detik yang Tuhan berikan untuk kebersamaan dirinya dan Edmund.
Setiap sore, keduanya kembali ke Scrub Island dengan kapal pesiar yang sudah bagaikan taksi bagi Sophia. Mereka bermalam di rumah kayu yang nyaman dan hangat, udaranya yang segar membuat Sophia semakin nyaman. Apalagi di saat malam hari, mereka tidur di kamar loteng yang memiliki atap kaca yang bisa terbuka. Itu adalah saat-saat menakjubkan bagi Sophia, di mana dia bisa berbagi kehangatan dengan Edmund sambil menatap bintang di langit. Seperti sekarang.
"Edmund?"
"Hm?" Pria itu menggesekan kepalanya ke leher belakang Sophia, menghirup aroma rambut wangi milik istrinya.
Mata Sophia tidak lepas dari langit, dia tertidur sambil membelakangi Edmund membiarkan tangan pria itu masuk ke dalam piyamanya. Tangannya tidak berhenti mengelus perut Sophia yang kini semakin membesar.
"Edmund."
"Ada apa?" Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap istrinya yang sedang tertidur miring.
"Kita akan pulang besok?"
"Apakah itu kalimat tanya?"
Sophia mengalihkan pandangan pada suaminya, dia mengerucutkan bibirnya kesal apalagi saat pria iti tertawa.
"Ya, kita akan pulang besok. Kenapa? Kau mulai suka tinggal di sini?"
"Aku suka di sini sejak awal," ucapnya penuh penekanan dan kembali menatap bintang.
"Hei, apa yang salah? Kenapa kau nampak sedih?" Tangan Edmund menyingkirkan rambut yang menutupi pipi Sophia, dia memberikan kecupan kecil di sana sebelum membaringkan kembali tubuhnya di belakang istrinya sambil memeluk. "Kita akan kembali ke sini jika ada waktu luang."
"Kau akan sibuk dengan pekerjaanmu," dengusnya membalikan badan menatap Edmund.
"Astaga!"
"Ada apa?" Sophia mengamati raut wajah Edmund yang nampak terkejut.
"Kau semakin gemuk," ucapnya sambil tertawa. Edmund segera memeluk Sophia sebelum perempuan itu membalikan badan membelakanginya. "Ayolah, aku hanya bercanda."
"Dan itu menyebalkan." Sophia mencubit dada telanjang Edmund. "Kau yang membuatku gemuk, Ed, kau menghamiliku dan itu tidak terbantahkan."
Sophia mengatup mulutnya seketika saat melihat cahaya bahagia dalam mata Edmund redup seketika, dua merutuki dirinya mengingatkan Edmund pada hal itu. Dia pasti merasa bersalah.
"Maafkan aku," ucapnya yang membuat Sophia semakin merasa bersalah. "Seandainya aku dapat mengendalikan diri itu tidak akan terjadi."
Tangan Sophia terulur membelai garis rahang suaminya, dia mengusapnya hingga mata safir itu kembali membalas tatapannya. "Kalau hal itu tidak terjadi maka kita tidak akan ada di sini, mari kita sebut kejadian itu sebagai keajaiban," ucapnya dengan senyuman manis.
Edmund ikut tersenyum dan perlahan berubah menjadi tawa kecil. "Ya, itu keajaiban, kau menjadi istri seorang konglomerat."
"Tidak semenyenangkan itu menjadi istri konglomerat!" Teriaknya saat Edmund tertawa semakin kencang.
"Oke, oke, kemarilah." Edmund membalikan tubuh Sophia yang baru saja membelakanginya, dia menahannya dengan memegang pinggul istrinya. "Beritahu aku bagian mana yang tidak menyenangkan?"
Sophia yang semakin kesal dengan wajah Edmund yang jahil itu, dia memukul-mukul kecil dada suaminya. "Kau begitu dingin, suka membentak dan memaksakan kehendak. Terkadang tatapanmu yang mengintimidasi itu ingin mebuatku menangis!"
Dan lagi, Edmund tertawa dengan keras. Dia menyembunyikan wajahnya di dada Sophia untuk meredam tawa yang membuat istrinya semakin kesal.
"Berhenti tertawa!"
"Baik, baik." Edmund menarik napasnya mencoba menahan tawa yang ingin dikeluarkan mulutnya. "Mungkin aku memang seperti itu sebelum menyadarinya."
"Menyadari apa?"
Edmund menyipitkan matanya menggoda istrinya.
"Katakan padaku!"
"Sebelum aku menyadari kalau bentuk payudaramu itu sangat bagus," ucapnya sambil meletakan telapak tangannya di dada Sophia.
"Edmund!"
"Apa?" Dia mengerutkan keningnya melihat wajah Sophia yang memerah.
"Berhenti bicara seperti itu," ucapnya menyingkirkan tangan Edmund dari dadanya, tangan Sophia memegang pipinya yang terasa panas.
"Apa yang salah? Perkataan seperti itu adalah hal biasa untuk sepasang suami istri," ucap Edmund menggoda Sophia.
Wajahnya memerah, Sophia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya lalu bersembunyi di dada Edmund untuk menghindari tatapan suaminya yang menggoda. "Aku malu," ucapnya membuat Edmund hampir saja tertawa keras.
"Kau malu? Astaga, Sophie, apa kau sadar apa yang selalu kita lakukan di sini?" Edmund memaksa Sophia menjauh dari dadanya, tapi perempuan itu menggeleng.
"Berhenti menggodaku!"
"Oke, oke, sekarang menjauh sedikit dari tubuhku, Sophie, bayi kita terjepit."
Sophia menggeleng. "Tidak sebelum kau berhenti menatapku dengan tatapan itu."
"Tatapan apa?"
"Tatapan menggoda."
Edmuns menggigit bagian dalam pipinya menahan tawa. "Baiklah, sekarang berikan luang untuk bayi kita."
Sophia menuruti apa perkataan suaminya, setelah ada ruang di antara mereka, mata hijau itu kembali menatap mata suaminya. Mulut Sophia terbuka, dia kesal melihat Edmund yang masih menatapnya jahil.
"Dadamu bertambah besar."
"Ap-hmmp." Bibir Sophia lebih dulu dibungkam oleh bibir suaminya sebelum menyelesaikan ucapannya. Dan ini akan menjadi malam terakhir yang indah di Scrub Island, Anguilla.
***