Vote sebelum membaca😘😘😘
.
.
Edmund mengerjapkan matanya saat sinar matahari menerobos masuk ke dalam celah gorden dan menyinari matanya yang terpejam, pria itu memggeliat dan meraba samping ranjang. Dia mengerutkan keningnya saat tidak mendapatkan Sophia ada di sana, Edmund menghela napas panjang mengira istrinya itu sedang memasak sarapan untuknya. Edmund melangkah ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya, ucapan Sophia terngiang-ngiang di telinganya sepanjang malam. Di mana perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu menyatakan cintanya, dan dirinya pergi begitu saja dari sana. Membuatnya kini menyesalinya sekarang, dia belum berbicara lagi dengan Sophia setelah kejadian tadi malam.
Bukannya Edmund menolak perasaan Sophia, dia hanya belum siap dengan ungkapan itu. Ungkapan cinta yang sering diucapkan Sara membuatnya terbuai hingga dirinya begitu jatuh ke dalam rasa cinta itu sendiri, dan Edmund mulai meragukan rasa cinta itu di saat Sara tiba-tiba pergi saat hari pernikahan mereka tinggal beberapa minggu lagi.
Dan setelah memikirkannya semalaman, Edmund merasa Sophia pantas mendapatkan hatinya. Perempuan itu istrinya, mengandung anaknya dan sudah pasti akan menemaninya hingga hari tua kelak. Meskipun dirinya tidak bisa berbohong bahwa Sara masih memenuhi hatinya, Edmund akan berusaha mencintai istrinya itu.
Setelah selesai berpakaian rapi, Edmund keluar dari kamar dan melangkah menuju lantai pertama. Matanya mengedar mencari sosok perempuan yang biasanya kini sedang memasak di dapur.
"Sophie?" Edmund memanggil nama istrinya sambil melangkah memasuki ruangan yang biasanya di tempati istrinya itu. "Kau di mana, Sophie?"
Edmund semakin panik saat Sophia tidak ditemukan di mana pun, apalagi ponselnya mati. Ini mengingatkannya pada kejadian waktu itu, saat Sophia pergi ke Downtown Los Angeles karena Marxel menyakitinya dengan perkataannya. Edmund sangat takut, dia takut jika Sophia pergi membawa bayinya. Bukan hanya satu orang yang meninggalkannya, tapi dua sekaligus. Edmund tidak boleh kehilangan mereka. Dia menghubungi Rose dan SergÃo, menanyakan keberadaan istrinya dan berakhir dengan umpatan kasar. Edmund menutup telponnya sebelum menjawab pertanyaam orangtuanya tentang apa yang terjadi dengan keberadaan istrinya.
Satu hal yang melintas di pikiran Edmund saat itu, rumah Martina. Dia bergegas mengambil kunci mobil dan mengendarainya dengen kecepatan di atas rata-rata, hatinya tidak berhenti berdoa berharap istrinya ada di sana dengan keadaan baik-baik saja. Begitu sampai di sana, Edmund berlari kecil memasuki halaman yang hijau itu dan mengetuk pintu berulang kali.
"Edmund, bagaimana kabarmu, Nak?"
"Apa Sophie ada di sini?" Edmund melangkah masuk saat Martina mempersilahkannya.
"Ya, dia ada di kamar itu," tunjuk Martina pada pintu kamar yang ada di dekat perapian. Edmund tersenyum sesaat sebelum masuk ke dalam kamar itu.
Rasa lega langsung memenuhi hati Edmund ketika melihat seorang perempuan sedang berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam, tidurnya yang damai menambah rasa lega Edmund. Pria itu berjongkok dan menatap langsung wajah Sophia yang tidur, tangannya terangkat mengusap pipinya yang halus sebelum memberikan kecupan pada pipinya.
"Kau membuatku khawatir," ucap Edmund mengusap rambut Sophia yang lembut. "Kau hampir membuat jantungku bermasalah."
Edmund tetap berada di sana untuk beberapa menit, dia enggan membangunkan istrinya. Yang Edmumd lakukan hanya memandang dan mengusap pelan pipi istrinya dengan penuh kasih sayang, Edmund tidak menyangkal bahwa dia menyayangi Sophia, tapi dia masih belum mencintainya.
"Tidurlah, aku akan menjemputmu nanti," ucap Edmund mencium kening istrinya lama sebelum keluar dari kamar itu. Dia mendekati Martina yang sedang menyajikan sarapan di meja kayu kecil yang dikelilingi tiga kursi kayu.
"Kau akan sarapan di sini?"
"Sepertinya begitu," ucap Edmund duduk di salah satu kursi itu. "Maaf aku menerobos masuk begitu saja."
"Tidak apa, aku tahu kau khawatir dengan istrimu," ucap Martina memberikan piring berisi jagung rebus dengan daging cincang di atasnya pada Edmund.
"Kapan Sophia kemari, Nek?"
"Dia kemari dini hari tadi, dengan wajah yang sembab."
Ucapan Martina membuat Edmund terdiam sesaat, dia menghela napasnya dalam. "Apa dia mengatakan hal lain padamu?"
"Ya, dia bilang akan pergi ke Anguilla nanti siang."
Edmund menganggukan kepalanya. "Memang, tapi sepertinya kami akan pergi nanti malam. Ada pertemuan pemilik saham yang tidak bisa aku hindari."
Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat, Edmund berkecamuk dengan pikirannya memikirkan Sophia yang datang kemari dengan wajah sembab karena menangis. Dia adalah suami terburuk yang membuat istrinya pergi sambil menangis.
"Apa dia menceritakan kenapa dirinya menangis?"
Martina menggeleng. "Sayangnya tidak, dia hanya mengatakan itu sebelum tidur."
Mata Martina tidak lepas memperhatikan Edmund yang menunduk sesaat dengan raut wajah menyesal. "Apa kalian sedang memiliki masalah?"
Edmund tersenyum tipis sebelum menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menganggapnya sebagai masalah, tapi kurasa, ya, sekarang itu menjadi masalah."
"Apa yang terjadi?" Martina bertanya dengan tatapan teduh, seolah tatapan ibu pada anaknya.
"Sophia bilang dia mencintaiku."
Mendengar hal itu Martina tertawa keras sebelum meminum air putih untuk meredakan suaranya yang serak akibat tertawa. "Itu hal bagus, kenapa kau menjadikan hal itu masalah?"
"Masalahnya adalah, aku mengabaikannya saat dia mengungkapkan perasaannya, Nek."
"Apa kau mencintainya, Edmund?"
Mata biru itu membalas tatapan Martina, dia menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu, tapi aku sangat menyayanginya," ucap Edmund menyuapkan kembali sarapan itu ke dalam mulutnya.
Tanpa Edmund dan Martina sadari, Sophia yang telah bangun mendengar percakapan itu. Air matanya kembali terjatuh mengetahui fakta bahwa Edmund memang tidak mencintainya, hal yang membuatnya begitu sakit daripada ketika dirinya harus putus sekolah. Edmund adalah cinta pertama Sophia, pria itu adalah yang pertama untuknya dalam segala hal.
***
"Hati-hati, Señora," ucap Nicholas saat Sophia berjalan di atas tangga menaiki jet pribadi milik keluarga D'allesandro. Dia masuk terlebih dahulu dan duduk di kursi yang ada di dekat jendela, lewat jendela itu Sophia menatap Edmund yang sedang berbicara dengan seseorang di bawah sana.
Sophia memegang jantungnya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya, menatap Edmund mengingatkannya pada fakta bahwa pria itu tidak mencintainya sama sekali. Mungkin Marxel memang benar, Edmund hanya menganggapnya sebagai wanita yang melahirkan anaknya saja.
Semenjak pagi tadi, Sophia belum berbicara dengan Edmund. Sore hari dia dijemput oleh Benjamin menuju landasan pribadi yang ada di mansion milik Rose, dia makan malam di sana bersama mertuanya sementara Edmund belum pulang karena masih memiliki beberapa urusan. Beberapa menit setelah makan malam, baru Edmund datang dengan pesawat jet yang sudah siap landas. Semua pakaian beserta perlengkapan lain milik Sophia dan Edmund sudah diurus oleh pelayan.
Mata Sophia tidak bisa beralih dari Edmund yang kini sedang menpuk pundak pria yang bersamanya sambil tersenyum. Sophia merasa kesal sekaligus marah, suaminya tidak memiliki waktu untuknya bahkan untuk menatapnya saja.
Saat Edmuns menaiki jet, Sophia berpura-pura tidak melihatnya. Tatapannya masih terkunci keluar jendela pesawat. Tubuhnya menegang sesaat ketika Edmund duduk di kursi yang ada didepannya dan menghadap ke arahnya.
"Pakai sabuk pengamanmu, pesawat akan segera lepas landas," ucap Edmund sambi menggunakam sabuk pengaman pada dirinya sendiri.
Sophia menuruti apa yang Edmund katakan, dia mengerutkan keningnya heran mengapa pria itu memilih duduk di hadapannya padahal begitu banyak kursi yang kosong. Berbicara tentang jet pribadi keluarga D'allesandro, ini sangat menakjubkan. Kabin yang luas dengan desain yang membuat Sophia tidak berhenti menganguminya, bahkan di belakangnya terdapat mini bar yang menyimpan banyak anggur.
Sophia menghela napasnya saat pesawat berhasil lepas landas dengan sempurna, dirinya tersentak kaget saat mendapati Edmund yang tengah menatapnya. "Kenapa menatapku seperti itu?"
Edmund mengangkat bahunya. "Seperti apa?"
Pandangan Sophia segera beralih saat Edmund menatapnya serius, dia tidak ingin mendengar ucapan bahwa Edmund sebenarnya tidak mencintainya dari mulutnya sendiri. Membayangkannya saja membuat air matanya berlinang ingin dijatuhkan.
"Sophie." Edmund memegang tangan Sophia dan mengelusnya pelan.
"Apa anda ingin sesuatu, Tuan?"
Pandangan Sophia beralih pada seorang pramugari yang berdiri di samping mereka sambil memegangi buku kecil. "Kami memiliki daging sapi bagus untuk makan malam kali ini."
Edmund menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku sudah kenyang. Kau ingin makan, Sayang?"
Sophia menelan ludahnya kasar saat Edmuns memanggilnya dengan sebutan itu, dia menggelengkan kepalanya. "Tidak."
"Bagaimana dengan minumannya? Wine?"
"Ya, ambilkan aku anggur putih."
"Bagaimana dengan anda, Nyonya?" Pramugari itu beralih menatap Sophia yang menjawabnya dengan gelengan saja.
Sophia menatap kesal peamugari itu, dia melihat wanita itu menatap Edmund menggoda. "Sophie," ucap Edmund lagi menyadarkannya dari lamunan.
"Kenapa?"
"Jangan pernah pergi seperti itu lagi, kau membuatku khawatir," ucap Edmund dengan serius.
"Aku mengunjungi nenek, Edmund, tidak berniat membuatmu khawatir."
"Tapi kau pergi tanpa memberitahu," ucap Edmund dengan nada tidak terima atas apa yang diucapkan istrinya itu.
Sophia membalas tatapan Edmund dengan tajam seolah menahan amarah. "Begitu pula denganmu, kau pergi begitu saja semalam tanpa bicara pun."
"Sophie, aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan." Suara Edmund melemah meminta pengertian istrinya.
"Begitukah? Kau selalu meninggalkan wanita yang me-" Sophia menghentikan ucapannya saat rasa mual tiba-tiba merasukinya. Dia menutup mulutnya sendiri dengan wajah seakan menahan sesuatu.
"Ada apa?"
Tanpa menjawab, Sophia pergi begitu saja meninggalkan Edmund menuju kamar mandi yang ada di belakang. Selang beberapa detik, Edmund segera menyusuk Sophia, dia mengibaskan tangannya saat pramugari membawakannya anggur putih. Matanya langsung melihat istrinya yang sedang memuntahkan isi perutnya di closet, Edmund segera mengusap punggungnya dan membereskan rambutnya yang menutupi wajah Sophia.
Setelah menekan double flush sebelum menutup dudukan toilet. Dengan tertarih dia berdiri tegak dan langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis.
"Hei, Sophie, tidak apa," ucap Edmund menarik Sophia ke dalam pelukannya. Dia mengusap kepala istrinya dengan penuh kasih sayang mencoba menenangkannya. "Masih mual?"
Sophia mengangguk, ini bukan pertama kalinya dia menaiki pesawat, rasa mual yang datang secara tiba-tiba membuat Sophia menyalahkan kehamilannya. Apalagi kini rasa pusing tiba-tiba datang dan membuatnya semakin menderita.
"Kau mau tiduran?"
Sophia yang masih memeluk Edmund itu mengangguk. Tanpa bicara lagi, Edmund menggendong Sophia dan membawanya ke kamar pribadi yang ada di dalam pesawat itu. Dia merebahkannya di sana dan menaikan selimut sampai sebatas perut, Edmund juga menarik pelan Sophia agar menghadap ke arahnya hingga dia dengan mudah memeluk istrinya itu. Edmund tahu, rasa mual Sophia selalu tertangani dengan aroma tubuhnya.
"Tidurlah," ucapnya mengusap pelipis istrinya.
Tanpa berkata lagi, Sophia memejamkan matanya sambio mendesakan kepala ke dada suaminya, dia menghirup dalam aroma itu. Lalu ingatan semalam kembali memasuki Sophia, membuat dadanya sakit apalagi saat mengingat perkataan Gunner.
"Kenapa kau dan Sara berpisah?"
Edmund menghela napas mendengar pertanyaan tiba-tiba itu, dia mencium kepala Sophia sambil memejamkan matanya. "Dia pergi, Sophie, beberapa minggu sebelum pernikahan kami."
Mendengar fakta itu membuat jantung Sophia berdetak semakin kencang, dia memejamkan matanya rapat membiarkan air matanya keluar tanpa sepengetahuan Edmund. Namun, pria itu merasakannya, bagaiman tubuh istrinya bergetar dengan dadanya yang terasa hangat oleh air mata.
"Sophia, hei." Edmund mencoba menjauhkan wajah Sophia dari dadanya, dia ingin melihat mata perempuan itu. Namun, dia menggeleng keras sambil mengeratkan pelukannya.
"Apa yang kau tangisi, Sophie? Tataplah aku," ucapnya dengan lembut. Dan itu berhasil, Edmund memegang dagu Sophia mengarahkan tatapan manik hijau itu padanya.
"Apa kau... masih mencintainya?" Sophia bertanya sambil terbata-bata.
Edmund tidak bisa menjawabnya, dia tidak ingin berbohong atau pun menyakiti hati istrinya.
"Aku menyayangimu, Sophie."
"Jadi kau mencintainya, kau akan meninggalkanku," gumam Sophia menundukan lagi kepalanya, tapi Edmund menahannya.
"Kenapa aku harus meninggalkanmu? Aku sudah berjanji tidak akan pernah melepaskan tanganmu."
"Tapi kau mencintainya, bukan mencintaiku," ucap Sophia mengusap kasar air matanya.
Melihat itu Edmund menahan tangan Sophia dan kembali memaksanya menatap. "Ya, ya, itu memang benar, aku mencintainya."
Dan pecahlah tangisan Sophia, dia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Edmund mendesah pelan sebelum menarik istrinya kembali ke dalam pelukan.
"Sara tidak lebih dari masa laluku, Sophie. Aku memang mencintainya, tapi aku tidak akan meninggalkanmu demi dirinya."
"Kenapa dia pergi?" Sophia bertanya diantara tangisannya, dia masih enggan membuka tangan yang menutupi wajahnya
"Aku pun tidak tahu, dia pergi begitu saja tanpa berkata apa pun, bahkan aku tidak tahu jika dia sudah meninggalkan apartemennya selama dua hari."
Sophia mengusap air matanya kasar, tanpa disadarinya Edmund terkekeh melihat itu. Istrinya nampak lucu dengan wajah sembab dan hidung merah, Sophia terlihat seperti boneka saat menatapnya dengan mata bulatnya. "Apa kau masih mencarinya?"
Edmund menggeleng. "Tidak, sekarang tidak lagi."
"Jadi beberapa hari yang lalu kau masih mencarinya?"
Edmund menelan ludahnya kasar mendapat kembali tatapan tajam dari istrinya, dia menelan ludahnya kasar. Sophia lebih dulu bicara saat mulut Edmund terbuka.
"Kau sangat mencintainya, itu yang membuatmu menjadi gila malam itu."
Ekspresi jahil Edmund terganti dengan wajah datar, dia terdiam mengingat kembali bagaimana mereka bertemu. Edmund menghela napasnya dalam sambil memejamkan matanya.
"Dia sudah bersamaku sejak.... lama sekali." Dia terdiam sesaat. "Jika kau bertanya aku masih mencintainya? Ya, tentu saja, aku masih mencintainya."
Edmund menahan Sophia saat perempuan itu hendak memalingkan wajahnya. "Tapi aku tidak akan pernah kembali padanya, Sophia. Kau memiliki semua yang aku inginkan."
Sophia terdiam.
"Coba bandingkan, kau adalah istriku sedangkan Sara tidak memiliki hubungan apa pun dengaku, kau mengandung anakku, Sophia, sedangkan Sara, dia tidak memberiku keturunan. Kau lebih unggul dibandingkan dengannya, kau memiliki semuanua sehingga aku tidak mungkin meninggalkanmu. Kau bahkan lebih muda, Sophie, membuatku merasa lebih beruntung memilikimu," ucap Edmund dengan lembut, tangannya mengusap air mata pada pipi istrinya.
Sophia mengatur napasnya sebelum mendongkang menatap Edmund. "Tapi kau tidak mencintaiku," ucapnya dengan suara parau.
"Maka dari itu, buatlah aku mencintaimu," ucap Edmund sebelun menyatukan bibir mereka.
***