Vote sebelum membaca😘
.
.
Seorang wanita tersenyum saat mengingat hal manis terjadi padanya beberapa minggu terakhir ini. Hari ini dia rela tidak bekerja karena Jaden bilang akan menunjukan sesuatu padanya. Aurin memakai memakai kemeja berwarna navy blue, dalam pikirannya di yakin kalau ini adalah kencan. Aurin segera turun ke bawah saat mendapatkan pesan dari Jaden kalau pria itu ada di bawah, dia berlari kecil untuk segera sampai di sana. Namun, sesuatu yang aneh terjadi, di sana Jaden keluar dari mobil cadilac hitam dengan pakaian formal. Jaden mengenakan jas hingga membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Yang Aurin tahu Jaden bukanlah orang kaya, dia hanya orang biasa yang bekerja sebagai pegawai took kue bersama dirinya.
"Masuklah," ucapnya membuyarkan lamunan Aurin. Seketika pertanyaan yang hendak dia ajukan pad Jaden hilang seketika saat melihat dia dari samping. Aurin begitu mengagumi wajah Jaden yang begitu tampan.
"Kita akan kemana Jaden?"
Jaden tersenyum lalu menatap Aurin yang mengamatinya. "Ke tempat tinggalku," ucapnya membalas senyuman Aurin, membuat wanita itu bahagia setengah mati. Aurin telah memberikan semuanya untuk Jaden, dia bahkan memberikan keperawanannya tanpa meminta status pada hubungan mereka. Berdekatan dengan Jaden saja membuat Aurin senang setengah mati, dia mengagumi pria itu sejak dia melamar pekerjaan di toko tempat Aurin bekerja.
Mobil Jaden berhenti di sebuah mansion besar yang yang ada di tengah hutan. Lagi-lagi dia diberikan kejutan dengan rumah Jaden yang begitu besar dan dihuni oleh para pelayan berpakaian rapi.
"Bawa dia ke kamarku," perintah Jaden pada salah satu pelayannya saat mereka sampai di lantai dua.
"Baik, Tuan."
"Kau mau kemana?" Aurin menahan tangan Jaden.
"Aku ada urusan sebentar, tunggulah di sana," ucap Jaden melepaskan pegangan tangan Aurin dengan pelan, dia melanglah ke arah yang berlawanan dengan Aurin.
Menit demi menit berlalu, dan Aurin mulai kesal berada di kamar mewah itu seorang diri. Dia memutuskan keluar dari kamar dan berjalan menelusuri lantai dua. Aurin melihat-lihat lukisan yang terpasang di dinding sambil tersenyum kagum. Hingga dia tanpa sadar melangkah ke area yang lebih gelap, di mana cahaya terbatas dan gambar yang ada di lukisan juga semakin menakutkan, seperti lukisan manusia terpenggal, lukisan anjing yang mengoyak mangsanya dan lukisan pisau berlumuran darah.
Aurin bergidik ngeri, saat dia memutuskan untuk kembali ke dalam kamar Jaden, dia mendengar seseorang berteriak. Membuatnya menghentikan langkah lalu melangkah mencari sumber suara. Aurin menemukannya, suara itu berasal dari balik pintu yang sedikit terbuka. Dengan penuh ketakutan dia mengintip di balik celah pintu itu.
Matanya membulat seketika saat melihat Jaden yang tengah menyiksa seorang pria yang terikat di kursi. Aurin membekap mulutnya saat melihat Jaden dengan bengis menyayat tangan pria tua yang keriput itu, air matanya menetes saat Jaden tanpa ekspresi menusuk kepalanya dengan pisau lalu memutarnya sebelum mencabutnya kembali. Setelahnya pria itu tertawa gila persis seperti seorang psikopat.
Tubuh Aurin seakan sulit bergerak, menyebabkan matanya kembali melihat hal yang menakutkan. Disana, Jaden menancapkan sebua berlian pada dahi yang telah dia lubangi pada pria tua itu. Lalu setelahnya dia menendang kursi hingga pria yang telah tidak bernyawa itu tergeletak tidak berdaya. Lalu memorinya berputar kembali pada acara berita yang sering ditontonnya saat malam hari, di mana polisi menemukan mayat dengan berlian yang tertancap di dahi mereka. Jaden adalah pembunuh berantai para orang-orang kaya itu.
Perlahan Aurin melangkah mundur, tapi Tuhan seakan tidak memihaknya. Tubuhnya menyenggol vas bunga hingga vas itu pecah dan menimbulkan suara. Aurin membulatkan matanya, tubuhnya bergetar saat menyadari Jaden sudah menatapnya di ambang pintu. "Kau mengintip, sayangku?" Jaden berucap sambil tersenyum miring.
Aurin yang ketakutan pun berlari, sayangnya Jaden menangkap rambut Aurin lalu menyeretnya ke dalam ruangan itu. Dia menguncinya sebelum menjatuhkan Aurin di ats ranjang, Jaden memborgol kedua tangannya di atas kepala ranjang lalu tertawa puas melihat Aurin yang berontak sambil menangis.
"Lepaskan aku!"
"Tidak, Sayang, aku membutuhkanmu, dan akan selalu begitu," ucap Jaden naik ke atas ranjang lalu menarik celana Aurin. Semua rontaan yang wanita itu lakukan tidak berguna, Jaden memiliki tenaga yang lebih kuat.
"Jangan lakukan ini, aku mohon."
Kening jaden berkerut. "Kenapa? Bukankah kau suka sentuhanku?" jaden menyentuh perut Aurin menggodanya. Namun, wanita yang kini dikuasai rsa takut itu menggelengkan kepalanya kuat.
Jaden mendesah kesal dan melemparkan kaki Aurin yang semula dia paksa untuk membelit pinggangnya. "Biar aku ceritakan sesuatu, Aurin," ucap Jaden berdiri di pinggir ranjang sambil meminum alcohol yang ada di nakas.
"Sejak aku kecil hanya ada aku dan ibuku di tempat yang kumuh dan penuh dengan sampah, ayahku pergi entah kemana tanpa mengabari kami," ucapnya meminum segelas alcohol itu. "Selama 20 tahun, aku mendapat siksaan dari ibu kandungku sendiri, dia begitu membenciku karena aku mirip dengan pria yang seharusnya menjadi ayahku. Setiap malam aku selalu dipukul olehnya, bahkan ibuku pernah memaksaku memakan sabun saat usiaku 6 tahun agar aku mati dan pria itu datang melihat. Sungguh dia adalah wanita yang gila." Jaden yang sudah menghabiskan alkoholnya itu memainkan pisau yang penuh dengan darah.
"Lalu suatu hari, pria itu datang lagi, dia bersujud di hadapan ibu meminta ampunannya dan menceritakan kenapa dirinya pergi. Ibuku terlalu mencintainya hingga dia memaafkannya. Pria itu, William Blackstone, membawa kami ke kediamannya, di sini. Awanya aku membenci dan ingin membunuhnya, tapi melihat senyuman ibu, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Apa pun yang dilakukannya padakku selama 20 tahun ini, aku tetap menyayanginya, setidaknya dia tidak pergi meninggalkanku, ibuku tetap ada di sampingku saat aku sakit."
Aurin terdiam mendengar ucapan Jaden, hingga tanpa disadarinya, jaden tengah membuka bajunya menggunakan pisau itu. Aurin terlalu focus pada mulut Jaden yang menceritakan masa lalunya.
"Kemudian kebahagiaan ibu lenyap seketika, William dituduh atas pencurian berlian yang merupakan salah satu asset berharga perusahaan D'allesandro. Bukan hanya itu tuntutannya, dia juga dituduh menggunakan uang rumah sakit yang ada di Zurich, melakukan mal praktek sampai menyembunyikan obat terapi yang katanya sangat mahal itu. Mereka menjatuhkan hukuman seumur hidup padanya."
Jaden yang tengah berhasil membuka kemeja Aurin itu tersenyum senang. "Ibuku berkata, bunuh semua orang yang menjatukan tuntutan pada William, bunuh semua orang yang terlibat di dalamnya, buat mereka menderita, seperti aku sekarang. Itu kalimatnya sebelum dia meninggal dalam pangkuanku," ucap Jaden kembali duduk diantara kaki Aurin.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Aurin berteriak saad menyadari Jaden menjebaknya dalam cerita, pria itu dengan mudah melepaskan semua pakaiannya saat Aurin mendengar ceritanya.
"Aku telah menceritakan semuanya padammu, Aurin, tidakkah kau ingin membantuku?"
"Aku tidak sudi membantumu," ucapnya memberontak.
"Tapi aku butuh bantuanmu, Aurin. Aku butuh kau untuk membunuh Sophia dan juga…. Kepuasan seksualku," ucapnya disertai seringai mematikan.
***
Pagi hari ini Edmund mengantarnya ke apartemen sebelum dia berangkat bekerja. Setalah beberapa hari diam di Downtown Los Angeles, Sophia kembali ke apartemen. Edmund mendapatkan panggilan dari Maria bahwa kedutaan Jepang ingin bertemu dengannya, memaksa secara tidak langsung Edmund yang sedang memeluk Sophia untuk bekerja. Dan Sophia, dia menarik napasya mengingat Lexi ada di dalam sana, dia berdo'a semoga Santiago juga ada di sana hingga dia tidak berduaan dengan Lexi yang gila itu.
Begitu Sophia membuka pintu, dia mendengar sura denting alumunium dari dapur. Sophia melangkah ke sana dan melihat Lexi yang sedang memasak.
"Lexi?"
"Hai, Sophia, selamat datang kembali," ucapnya sambil tersenyum ramah. "Kemarilah."
"Apa yang sedang kau lakukan?" Sophia mendekat.
"Aku memasak sarapan, kau sudah sarapan?"
Sophia mengangguk. "Dimana Santiago?"
Lexi mengangkat bahu. "Aku tidak melihatnya sejak kemarin, padahal aku ingin berpamitan."
"Berpamitan?"
Lexi mengangguk. "Aku akan kembali ke Buenos Aires, cukup sudah mendengar ucapan orang-orang kalau aku ini gila," ucapnya sambil tertawa.
Sophia hanya tersenyum, dia mendekati Lexi lalu membantunya bmembuat omelet. Sophia ingat perkataan Edmund, bahwa dirinya tidak boleh terlihat lemah di depan Lexi. Dan juga, Edmund menyarankann kalau Sophia harus memegang benda tajam jika berada di dekatnya, hal itu agar ketika Lexi menggila, Sophia tinggal menusuk Lexi di perutnya. Sungguh saran yang menakutkan, tapi sedang Sophia lakukan sekarang. Dia memegang pisau tajam yang digunakannya untuk mengiris bawang.
"Sophia, lihat aku."
Sophia membalikan badan dan langsung menutup wajahnya menyadari Sophia merekamnya. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku harus merekam kegiatan terakhirku di sini," ucapnyan merekam diriya sendiri. "Sophia, bisakah kau membuatkan susu untukku?"
"Aku sedang membuat omelet."
"Ayolah," ucapnya memaksa.
Sophia mendesah, dia membuka kulkas dan menuangkan susu cair ke dalam gelas. "Ini dia," ucapnya sambil tersenyum riang. "Aku akan meminumnya," ucap Lexi sambil menatap kameranya.
Sophia menggelengkan kepalanya, dia kembali membuat omelet tanpa menghiraukan Lexi yang ada di belakangnya. Hingga Sophia mendengar suara gelas pecah, dia membalikan badannya. Mata cokelat itu membulat melihat Lexi yang terkapar di lantai dengan tubuh kejang. Sophia panic, dia segera menghubungi ambulan.
Sepanjang perjalanan Sophia tidak henti-hentinya berdo'a, dia menatap cemas Lexi yang masih kejang. Begitu sampai di rumah sakit, Sophia langsung menghubungi Rose dan Edmund dengan memakai telpon umum, dia lupa membawa ponselnya.
Menit demi menit berlalu, Sophia menatap cemas ke arah ruangan di mana Lexi diperiksa. Saat dirinya melihat Rose dan suami beserta mertuanya datang, Sophia berdiri. Keningnya berkerut saat Marxel berjalan mendahului anaknya dengan menatap tajam pada Sophia.
"Lexi ma-"
Marxel menampar Sophia dengan keras sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, wajah perempuan itu berpaling ke samping lalu menatap Marxel dengan mata berair.
"Apa yang kau lakukan pada anakku, hah?! Berani-beraninya kau meracuninya! Dasar parasit," teriak Marxel lalu kembali memberikan tamparan pada Sophia.
Harga dirinya terluka, Sophia berlari dari sana ketika Rose hendak mendekat. Dia berlari keluar rumah sakit, membiarkan rintikan hujan membasahi tubuhnya. Sophia terisak, dia memegang dadanya yang terasa begitu sakit. Lalu tiba-tiba saja seseorang membalik tubuhnya dan langsung memeluknya.
Sophia tidak berontak, dia memang membutuhkan pelukan saat ini juga. "Maaafkan aku," ucap Edmund tepat pada telinga istrinya.
----
Ig : @alzena2108
zee💋💋