Chereads / Oh Baby (Romance) / Chapter 5 - Bab 5

Chapter 5 - Bab 5

Jangan lupa kasih bintang, komentar dan jadikan koleksi. juga ajak yang lain ya. love you :))))

.

.

Siang hari saat selesai bekerja di pet shop, Sophia mempir ke toko buah. Sophia berniat untuk membeli buah untuk neneknya sebelum pergi ke rumah sakit. Ia berjalan dengan senyuman terpatri di wajahnya.

"Selamat siang, Sophie," ucap sopir bus sembari membukakan pintu untuk Sophia.

"Selamat siang, Tuan Welt," jawab Sophia dengan ramah dan duduk di tempat biasa ia duduk. Matanya memandang keluar jendela menikmati keindahan kota Los Angeles. Ia turun dari bus ketika sudah sampai. Tangannya membawa tas berisi buah-buahan.

Ia memasuki rumah sakit tempat neneknya dirawat. Sophia berjalan ke ruangan no.135-B. Rumah sakit ini memang luas, jadi jangan ditanya jumlah kamarnya. Sophia membuka pintu kamar dan mematung di ambang pintu, ruangan Martina kosong. Bahkan kasurnya sudah dilipat pertanda tidak ada penghuni.

Buah yang Sophia bawa jatuh dan berserakan di lantai. Sophia segera berlari menemui dr.Allarick, sejuta pertanyaan dalam benak Sophia membuat air matanya jatuh. Pikirannya tak karuan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari secepat mungkin.

"Sophie ?" dr.Allarick kaget saat Sophia masuk keruangannya tanpa mengetuk pintu. Langkah kaki Sophia semakin cepat dan memegang baju dr.Allarick.

"Ke.... kemana nenekku ?" Sophia bertanya dengan sesegukan.

"Tenanglah Sophie..." dr.Allarick menyuruh Sophia duduk di kursi dan memberikannya air namun ia tolak.

"Nenekmu sudah dipindahkan ke ruangan VVIP di lantai atas, kau tidak mengetahuinya ?" Sophia menghentikan isak tangisnya dan menatap dr.Allarick

"VVIP ?" ulang Sophia, dr.Allarick mengangguk.

"Kukira kau sudah mengetahuinya. Nenekmu dipindahkan tadi pagi."

"Siapa yang memindahkannya ?"

"Aku juga tidak tahu. Pihak rumah sakit memindahkannya begitu saja."

Setelah mendengar penjelasan dari dr.Allarick, Sophia segera memasuki lift menuju lantai atas dengan wajah masih cemas. Sophia berjalan menuju ruangan di ujung lorong yang dijaga oleh para bodyguard. Pintu ruangan itu terbuat dari kaca hitam, lantai atas ini sangat sepi. Tidak ada orang berlalu-lalang seperti biasanya.

'Apa yang sebenarnya terjadi ?' pikiran Sophia terus mengulang pertanyaan itu.

"Permisi. Apa nenekku di dalam ?" tanya Sophia pada perempuan yang sedang duduk di meja kerjanya sambil menelepon.

"Ah... anda Nona Sophia ?" Sophia mengangguk.

Perempuan berpakaian formal itu memberi isyarat pada para bodyguard agar Sophia bisa masuk. Bodyguard itu menundukan kepalanya begitu Sophia lewat. Sementara perempuan itu masih kebingungan dengan keadaan seperti ini.

"Nenek !" Sophia berlari memeluk Martina yang sedang menyandarkan bahunya di kasur.

"Sayang, kau kenapa ?" bahu Martina terasa basah.

"Kukira nenek pergi kemana." Sophia menghapus air matanya kemudian duduk di pinggir tempat tidur Martina.

"Tidak ada tempat selain ranjang untuk nenek." Martina mengelus pipi cucunya sayang, Sophia menggelengkan kepalanya.

"Siapa yang membawa nenek kemari ?" tanya Sophia penasaran.

"Beberapa perawat."

"Nenek !!" teriak Sophia dengan bibir yang mengerucut.

"Aku tidak tahu Sophie, seorang pria memberitahu bahwa itu perintah tuannya," jelas Martina.

Sophia melihat sekeliling ruangan. Kamar yang sangat luas, bahkan terdapat bathub di kamar mandi, televisi yang besar, sofa yang luas dan pemandangan langsung ke taman belakang rumah sakit. Sophia harus mencari tahu siappa yang melakukan ini, awalnya ia berpikir Gunner yang melakukannya. Tapi tidak mungkin, Gunner menghilang beberapa hari yang lalu layaknya ditelan bumi.

Sophia hendak kembali bekerja sesudah berpamitan pada Martina. Ia kembali menanyakan siapa yang memindahkaan neneknya pada dr.Allarick, tapi jawabannya masih sama. dr.Allarick juga berkata bahwa obat baru yang diberikan oleh pihak rumah sakit membuat keadaan Martina membaik.

Sophia tidak perlu mengeluarkan uang lagi, karena rumah sakit bilang itu memang khusus untuk Martina. Bukannya merasa tenang, Sophia malah gelisah. Sebenarnya ia ingin Martina kembali ke kamarnya yang lama, tapi melihat keadaan neneknya yang membaik dan Martina menyukai kamar itu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Mungkin kali ini ia harus bersyukur pada Tuhan telah mempermudah hidupnya.

Sophia kembali ke apartemennya setelah selesai bekerja. Nanti malam Sophia berniat mencari pekerjaan baru, ia harus mulai menabung untuk kedatanga anggota keluarga baru. Kebutuhan anaknya kelak harus tercukupi, bahkan harus lebih disaat ayahnya tidak ada.

Sophia memutar kunci apartemen dan masuk. Ia melepaskan sepatunya dan menyimpannya dengan rapi di rak sepatu miliknya. Tangannya sibuk mencari saklar lampu saat ia membuka jaket yang dikenakannya.

"Sophia." Lampu apartemen menyala bersamaan dengan panggilan itu.

Sophia mematung. Suara ini, ia ingat dengan jelas suara bariton yang sangat ia benci. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, jantung Sophia berdetak dengan kencang. Ia memberanikan mencari asal suara. Seorang pria sedang berdiri sambil menyilangkan tangannya dan bersandar didinding, matanya yang tajam menatap Sophia lekat.

"Anda salah orang, Tuan." ucap Sophia dengan nada datar.

Sophia membukakan pintu apartemennya bermaksud menyuruh pria itu keluar. Edmund tersenyum kecil, lagi-lagi jawaban ini yang ia dapatkan saat berdekatan dengan Sophia.

"Tidak mungkin kau melupakan malam itu, Sophia. Aku ingat dengan jelas bagaimana kau menjerit ketakutan hingga memasrahkan dirimu sendiri," ucap Edmund dengan nada menantang.

"Brengsek ! Pergi dari sini iblis ! Kau adalah makhluk terkutuk." Sophia berteriak sambil mendekat menunjuk wajah Edmund.

Edmund memegang tangan Sophia yang sedang menunjuknya dan menariknya hingga jarak mereka cukup dekat. Sophia berusaha melepaskannya namun Edmund memegang tangan itu semakin kencang.

"Dengar Sophia, aku datang dengan baik-baik dan kau harus memperlakukanku baik pula." Edmund berkata dengan penuh tekanan.

"Kau masuk tanpa izin sialan, jadi sudah seharusnya kau diusir," ucap Sophia masih berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Edmund.

"Aku akan menikahimu." terucap begitu saja dari bibir Edmund. Sophia yang terkejut segera mendorong dada Edmund hingga mereka kini memiliki jarak, ia tersenyum mengejek menatap Edmund.

"Aku tak pernah ingin dinikahi oleh pria sepertimu, pergi sebelum aku berteriak !"

"Ini perintah. Bukan tawaran." Edmund berjalan mendekati Sophia yang mulai mundur perlahan.

"Kau tidak berhak atas diriku." Sophia menahan air matanya.

"Tapi aku berhak atas bayi ini," Sophia menegang, bagaimana pria ini bisa tahu hal yang sangat ia sembunyikan. Bahkan dari neneknya.

"Ingat itu baik-baik." Edmund mengelus sekilas perut Sophia yang masih datar sebelum ia keluar dari apartemen dan meninggalka. Sophia yang masih tidak percaya.

---

Love,

ig : @Alzena2108