Chereads / Oh Baby (Romance) / Chapter 11 - Bab 11

Chapter 11 - Bab 11

Vote sebelum membaca😘😘 Jangan lupa kasih bintang juga ya😘

.

.

"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda.

"Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban.

"Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund.

"Terima kasih," ucap Sophia saat dokter itu beranjak dari ranjang.

"Sudah kewajiban saya, Nyonya. Saya harap Anda lekas sembuh," ucapnya sebelum meninggalkan kamar tempat Sophia berbaring.

Sementara Edmund mengikuti dokter itu, mengantarkannya sampai ke depan pintu apartemen. Dia mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu pergi. Sebelum kembali ke kamar, Edmund memerintahkan seorang pelayan untuk membeli obat yang sudah ditulis oleh dokter. Sembari menunggu, Edmund memutuskan sarapan terlebih dahulu. Beberapa menit berlalu, pelayan yang diperintahkan membeli obat untuk Sophia telah kembali.

"Ini obatnya, Tuan," ucap pelayan itu sambil menyerahkan tas kecil transparan berisi obat kepada Edmund.

"Terima kasih," ucap Edmund sambil mengakhiri sarapannya dan langsung mengambil obat itu sebelum berlari kecil menuju kamarnya.

Tangan Edmund membuka pintu kamar, melangkah mendekati Sophia yang sedang duduk berbaring.

Sophia tersentak kaget saat Edmund duduk di samping ranjang, lalu mengangkat kaki Sophia dan meletakannya di paha pria itu.

"Apa yang kau lakukan?" Sophia hendak menarik kakinya dari pangkuan Edmund, tapi pria itu menahannya. Tangan Edmund mengambil salep dari dalam tas transparan itu dan mengoleskannya pada kaki Sophia.

Edmund sangat hati-hati mengoleskannya, dia takut kalau Sophia akan merasakan rasa sakitnya lagi. Sebenarnya pria itu masih ragu berdekatan dengan Sophia. Bayangan saat malam di mana Edmund menyetubuhi perempuan ini masih terbayang hingga membuatnya selalu bersikap dingin. Dia tidak ingin membuat Sophia semakin tersiksa dengan kebaradaannya, Edmund pikir dengan memberi jarak di antara keduanya akan membuat perempuan ini senang. Namun, kejadian semalam menunjukan pada Edmund bahwa dia tidak boleh mengabaikan Sophia. Dia takut terjadi sesuatu pada calon bayinya, mengingat Sophia yang sedikit ceroboh.

"Kau tidak akan pergi bekerja?" Sophia bertanya, memecah keheningan.

"Dan meninggalkan kau yang ceroboh?" Sophia mendengus kesal saat mendengar jawaban Edmund yang terlihat mengejeknya.

"Aku dulu mempunyai trauma saat berenang, waktu itu aku dan keluargaku sedang berlibur di pantai. Aku sangat senang bermain air, hingga tanpa aku sadari, ombak membawaku ke tengah laut. Padahal aku sudah belajar berenang sebelumnya, tapi rasa panik itu mengalahkan segalanya. Aku menelan banyak air laut, dadaku terasa sangat sesak sekali. Saat aku bangun, aku sudah berada di rumah sakit."

"Seharusnya saat kau bangun, kau sudah berada di pemakaman. Haha ... Aaa! Sakit." Edmund memegangi pinggang yang dicubit oleh Sophia. Kemudian mereka berdua tertawa bersama selama beberapa saat. Edmund memasukan kembali salep pada tas kecil, lalu mengeluarkan vitamin yang harus Sophia minum. Edmund membuka vitamin itu dari bungkusnya, lalu memgambil gelas berisi air yang ada di atas nakas di samping Sophia.

"Minum ini," ucap Edmund memberikan telapan tangan kanannya yang berisi vitamin, sementara tangan kirinya memegang gelas.

Tanpa bicara, Sophia mengambil vitamin itu dan meminumnya. Edmund tersenyum kecil, tangannya meletakan tas yang dia pegang di atas nakas, bersamaan dengan Sophia yang menyimpan gelas kosong.

"Kau bayi yang kuat," ucap Edmund menundukan kepalanya sambil mengelus perut Sophia.

"Dia masih belum bisa mendengar. Kau tahu itu bukan?"

Edmund mengangkat kepala dan menatap Sophia. Dia menganggukan kepala, menjawab pertanyaan Sophia.

"Ya, tapi aku hanya ingin dia tahu aku ayahnya sejak awal."

"Dia sudah tau itu," ucap Sophia memberikan senyuman kecil pada Edmund.

"Aku akan pergi untuk beberapa hari." Edmund menegakkan badan dan menatap Sophia dengan serius.

"Ke mana?"

"Zurich. Ada yang harus aku selesaikan di sana." Sophia menganggukkan kepala mengerti, lalu menghela napas pelan.

"Beberapa pelayan akan menemanimu. Kalau ada apa-apa, hubungi Mommy atau aku. Mengerti?"

"Mengerti"

"Aku sudah memberitahu Mommy kalau kau tidak bisa fitting baju pengantin hari ini. Jadi istirahatlah" Edmund kembali meletakkan kaki Sophia di atas ranjang. "Jangan berbuat hal ceroboh, ingatlah ada nyawa yang harus kau jaga, Sophie."

"Aku mengerti." Ucapan Sophia tercekat saat wajah Edmund begitu dekat dengannya.

"Kapan kau berangkat?"

"Nanti malam," jawab Edmund sambil berdiri dan merogoh ponsel yang ada dalam saku celana. "Aku keluar sebentar," lanjutnya tidak mengalihkan tatapan dari ponsel.

"Edmund."

Langkah kaki Edmund terhenti saat Sophia memanggilnya. Dia membalikkan badan dan menatap manik hijau yang sedang menatapnya. "Aku ingin buah," ujar Sophia ketika Edmund menaikan satu alis.

"Baiklah, tunggu sebentar." Edmund kembali melangkahkan kaki, keluar dari kamar sambil menempelkan ponsel di telinga.

Sophia dapat mendengar Edmund mengatakan halo pada seseorang yang ia telepon. Setelah pintu benar-benar tertutup, tangan Sophia mengambil remote televisi yang ada di atas nakas.

Menit demi menit berlalu, Sophia mulai bosan. Dia akhirnya merebahkan diri, menaikkan selimut sampai ke pinggang dan mencoba memejamkan mata dengan suara dari televisi sebagai pengantar tidur.

Saat Sophia benar-benar akan tertidur, dia merasakan tubuhnya berguncang dengan seseorang yang memanggil namanya. Perlahan matanya terbuka dan mendapati Edmund.

"Aku sudah membawakan buah yang kau inginkan. Kau ingin memakannya sekarang?" Edmund bertanya dengan nada yang halus.

"Mana buahnya?" Sophia bertanya dengan mata melihat sekeliling. Dia duduk di atas ranjang dan menatap Edmund yang tidak membawa buah apa pun.

"Buahnya ada di taman, kupikir bagus jika kau menghirup udara segar."

"Oh, baiklah." Sophia mencoba untuk menurunkan kaki ke atas lantai, tetapi pria itu lebih dulu menggendong tubuhnya hingga membuatnya terpekik kaget. Tangannya langsung melilit di leher Edmund dan mulutnya tidak mengeluarkan sepatah kata. Mata Sophia melihat ke arah kolam yang dibatasi oleh pintu kaca saat mereka sudah sampai.

"Astaga,"desis Sophia saat matanya melihat begitu banyak buah di atas meja di depan kolam renang.

Edmund menggeser pintu kaca yang menghubungkan teras dengan bagian dalam rumah. Dia langsung menurunkan Sophia di atas kursi. Tepat di hadapan perempuan itu terdapat berbagai macam buah-buahan dengan jenis yang tidak sedikit.

"Ini terlalu banyak," ucap Sophia sambil menatap Edmund yang ikut duduk di sampingnya.

Pria itu mengambil buah apel lalu mengupasnya. "Aku tidak tahu mana yang kau inginkan, Sophie."

"Bagaimana jika aku tidak bisa menghabiskannya?" Edmund menghentikan tangannya yang sedang mengupas, tatapannya beralih pada Sophia yang masih menatapnya tidak percaya.

"Aku tidak memaksamu untuk menghabiskannya, cukup pilih mana yang kau inginkan" Edmund kembali mengupas apel merah hingga bersih kemudian memotong apel itu, lalu menyuapkan salah satu potongan apel pada mulutnya menggunakan ujung pisau yang tajam.

"Baiklah." Sophia berucap dengan pelan. Tangannya mengambil strawberry yang ada dalam keranjang, lalu memakannya beberapa biji.

"Mulai nanti malam kau tidur di kamarku. Aku sudah menyuruh beberapa orang memindahkan barangmu."

Perkataan Edmund membuat Sophia menghentikan kunyahan. "Kenapa aku harus tidur di kamarmu?"

"Tidak ada bantahan, Sophie. Aku hanya ingin mengawasimu agar calon anakku baik-baik saja, lagi pula beberapa hari ini aku tidak akan ada di sini," ucap Edmund sebelum minum segelas air.

"Baiklah."

Edmund tersenyum samar saat tidak mendengar bantahan dari mulut perempuan itu

"Ngomong-ngomong siapa yang menata buah ini di sini?" Sophia bertanya dengan tangan yang mengambil buah pir.

"Pelayan di mansion Mommy yang membawa dan menatanya di sini." Edmund berucap dengan tangan yang mengambil ponsel di meja, keningnya berkerut saat membaca pesan masuk.

"Aku harus pergi, Sophie. Para pelayan sudah datang, kau bisa memanggil mereka jika memerlukan sesuatu."

"Baiklah." Mata Shopia menatap punggung Edmund yang menjauh hingga hilang saat menuruni tangga.

***

Ini sudah seminggu sejak Edmund pergi ke Zurich, Sophia hanya diam di apartemen dengan ditemani beberapa pelayan yang sangat ramah padanya. Tiga hari sekali seorang dokter yang dulu memeriksanya juga datang untuk mengecek kondisi Sophia.

Begitu pula dengan Rose, dia selalu menyempatkan dirinya datang ke apartemen Sophia dengan membawa makanan yang diinginkan calon menantunya. Dalam seminggu ini Sophia tidak bisa menemui neneknya karena kondisi kaki yang belum pulih sempurna. Akan tetapi, Shopia lega saat mendengar Rose mengunjungi Martina. Setidaknya ada seseorang yang melihat kondisi Martina untuknya.

Awalnya Rose berniat membawa Sophia ke mansion-nya, tapi ditolak secara halus oleh perempuan itu. Sudah pasti ia akan canggung jika tinggal seatap dengan calon mertuanya, apalagi Sophia yang belum pernah sekalipun bertemu dengan Tuan Sergío. Pria paruh baya yang memiliki wajah tidak ramah, itu yang dikatakan internet padanya.

"Kau sudah siap, Sophie?" Tubuh Sophia berbalik dan menatap Rose yang ada di ambang pintu dengan penampilan yang sudah rapi.

"Sudah, apakah menurut Mommy pakaian ini cocok untukku?" Mata Sophia menatap dirinya sendiri sebelum beralih menatap Rose yang tersenyum sambil melangkah mendekatinya.

"Kau bagus memakai pakaian apa pun, Nak. Wajahmu cantik," ucap Rose menyisipkan anak rambut Sophia, mengelus rambut cokelat itu dengan lembut seolah perempuan ini adalah anaknya sendiri.

"Terima kasih," ujar Sophia dengan pipi yang bersemu.

"Ayo kita berangkat." Rose menarik pelan tangan Sophia agar perempuan itu berjalan beriringan dengannya.

Mereka berdua berjalan keluar dari apartemen yang selama ini ditempati Sophia, menaiki lift dan akhirnya memasuki mobil yang sudah terparkir di depan gedung apartemen. Sophia kembali bertanya pada Rose, ke mana tujuan mereka sebenarnya. Namun Rose tidak menjawab, ia hanya memberikan senyuman kecil yang hangat pada Sophia.

"Sebenarnya kita ke mana, Mommy? Aku benar-benar penasaran," ucap Sophia untuk yang ke sekian kalinya, matanya menatap Rose yang sibuk menatap ponsel.

"Anggap saja kita merayakan kesembuhan kakimu, Sayang. Mommy ingin memberi kejutan untukmu."

"Kejutan apa?"

"Oh ayolah, itu bukan kejutan jika diberitahu."

Keduanya terdiam dalam lamunan masing-masing. Sophia sibuk menerka ke mana Rose akan membawanya, sementara Rose memikirkan bagaimana ekspresi Sophia saat melihat apa yang telah ia siapkan.

Mobil yang membawa Sophia dan Rose berhenti, sopir pribadi Rose keluar terlebih dahulu, memutari mobil dari depan dan membukakan pintu untuk Rose dan Sophia. Saat keluar mobil, mulut Sophia terbuka lebar karena melihat gedung yang sangat besar di hadapannya. Gedung itu berwarna putih, di atasnya terdapat ukiran nama D'allesandro yang terbuat dari kaca.

Rose menuntun Sophia agar tidak jatuh saat mereka mulai menaiki tangga menuju pintu masuk, di sana seorang pria berjas abu sudah menunggu kedatangan keduanya.

"Selamat datang, Señora," sambut pria itu sambil membukakan pintu besar yang ada di sampingnya.

"Astaga." Sophia menutup mulutnya yang terbuka begitu masuk beberapa langkah ke dalam gedung itu.

Matanya tidak bisa berhenti menjelajahi keindahan swarovski yang bergantungan di langit-langit. Warna biru muda terpancar dari kristal-kristal itu saat lampu menyorotnya. Bukan hanya itu, Sophia juga terkejut begitu melihat altar yang sudah siap di ujung matanya.

"Mom, ini sangat—" Sophia menghela napas sebelum melanjutkan perkataannya, "Menakjubkan," ucapnya sambil menatap Rose.

"Ini untuk pernikahanmu, Sayang. Mom harap kau suka," ucap Rose sambil membawa perempuan itu berkeliling.

"Temanya adalah One Thousand of Light. Berjuta cahaya dalam satu malam, jadi Mom ingin kau senantiasa mengingat semua ini," lanjut Rose sambil melangkah menuju sebuah pintu putih di ujung ruangan. Kaki Sophia ikut melangkah, tetapi tatapanya terus terpaku pada dekorasi pernikahannya. Begitu banyak kristal, lampu dan cahaya. Hanya satu yang belum terpasang, yaitu bunga.

"Mom, apakah ini tidak berlebihan?" Sophia bertanya saat mereka memasuki pintu putih.

"Berlebihan? Tentu saja tidak, Sophie. Ini pernikahan pertama dan terakhir Edmund dan dirimu." Sophia tersenyum tipis mendengar ucapan Rose. Kepalanya menunduk sesaat sebelum kakinya berhenti melangkah.

"Kau tidak lupa bukan pernikahanmu hanya tinggal empat hari lagi?"

"Ti-tidak, Mommy," jawab Sophia dengan memaksakan senyuman.

"Surprise! Ini gaun pengantinmu, Sophia." Rose membentangkan tangannya di samping gaun yang menempel di tubuh manequin.

Sophia membulatkan mata begitu melihat gaun pengantin yang dimaksud Rose. Gaun itu bergaya A-lines tanpa lengan dengan rok depan hanya selutut, sementara ekor belakang gaun itu menjuntai sangat panjang. Swarovski bertaburan di sekitar pinggang dan ekor gaun itu.

Mata Sophia semakin naik menatap kepala manequin itu, dia kembali dikejutkan dengan mahkota yang dihiasi kristal putih.

"Mommy sudah menyiapkan ini untukmu, Sophie. Maaf tidak menanyakan pendapatmu terlebih dahulu. Jadi, apakah kau menyukai gaunnya?" Mata Rose berbinar saat menunggu jawaban Sophia. Namun, perempuan itu masih saja terpaku dengan gaun yang dibuatkan Rose untuknya.

"Sophie menyukainya, Mom. Tapi, Mommy, ini sangat ...."

"I know, I know. Seharusnya kita tambahkan swarovski di beberapa titik lagi, 'kan?" Rose berkata antusias sambil mengguncangkan pelam tubuh Sophia.

"Sebenarnya, Mommy, aku terlihat—"

"Dia terlihat seperti pembersih altar dengan gaunnya yang panjang daripada menikah," ucap seseorang dari arah belakang. Sontak saja Sophia dan Rose membalikkan badan, mereka menatap seseorang yang ada di ambang pintu.

"Edmund?"

--

Ig : @alzena2108