Kasih Bintang ya :)))
.
.
Kesepakatan itu dibuat tanpa adanya penandatanganan di atas kertas, hanya ucapan saja. Edmund menyetujui permintaan Sophia, tetapi dia meminta Sophia untuk berhenti bekerja di mana pun dengan alasan bayi yang ada dalam kandungan. Keduanya melewati perdebatan panjang dalam mobil mengenai hal itu hingga akhirnya Sophia tidak bisa melawan, dia mengangguk pasrah setelah telinganya panas mendengar perkataan Edmund.
Pandangan Sophia terpaku ke luar jendela mobil, sementara Edmund fokus menyetir. Keduanya dalam perjalanan menuju rumah orangtua Edmund. Sebenarnya ada rasa takut pada diri Sophia. Dia takut akalu kedua orangtua Edmund menolak dirinya sebagai menantu dalam keluarga D'allesandro.
Beberapa jam dalam mobil mereka lewati dengan keheningan hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah mansion. Sophia tersadar dari lamunannya, dia keluar dari mobil saat Edmund membukakan pintu untuknya. Sophia terpaku dengan apa yang dilihatnya. Mansion ini begitu megah dan mewah. Terlihat beberapa pelayan yang berlalu-lalang melakukan pekerjaan. Mereka memakai pakaian yang sangat rapi dan terlihat mahal untuk ukuran seorang pelayan. Sophia berdiri mematung dan tidak menyadari kalau Edmund sudah melangkah terlebih dahulu. Saat tahu Edmund tidak ada di sampingnya, Sophia mengedarkan pandangan dan menangkap Edmund sudah jauh di depannya. Sophia berlari hingga langkahnya sejajar dengan Emund.
"Bisakah kau tidak berlari ?" Edmund menatap Sophia kesal tanpa menghentikan langkahnya. Tatapan Sophia beralih pada Edmund, memandangnya tak kalah kesal.
"Bisakah kau tidak meninggalkanku begitu saja?" Edmund menghentikan langkah dan menatap Sophia dingin. Mata mereka beradu tanpa gentar.
"Apa?" Sophia mengangkat dagunya seolah menantang.
"Bi-"
"Selamat datang, Señor." Perkataan Edmund terpotong pria tua yang berjalan mendekatinya. Namanya Bernand, pria tua yang mengabdikam dirinya pada keluarga D'allesandro.
"Apa orangtuaku ada di dalam?" Pandangan Edmund pada Sophia terputus.
"Iya, Señor. Mereka ada di taman belakang" Bernand membungkukkan badan ketika Edmund kembali melangkah diikuti seorang perempuan muda.
Edmund berjalan memutari mansion untuk menuju taman belakang. Dia menarik pinggang Sophia saat matanya terus saja melihat ke sana-ke mari tanpa memperhatikan langkahnya.
"Apa yang kau lakukan?" Sophia mencoba melepaskan tangan Edmund yang melingkar pada pinggangnya, tapi pria itu malah semakin mengeratkannya.
"Diamlah," ucap Edmund memelototi Sophia. Perempuan itu malah berdecak kesal, mata Sophia menatap ke depan. Tepatnya pada seorang wanita yang duduk membelakangi sambil menelpon.
"Mommy." Rose membalikkan badan saat mendengar panggilan yang ia kenal. Dia tersenyum ketika melihat putra semata wayangnya datang.
"Ed, kemarilah," ucap Rose sambil berdiri dan merentangkan tangannya. Edmund tersenyum, melepaskan lingkaran tangan pada Sophia dan berjalan cepat untuk memeluk Rose. Kerutan tercetak jelas saat dia melihat seorang perempuan yang menunduk sambil memainkan kuku jarinya.
"Itukah korbanmu malam itu, Nak ?" Edmund melepaskan pelukan Rose, menatap kesal ibunya.
"Kemarilah," ucap Edmund pada Sophia saat ia duduk di kursi yang ada di samping Rose. Dengan langkah pelan, Sophia berjalan mendekati Edmund dan duduk di sampingnya.
"Hai, Sayang. Aku Roselaine, siapa namamu?" Tangan Rose memegang tangan Sophia, menatapnya lembut dengan senyuman yang tidak luntur dari wajahnya.
"Sophia, Nyonya. Anda bisa memanggilku Sophie," ucap Sophia dengan pelan. Rasa lega menyelimuti hatinya saat Rose memperlakukannya dengan baik.
"Mom, Sayang. Panggil aku Mom." Sophia menatap mata Rose dengan tatapan berbeda dari sebelumnya, dia teringat pada ibunya yang telah meninggal. Tanpa disadari, air matanya jatuh dan dengan cepat tangannya mengusap kasar air mata itu.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kau menangis?" Tangan Rose ikut terangkat menghapus air mata Sophia.
"T-tidak, Mom. Aku hanya merasa senang menyebut kata itu lagi," ucap Sophia kembali memamerkan senyumannya. Rose yang mendengar itu memeluk Sophia dan mengusap punggungnya pelan.
Edmund memutar bola matanya malas. "Drama," ucapnya tanpa suara. "Berhentilah saling memeluk." Edmund berucap sambil menatap kesal pada Rose dan Sophia yang masih saja saling memeluk.
Rose yang marah pada Edmund menatapnya tajam kemudian menjitak kepalanya karena merusak momen. Terpaksa pelukannya dengan Sophia terlepas.
"Berhentilah memukulku, Mommy," geram Edmund sambil memegang kepala. Sophia tersenyum kecil melihat adegan itu.
"Kami akan menikah dua minggu lagi, Mom."
"Apa?!" Rose dan Sophia berteriak secara bersamaan.
"Apa kalian belum membersihkan kotoran telinga?" Edmund menatap heran kedua wanita yang kini menatapnya tajam. Akibat pertanyaan anehnya, Edmund dihadiahi injakan kaki oleh Rose.
"Mom, berhentilah membuatku terlihat konyol," ucap Edmund mengelus kakinya yang diinjak oleh Rose.
"Kenapa terburu-buru? Mommy belum menyiapkan apa pun, kau harus menunggu sebulan lagi." Rose mengangkat tangannya, menunjuk wajah Edmund.
"Tidak bisa, Mommy," ucap Edmund penuh penekanan. Dia meminum teh yang dibawakan pelayan untuknya.
"Ayolah, Ed. Kau pewaris tunggal, jadi pesta pernikahanmu harus dipersiapkan jauh hari." Rose mengambil cangkir yang sedang Edmund pegang dan menyimpannya kembali di atas meja. Tidak sabaran adalah salah satu sifat Rose yang menurun pada Edmund.
"Dia sedang mengandung, Mom. Jika ditunda lebih lama, perutnya akan terlihat. Pikirkan apa kata orang-orang nanti," ucap Edmund mengelap bibirnya.
Sophia menundukkan kepala, nada bicara Edmund seakan merendahkannya. Seperti memosisikan dirinya sebagai orang rendah yang akan membuat malu keluarga Edmund. Sementara Rose memperlihatkan wajah yang begitu senang.
"Puji Tuhan, kau mengandung, Sophie?" Rose memegang tangan Sophia dengan senyuman yang tidak luntur dari wajahnya. Perlahan wajah Sophia yang tadinya sendu kembali bersinar. Dia mengangguk pelan. "Sudah memeriksanya?" Sophia mengangguk kembali sebagai jawaban.
"Baguslah. Tapi, Ed. Mom tidak bisa menyiapkan pernikahanmu secepat itu," ucap Rose menatap Edmund yang memasang wajah malas.
"Dua minggu waktu yang cukup, jadi persiapkan dari sekarang, Mom." Edmund berdiri dari duduknya.
"Mau ke mana?" Rose ikut berdiri sambil memegang tangan Edmund.
"Tentu saja pulang," jawab Edmund melepaskan tangan Rose. Dia memegang tangan Sophia dan memaksanya berdiri saat sedang meminum teh.
"Secepat itu? Kau tidak ingin menemui Daddy dan menjelaskan semua ini?" Edmund tersenyum kecil. Bukannya menjawab, dia malah mencium pipi Rose.
"Mohon bantuannya, Ratu," ucap Edmund berjalan kembali menuju mobilnya dengan tangan Sophia yang ia genggam sepanjang jalan.
Rose hanya menarik napasnya pelan, dia berjalan masuk ke dalam mansion. Menaiki tangga untuk menemui suaminya yang sedang bermain piano. Rose membuka perlahan pintu ruangan, Sergío langsung menghentikan permainannya saat mengetahu kehadiran istrinya.
"Ada apa, Sayang ?" Sergío memutar badan dengan tangan tersilang di dada.
Rose langsung duduk di pangkuan Sergío, membuat pria itu otomatis melingkarkan tangannya pada pinggang Rose. Hanya ini satu-satunya cara Rose agar Sergío tidak membunuh Edmund yang telah melakukan hal memalukan.
"Kau tahu Edmund memperkosa seorang wanita beberapa minggu yang lalu?" Sergío mengangguk, menatap wajah Rose dengan intens. "Sebenarnya, wanita itu ... wanita itu ...."
"Hamil?" Rose membulatkan matanya dan menatap Sergío yang tersenyum miring.
"Kau tahu?" Tangan Rose mendorong pelan dada suaminya, pria itu tertawa dengan keras.
"Tentu saja aku tahu, Sayang," ucap Sergío membenarkan posisi duduk Rose di pangkuannya.
"Lalu kenapa kau tidak memarahinya ?"
"Untuk apa? Itu pencapaian terbaik dalam hidupnya." Sergío kembali tertawa hingga membuat Rose jengkel. Dia mencubit keras pinggang suaminya. Sergío hanya bisa tersenyum kecil saat kebiasaan Rose kembali muncul. "Lalu apa kau tahu di mana keberadaan Sara, Sayang ?" Kali ini Sergío bungkam, dia memilih membalikkan badannya menghadap piano dengan Rose yang masih di pangkuannya. Jemarinya kembali memainkam alunan nada yang membuat Rose melupakan pertanyaannya.
***
Sophia menaiki mobil Edmund untuk kembali pulang. Tatapannya tetap melihat ke luar jendela mobil dan mengingat pertemuannya dengan Rose. Wanita itu terkejut dengan kehamilannya lalu bagaimana dengan ayah Edmund? Apakah ayah Edmund setuju dengan bayi yang akan memasuki keluarga D'allesandro.
"Apa kita akan benar-benar menikah?" tanya Shopia memecah keheningan.
Edmund menoleh sekilas kemudian mengecilkan volume radio. "Tentu saja."
"Bagaimana kalau ayahmu tidak setuju?" Edmund memperlambat laju mobil, tatapannya seperti sedang memikirkan sesuatu. Beberapa saat Sophia menunggu jawaban, Edmund menatapnya dengan lekat.
"Mustahil. Dia menginginkan seorang cucu." Edmund memandang Sophia dengan wajah kakunya. Terlihat kalau dia juga sedikit mengkhawatirkan hal itu.
"Baiklah," ucap Sophia kembali memandang keluar jendela. Perjalanan kembali hening seperti sebelumnya. Matanya memandang pohon-pohon lebat yang menghiasi jalanan hingga Sophia tersadar, jalan yang mereka lewati berbeda dari sebelumnya.
"Kenapa kita ke sini?" Sophia mengerutkan keningnya saat mobil yang dibawa Edmund berhenti memasuki basement apartemen dan berhenti di sana. Edmund keluar dari mobil dan diikuti Sophia yang masih menatapnya penuh tanya.
"Kemana kita ?" Edmund tetap tidak menjawab satupun pertanyaan Sophia, ia malah berjalan terlebih dahulu.
Merasa diabaikan, Sophia menghentikan langkahnya dan menatap punggung Edmund yang mulai menjauh. Edmund memutar badan saat mengetahui Shopia tidak mengikutinya. Dia menatap Sophia dengan kesal kemudian dia berjalan kembali ke arah Sophia dan langsung menyeret tangannya.
"Lepaskan aku, brengsek! Kau mau membawaku ke mana?" Sophia berusaha melepaskan genggaman tangan Edmund. Dia takut jika Edmund melakukan hal yang aneh kepadanya.
Edmund membawa Sophia ke sebuah apartemen di lantai paling atas. Genggaman tangannya tidak lepas, meskipun Sophia masih mencoba kabur.
Tangan Edmund terlepas setelah membawa Sophia masuk ke dalam apartemen miliknya. Dengan cepat, Edmund menutup kembali pintu saat Sophia mencoba lari.
"Kau akan tinggal di sini," ucap Edmund sambil melangkah pergi meninggalkan Sophia di dekat pintu.
"Aku tidak mau. Kau tidak bisa mengatur hidupku!" Teriak Sophia berapi-api.
Edmund yang pusing mendengar suara Sophia kembali ke tempat Sophia berdiri. Sophia tersentak kaget saat tubuhnya melayang. Edmund menggendongnya. Sophia mencoba meronta, tetapi itu tidak mempengaruhi apa pun. Edmund menaiki tangga menuju lantai atas, menurunkan Sophia di sebuah kamar, dan meninggalkannya sendirian dengan pintu tertutup.
Sophia terkejut ketika menyadari bahwa kamar ini mirip dengan kamarnya saat di apartemen kumuhnya. Hanya saja barang-barangnya berubah menjadi lebih bagus dan baru. Sophia membuka lemari pakaian dan terkejut. Dia tidak percaya ternyata semua bajunya ada di sini.
Dia sudah merencanakan ini sejak awal. Dasar brengsek, gerutu Sophia dalam hati. Dia duduk di kursi rias, menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin. Lama-lama matanya terasa sangat berat dan dia memutuskan untuk meletakkan kepalanya di atas meja rias.
Sementara itu, Edmund yang sudah mengganti pakaian berjalan ke arah kamar Sophia. Tubuhnya bersandar di ambang pintu saat melihat perempuan yang sudah membuatnya sakit kepala itu tertidur. Padahal Edmund berniat membuatkan makam malam untuknya.
Halaan napas berat keluar dari mulut Edmund, dia berjalan perlahan ke arah Sophia. Tubuh Edmund berjongkok, menatap wajah Sophia yang sedang menutup mata. Tangan Edmund terangkat untuk menyisipkam rambut panjang yang menghalangi wajah cantik Sophia. Bibirnya tertarik ke atas saat bisa melihat dengan jelas wajah perempuan yang sedang mengandung anaknya.
Kulit Sophia cokelat, sangat eksotis. Edmund tidak mempersalahkannya, dia malah menyukai kulit Sophia yang menurutnya seksi. Hal itulah yang membuatnya lupa diri saat malam di mana dia memperkosa Sophia. Perempuan itu berteriak dengan bibirnya yang penuh malam itu hingga membuat Edmund ingin kembali mencicipinya. Apalagi dengan tubuhnya yang kecil dan pas untuk dijadikan guling.
Wajah Edmund mendekat untuk mencium bibir Sophia. Namun, sebelum hal itu terjadi, Sophia lebih dulu menggeliat dan memalingkan kepalanya ke arah lain dengan mata yang masih terpejam. Edmund terkekeh, tersadar apa yang akan ia lakukan. Dengan cepat, dia menghapus keinginan itu. Diaa menarik tubuh Sophia, menggendongnya dan menidurkannya di atas ranjang yang empuk.
"Semoga mimpi indah," ucap Edmund sambil menyelimuti tubuh Sophia. Dia mematikan lampu kemudian berjalan keluar dari kamar Sophia.
Namun, langkah Edmund harus terhenti karena suara dering ponsel pada saku celananya. Dia mengangkat panggilan itu dan kembali berjalan ke arah dapur untuk makan malam.
"Hallo, Mommy. Ada apa?" Detak jantung Edmund semakin cepat saat mengetahui siapa yang meneleponnya. Edmund menarik napasnya dalam, ia mengusap wajahnya kasar sebelum mengangkat telpon dari Rose.
Rasa takut mulai mengambil alih tubuh Edmund, ia meletakan ponselnya pada telinga. Bersiap untuk menerima amarah dari ayahnya melalui Rose. Namun, rasa takut itu mulai menghilang saat Rose berbicara dengan nada gembira tanpa amarah sedikitpun.
Desahan lega keluar dari mulut Edmund, ia tersenyum lega mendengar apa yang diucapkan Rose. Bahagia karena ayahnya menerima bayi yang ada dalam kandungan Sophia, tidak membenci dirinya karena telah memperkosa seorang gadis. Sebab Edmund tahu, ayahnya mendambakan seorang cucu.
"Terima kasih, Mom." Edmund menutup panggilan telepon dan meletakan asal ponselnya.
Dia melangkah mendekati dapur, membuka kulkas dan mengambil bahan makanan untuk dimasak. Sesaat Edmund teringat pada kekasihnya yang menghilang, biasanya Sara yang akan menyiapkan semua kebutuhannya termasuk makan. Kini wanita itu menghilang, layaknya ditelan bumi, Sara tidak ditemukan.
"Kau di mana?" Edmund bergumam dengan pandangan yang tidak jelas.
---
Ig : @alzena2108