Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Oh Baby (Romance)

Alianna_Zeena
--
chs / week
--
NOT RATINGS
255.3k
Views
Synopsis
#First_story_of_D'allesandro_klan "Kita harus bermimpi, namun tidak untuk hidup dalam mimpi" Sophia Alberta (18th) bekerja banting tulang untuk mencukupi kehidupannya semenjak ayah dan ibunya meninggal. Bukan hanya itu, Sophia juga kerap merasakan takut jika berdekatan dengan Gunner Anthony. Seorang mafia yang terobsesi dengannya. Hidup Sophia semakin susah saat seorang pemilik hotel tempat ia bekerja memperkosanya hingga hamil. Hingga suatu hari pria itu datang pada Sophia dan menawarkan pernikahan padanya. Bayi yang dikandung Sophia menjadi alasannya. Akankah pernikahan itu berjalan dengan bahagia seperti yang Sophia impikan ?? Menjadi istri dari seorang Edmund D'allesandro sang penguasa dunia bisnis ?? Sementara disisi lain ada pria yang sudah menjamin segalanya untuk Sophia, termasuk hatinya. Gunner Anthony, mafia pelindung Sophia.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

Vote sebelum membaca 😘

.

.

Waktu adalah pencuri. Itulah kalimat yang selama ini Sophia percayai. Waktu mencuri segalanya, termasuk orang yang ia cintai dan sayangi. Waktu itu penjahat, tapi mengapa semua orang membutuhkan penjahat itu.

Siapa pun akan melakukan segalanya demi memiliki waktu yang banyak bersama orang yang kita sayang. Namun apalah daya, dia hanya seorang remaja yang belum sepenuhnya siap melawan kerasnya dunia. Tak seperti dulu, kini ia harus bekerja banting tulang demi mengulur waktu agar bisa bersama orang yang ia sayangi.

Dulu apa pun yang ia inginkan pasti akan selalu terpenuhi, sebelum kejadian itu merengut nyawa kedua orang tuanya. Sebelum waktu merampas kebahagiaanya dan Tuhan memberinya jalan pahit. Waktu yang bersalah dan Tuhan tidak adil.

"Berhentilah menghabiskan uangmu untukku Sophia, waktu nenek takkan lama," ujar seorang wanita tua renta yang terbaring lemah dengan selang infus yang menempel ditangan dan hidungnya. Wanita tua itu mengelus tangan cucunya dengan sayang sambil tersenyum kecil.

Sophia menggelengkan kepalanya tidak setuju, matanya berkaca-kaca saat neneknya memulai percakapan ini. Dengan sekuat tenaga ia menahan air mata yang akan tumpah.

"Kau lebih penting dari segalanya Nek!" ucap Sophia sedikit membentak.

"Bukankah kau ingin kuliah?"

Sophia terdiam mendengar perkataan neneknya, munafik jika ia bilang tidak ingin. Masuk Universitas adalah salah satu mimpi indah yang dimilikinya. Namun waktu dan Tuhan seakan berencana tidak memberinya izin.

Sophia menggeleng kepalanya pelan, ia tak tahu harus menjawab apa, Martina menghembuskan napasnya berat melihat cucunya yang rela bekerja siang malam demi mengobati penyakit yang dideritanya. Jika Tuhan memberinya pilihan maka ia rela mati agar cucunya bahagia.

TOK

TOK

"Maaf mengganggu, bisa ikut saya, Nona Sophia?" tanya seorang suster di ambang pintu.

Sophia melihat ke belakang lalu mengangguk lemah, ia mencium kening Martina sebelum pergi mengikuti suster yang memiliki perawakan gemuk dan kulit sawo matang. Keduanya berjalan melewati lorong rumah sakit, hati Sophia tak karuan saat ia tahu ke mana suster itu membawanya.

"Silakan ...." Suster itu membukakan pintu berwarna cokelat setelah mempersilahkan Sophia masuk.

Sophia melangkahkan kakinya pelan, matanya menangkap seorang pria berkacamata yang mengisyaratkannya untuk duduk. Detak jantungnya seakan tidak beraturan, bukan karena jatuh cinta melainkan karena kalimat yang keluar dari bibir dokter itu selalu membahagiakan atau menyakiti perasaanya.

"Penyakit nenekmu semakin parah Sophie." Sophia menghela napas dan menundukan kepalanya. Dokter Allarick memperlihatkan hasil rontgen kepada Sophia.

"Kanker hati yang bersarang di tubuh nenekmu sudah memasuki stadium lanjutan. Pada stadium atau tahapan ke tiga ini, sel kanker yang terdiri dari satu sel atau lebih, muncul pada bagian lobus hati dengan ukuran yang lebih besar dari 2 cm. Pada stadium tiga, kemungkinan kanker dapat menginfeksi kelenjar getah bening yang berada berdekatan dengan hati. Selain itu, pembuluh darah yang berada di sekitar hati memiliki potensi untuk terpengaruh sel kanker. Kita harus segera melakukan tindakan lebih lanjut Sophie."

dr. Allarick memberikan penjelasan secara detail agar Sophia paham. Tapi gadis itu malah mengigit jari tangan kanannya dan berkecamuk dengan pemikirannya sendiri. Perkataan Allarick terngiang ditelinganya.

"Pilihan apa yang aku miliki?" Sophia bertanya dengan suara pelan.

"Yang pertama adalah ablasi frekuensi radio, yaitu penggunaan sebuah perangkat listrik yang khusus digunakan untuk menghancurkan sel-sel kanker yang ada di organ hati. Kedua adalah operasi reseksi, yaitu proses pengangkatan bagian-bagian tertentu dari organ hati yang terinfeksi. Yang ketiga adalah transplantasi hati, yaitu mengganti organ hati penderita dengan organ hati dari pendonor."

Sophia masih diam dan menunduk enggan menatap Allarick. Matanya terpejam sesaat meresapi perkataan dokter itu.

"Kita tidak memiliki banyak waktu, Sophie," lanjut Allarick.

"A ... aku akan secepatnya mencari uang dokter."

***

"Sophia kau terlambat! Cepat lari!" teriak seorang pria berkumis sambil menunjuk Sophia yang sedang berlari. Matanya menatap tajam tidak suka saat pegawainya terlambat bekerja.

Gadis yang sedang berlari itu mengelap keringat yang menetes di dahinya dan melewati pria berkumis yang tak lain adalah bossnya. Sophia segera masuk kedalam dapur dan memakai celemek miliknya. Ia mencuci tangannya dan memulai membuat adonan kue dengan cepat, di depan sana sudah banyak pelanggan yang mengantri menunggu kue andalan buatan Sophia.

Dulu sewaktu kecil Sophia mempunyai rutinitas membuat kue dan roti setiap akhir pekan bersama ibunya. Sehingga kemampuan itu mampu ia manfaatkan untuk bekerja di sebuah toko kue dan roti sekarang ini. Gajinya memang tidak terlalu banyak, namun itu dapat membantu penghasilannya. Resep kue milik ibunya, Sophia pakai di sini dan itu sangat disukai banyak orang.

Rumah dan properti milik keluarga Sophia disita oleh bank, bukan hanya meninggalkan Sophia seorang diri. Orang tua Sophia juga meninggalkan hutang yang sangat besar yang harus ia lunasi. Ayahnya memang meminjam uang ke mana-mana saat perusahaannya di ambang kebangkrutan.

Tuhan berkata lain, saat orang tua Sophia akan pergi ke Seattle untuk bertemu para investor, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kerusakan sehingga mendarat di laut dan itu menyebabkan orang tuanya tewas. Sophia tidak pernah membenci orang tuanya yang meninggalkan hutang, ia menyayangi orang tuanya. Selalu. Namun kebenciannya tumbuh pada Tuhan sejak saat itu.

"Kau dari mana saja?" tanya Aurin teman Sophia yang satu pekerjaan dengannya.

"Menjenguk nenekku," jawab Sophia tidak menghentikan pekerjaannya mencampur adonan kue

"Kau tahu Tuan Headen hampir saja meledakan kepalaku." Aurin mengerucutkan bibirnya kesal sembari mencampur kacang kenari ke dalam adonan.

"Maaf," ucap Sophia sambil membawa kue yang siap dipanggang ke dalam oven

"Sepertinya aku harus mengelola tempatku sendiri."

"Dan membiarkan pak kumis itu bangkrut." Aurin menambahkan kalimat yang keluar dari mulut Sophia.

"Hahahaahaha!!" keduanya larut dalam tawa mereka masing masing.

"Bekerja kalian berdua!!" Sophia dan Aurin menghentikan tawa mereka dan kembali bekerja seolah tak terjadi apa-apa begitu Tuan Headen membentak keduanya.

Aurin adalah teman baik Sophia. Mereka berdua saling mengenal saat bekerja bersama di toko roti 'Magician Bride and cookies' sejak lima bulan yang lalu. Aurin lebih tua lima tahun dari Sophia, tapi itu tidak membuat Sophia canggung karena ia adalah orang yang mudah bergaul.

"Ayo kita shooping Sophie." Kaki Aurin berjingkrak-jingkrak dengan tangannya mengibas-ngibaskan amplop berwarna cokelat.

"Berhenti melakukan hal konyol." Jaden memukul kepala Aurin dengan amplop cokelat miliknya. Aurin berdecak sebal, ia pergi dari toko roti setelah memeluk Sophia. Kebiasaan Aurin saat gajian selalu shooping.

"Kau mau kuantar pulang Sophie?" tawar Jaden. Selain Aurin, Jaden juga teman satu pekerjaannya.

"Tidak perlu Jaden, aku harus ke suatu tempat."

"Baiklah sampai jumpa Sophie." Jaden mengedipkan matanya menggoda, Sophia tertawa geli melihat hal itu.

Matahari mulai menenggelamkan dirinya dan digantikan dengan bulan yang masih nampak malu-malu di balik awan. Sophia memasuki mini market kecil di dekat tempat tinggalnya.

"Seperti biasa?" tanya kasir di sana saat Sophia menyodorkan barang belanjaannya.

"Ya, telur dan mie instant."

"Mie tidak baik untukmu Sophie, jangan terlalu sering," ucap Kelly sambil membungkus barang belanjaan Sophia.

"Akan kucoba Kelly." Sophia tersenyum kecil, ia keluar dari mini market itu dan berjalan menuju tempat ia melepas lelahnya.

Sophia memasuki apartemen kecil miliknya. Walaupun kecil tapi di dalamnya sangatlah nyaman bagi Sophia. Harga sewanya tidak terlalu mahal dan lingkungannya cukup baik bagi kesehatan.

Gadis itu menyeduh mie instant dan memakannya dengan nasi yang ia masak tadi pagi. Setelah makan, Sophia membersihkan dirinya dan bersiap-siap pergi bekerja lagi malam ini.

TOK ! TOK ! TOK !

Suara ketukan pintu berkali-kali sangat menganggu Sophia yang sedang menyisir rambutnya. Dengan malas, ia membukakan pintu dan terkejut mengetahui siapa yang mengetuk pintunya. Tiga orang pria dengan wajah yang menyeramkan.

"Mana uangnya?!" tanya seorang pria bertubuh besar dengan kalung rantai di lehernya.

"Ini belum waktunya," ucap Sophia mencegah mereka masuk dengan merentangkan kedua tangannya.

"Kau ingin aku menghancurkan apartemen-mu lagi hah?!" teriak pria lain. Sophia menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mau.

"Kumohon beri aku waktu satu minggu." Sophia memohon kepada tiga orang pria yang ada di hadapannya.

Ketiga pria itu tak mendengarkan ucapan Sophia dan menerobos begitu saja ke dalam apartemen lalu mengobrak-abrik semuanya untuk mencari uang. Sophia berusaha menghentikan mereka namun dirinya malah terpental ke belakang akibat dorongan dari salah satu pria bertubuh besar.

"Hentikan!" perintah seseorang yang membuat ke tiga orang gila itu menghentikan kegiatan mengacak-acak apartemen Sophia. Ketiga pria itu membungkuk hormat pada seorang pria berjas yang memakai kacamata hitam.

"Dengar Sophia, kau tidak akan kesulitan jika menerima tawaranku waktu itu." Gunner berjongkok dan memegang dagu Sophia dengan satu tangannya. Tangannya yang lain membuka kacamata hitamnya. Sophia membuang wajahnya mencoba lepas dari cengkraman pria itu.

"Aku tidak akan pernah sudi menjadi wanitamu. Cuh!" tak di sangka-sangka Sophia meludahi pria yang ada dihadapannya. Gunner tersenyum kesal dan mendorong Sophia hingga ia kembali tertunduk di lantai.

"Gadis bodoh! aku mencoba menolongmu dari kesengsaraan ini." Gunner mengusap dahinya yang terkena ludah Sophia.

"Lanjutkan pekerjaan kalian!" perintah Gunner pada bawahannya.

Gunner keluar dari apartemen milik Sophia, meninggalkan seorang gadis yang menangis akibat ulah bawahannya. Dengan tangan gementar Sophia mengambil amplop cokelat yang tadi Tuan Headen berikan kepada para pria itu. Setelah mendapatkan uang, mereka keluar dan meninggalkan Sophia yang sedang menangis.

'Apa yang harus kulakukan ? Bagaimana nenek?' pikiran Sophia sibuk bermonolog sementara matanya sibuk mengeluarkan buliran air mata.

Sophia menyeka air matanya dan mengambil ponsel miliknya yang berbunyi.

'Hallo Sophia kau dimana?' tanya orang di seberang telepon.

"Aku masih di apartemenku, Amel."

'Apa kau gila? Cepat kemari sebelum kau dipecat!' Amel memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Sophia menghapus air matanya kasar dan segera bergegas menuju tempatnya bekerja. Tanpa hari tanpa bekerja, itu berlaku pada kehidupan Sophia.

***

"Mengapa kau lama sekali?" tanya Amel kesal begitu mereka sedang istirahat dari pekerjaan yang sibuk di hotel sejak tadi.

Sophia bekerja di hotel dengan sif malam, karena sif malam lebih besar gajinya daripada saat pagi atau siang hari. Uang yang Sophia kejar, bukan kenyamanan bekerja.

"Tidak apa apa," jawab Sophia membenarkan pakaian miliknya. Amel memegang kedua bahu Sophia dan membolak-balik tubuh sahabatnya itu.

"Mereka melakukannya lagi?" tanya Amel tak percaya. Sophia menatap wajah Amel sebelum mengangguk lemah.

Amel langsung memeluk Sophia berharap sahabatnya ini memiliki kekuatan untuk menghadapinya. Sering kali Amel melihat keadaan Sophia seperti ini, berwajah kusut dan beberapa luka kecil yang ia dapatkan. Amel tahu Sophia bukan gadis ceroboh, ini karena pria yang mencintai Sophia malah menyakitinya.

Pernah Amel hendak memberikan uang miliknya untuk membantu Sophia, namun ditolak oleh Sophia dengan alasan ia tidak ingin merepotkan.

"Sophia antarkan wine ke kamar no.1 VVIP!" perintah seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu.

Sophia melepaskan pelukan Amel dan tersenyum padanya memberi tanda ia baik-baik saja. Sophia mengambil wine yang sudah disediakan oleh Tuan Hale di atas sebuah baki kaca yang mewah dan membawanya ke tempat tujuannya.

'Kamar no.1 VVIP ? Pasti ia orang penting', batin Sophia, sebelumnya memang jarang orang yang menempati no.1 VVIP. Itu adalah kamar spesial yang tidak digunakan sembarangan orang. Bahkan seorang direktur perusahaan asing.

Sophia memasuki lift dan menekan angka 74, lantai paling tinggi. Sophia mengetuk pintu kamar begitu sampai di sana, namun tidak ada jawaban sama sekali. Beberapa kali ia terus mengetuknya namun masih tetap tidak ada jawaban. Lama-lama Sophia kesal juga dengan orang yang ada di dalam sana. Saat ia memegang pintu, ternyata pintu kamarnya tidak dikunci. Sophia masuk ke dalam sambil celingak-celinguk karena lampunya padam.

'Kenapa lampunya padam sih?' batinnya kesal. Sophia memperhatikan langkahnya karena takut tersandung sesuatu.

"Permisi, hallooo?" Sophia mulai memanggil penghuni kamar.

Wine yang dibawanya disimpan di atas meja yang ada di dekat jendela. Di meja itu terlihat dua botol wine yang sudah kosong. Sophia mengedarkan pandangannya mencari penghuni kamar. Beberapa kali bibir kecil itu memanggil sang penghuni, namun tetap tidak ada jawaban sama sekali.

Sophia tersentak ketika sepasang tangan kekar memeluk pinggangnya dari belakang. Tangan Sophia sekuat tenaga melepaskan tangan itu dan berbalik melihat, seorang pria tampan dengan mata biru safir yang sangat indah. Baju pria itu kusut dan berantakan. Pandangannya berkabut akibat mabuk.

Karena takut terjadi apa apa, Sophia sedikit mendorong pria itu dan berjalan cepat menuju pintu. Namun baru juga beberapa langkah, tangan itu mencekal Sophia dan menghempaskan pelan tubuh Sophia ke dinding ruangan.

"Aku merindukanmu, sayang." pria itu bergumam tak jelas namun masih bisa didengar.

Sophia mencoba mendorong dadanya namun pria itu malah semakin memojokannya ke dinding hingga deru napas pria itu dapat Sophia rasakan. Kedua tangan yang awalnya berontak dipaksa diam oleh tangan yang memiliki tenaga lebih.

"K....kau salah orang Tuan.. kau mabuk," ucap Sophia ketakutan. Ia memejamkan matanya saat pria itu tersenyum miring kepadanya. Air mata Sophia terus saja turun tanpa keinginan.

"Lihat aku!" pria itu membentak, Sophia membuka matanya perlahan dan menatap mata pria itu.

Tanpa aba-aba pria itu mencium bibir Sophia kasar. Sophia menginjak kaki pria itu hingga ia mengaduh kesakitan, kesempatan itu tak Sophia sia-siakan. Ia lari dari tempat itu, namun lagi-lagi Sophia tertangkap. Pria itu menggendong Sophia di punggungnya dan menjatuhkan Sophia di atas ranjang. Sophia berteriak meminta pertolongan berharap seseorang mampu mendengarnya.

"Lepaskan aku sialan! tolonggggg!!" jerit Sophia ketakutan.

"Tidak perlu berteriak sayang, ruangan ini kedap suara." pria itu membuka dasinya dan mengikat tangan Sophia di atas ranjang. Sophia menangis sejadi-jadinya.

"Kumohon jangan, Tuan." mata Sophia menatap sendu pria yang menguasai tubuhnya. Matanya berkabut dan telinganya tuli tidak mendengar permohonan Sophia.

"Kau milikku, Sara." racau pria gila itu.

Malam itu menjadi malam yang tidak akan pernah Sophia lupakan. Di mana hal ini jauh lebih menyakitkan saat kedua orang tuanya meninggal, Sophia gagal menjadi seorang perempuan baik-baik. Kini ia hanya penggalan puzzle yang tidak akan pernah dilihat dunia.

---

Ig : @alzena2108