"Kenapa kamu yang datang? Dan kenapa kamu bisa mengendarai sepeda motor antik padahal ini jauh dari rumahmu?"
"Karena aku inkompeten? Dan, untuk motor ini, aku mengirimnya beberapa saat lalu ketika perang meletus untuk digunakan anak buahku."
Rina bertanya ketika aku datang. Sesuai lokasi yang diberi oleh Ibla, Rina berada di salah satu dataran tinggi di timur danau. Dulu, tempat ini termasuk dalam wilayah Mariander. Namun, karena garis peperangan sudah maju, tempat ini menjadi titik perang baru antara Bana'an dan Nina. Namun, sekarang, dataran tinggi ini sepi, hanya ada aku dan Rina.
Aku sudah memperingatkan Ibla dan Zortac agar tidak mendekat apalagi menggunakan armada udara. Kalau pesawat atau helikopter yang datang langsung berada di jangkauan senjata penghilang pengendalian, yang adalah Rina, mesinnya akan mati. Satu-satunya takdir yang menanti pilot dan penumpang pesawat dan helikopter dengan mesin tidak aktif adalah kematian.
"Aku sudah bilang kamu seharusnya tidak maju ke lini depan lagi, kan! Kamu mau mati?"
"Kehadiranmu yang memaksa! Kalau kamu tidak datang, listrik dan armada darat Bana'an tidak akan mati dan aku tidak perlu ke sini. Aku tidak mungkin diam saja ketika tidak ada orang lain yang memiliki informasi mengenai senjata penghilang pengendalian. Seharusnya, jadwalku hanyalah datang ke pangkalan-pangkalan, setor muka! Sudah! Hanya itu! Kamu yang membuatku repot, tahu?"
"Ya maaf..."
Rina tersengut-sengut, membuang pandangan dengan pipi yang mengembung.
Eh? Tidak salah? Perempuan ini bisa menunjukkan raut wajah seperti itu? Lucunya... Aku kira perempuan ini hanyalah perempuan berdarah dingin yang tidak memedulikan apapun, seperti aku. Tampaknya, aku harus mengevaluasi ulang pandanganku pada Rina.
"Kamu membawa senjata kan?"
"Iya, aku bawa."
Rina membuka box di punggungnya dan mengambil sepasang saber. Dia menjatuhkan dua assault rifle yang menggantung di bahunya. Di lain pihak, aku tidak melepas peti arsenal
"Hiat!"
Rina menerjangku dengan teriakan. Tanpa mengeluarkan seruan atau teriakan, aku juga maju. Serangan pertama datang dari kiri. Dia menusukkan pedang sementara aku memutar tubuh sambil menahan serangan yang datang dari kanan atas dengan tombak.
"Aku akan berusaha menahan diri agar tidak melukaimu."
"Tidak usah repot-repot."
Kami melangkah mundur sejenak lalu maju lagi. Kami berdua saling serang, bertahan, dan menghindar. Ketika Rina menyerang, aku akan menghindari satu serangannya dan menahan serangan yang lain. Dia menggunakan dua saber, jadi Rina bisa melepaskan dua serangan secara bersamaan atau beruntun. Beberapa kali Rina berusaha menahan gerakan tombak tiga mata dengan satu pedang dan menyerang dari sisi lain. Namun, aku bisa menghalaunya dengan memutar tombak, menahan kedua serangannya.
Di lain pihak, Rina memilih untuk tidak menerima satu pun seranganku. Setiap ayunan dan tusukan yang dihasilkan dengan tombak tiga mata selalu dihindari. Dengan panjang 2 meter, ayunan dan tusukan tombak ini memiliki tenaga yang besar. Kalau Rina menangkis seranganku, kemungkinan dia bisa bertahan tanpa luka atau kegagalan sangat kecil. Kalau dia menahan serangan tombak tiga mata, kemungkinannya adalah sabernya terlepas, atau patah, atau tangannya terkilir.
"Gin, mumpung kamu di sini, aku punya informasi yang sangat tidak mengenakkan."
"Apa itu?"
Sambil bertarung, kami bertukar informasi. Alasan sebenarnya kenapa kami tidak menggunakan senjata api adalah agar mendekat. Dengan demikian, kami bisa berbicara dengan volume normal, tidak perlu berteriak. Jadi, walaupun ada yang menguping menggunakan alat, mereka tidak akan tahu isi perbincangan kami. Selain itu, suara logam berdenting dari tombak dan saber menutupi percakapan kami. Ditambah, mesin sepeda motor masih menyala. Jadi suara kami semakin tertutup.
"Rina, sebelum itu, ada helikopter mendekat dari belakangmu."
"Aku paham!"
Aku melepas tendangan tinggi ke dagu Rina. Rina dengan lincah salto ke belakang beberapa kali. Dalam prosesnya, dia beberapa kali melihat helikopter yang mendekat, membuatnya jatuh dan meledak. Melihatnya jatuh, kami beruntung karena helikopter itu masih menggunakan mesin rotasi.
Aku segera menutup jarak dengan Rina. Aku khawatir ada militer Bana'an yang mengawasi. Kalau membiarkan Rina tanpa serangan terlalu lama, ada kemungkinan militer Bana'an yang mengawasi berpikir aku tidak serius.
Rina mengayunkan kedua saber dari kiri, membuatku harus menahan dengan tombak tiga mata dan bergeser ke kanan. Begitu bergeser ke kanan, aku mengarahkan pandangan ke selatan, melihat 6 buah pesawat jet yang jatuh dan meledak.
"Gin, baru saja ada pesawat jet di belakangmu."
"Aku melihatnya."
Aku tidak tahu siapa yang memberi perintah untuk membiarkan keenam pesawat jet itu lepas landas dan datang ke sini. Namun, siapa pun itu, dia bertanggung jawab atas nyawa mereka. Kalau menuruti ucapanku dan tidak mendekat, mereka pasti masih hidup. Dasar bodoh!
"Oke. Rina, kembali ke pembicaraan."
Aku kembali menerjang Rina dan rutinitas kami lanjut saling menyerang, menangkis, bertahan, dan menghindar. Pada titik ini, pertarungan kami lebih mirip dengan koreografi seperti pada film.
"Sebelumnya, bukankah seharusnya kamu sudah dianggap tewas? Lalu kenapa kamu ada di sini? Aku kira kamu akan low profile, tidak muncul ke depan umum."
"Awalnya aku juga mengira demikian. Namun, ketika kembali, Ibu membuat pernyataan ke intelijen dan militer kalau aku berhasil diselamatkan sebelum serangan terjadi. Namun, entah kenapa, hanya intelijen dan militer yang tahu. Menurutku, ibu memiliki rencana untukku."
"Ah, begitu ya."
"Itu tidak penting, Gin!"
Tidak! Untukmu mungkin tidak penting. Namun, untukku, informasi itu cukup berharga.
"Gin, ibu berencana menggeret seluruh benua ini ke dalam peperangan."
"Hah? Kamu bercanda, kan?"
Rina menggeleng. "Aku serius."
Sambil bertarung, aku menerima informasi yang diungkapkan oleh Rina. Saat ini, kerajaan Nina memang hanya fokus melawan Mariander dan Bana'an. Namun, dalam waktu dekat, Ratu Amana, Ratu kerajaan Nina, akan memobilisasi angkatan darat ke selatan dan angkatan laut ke barat.
Angkatan darat akan dimobilisasi ke selatan dengan dalih berusaha menyerang Bana'an. Namun, tentu saja, mereka tidak akan bisa melakukannya dengan mudah. Di selatan Nina, yang adalah barat Bana'an, berdiri kerajaan Agrab. Untuk mencapai Bana'an dari selatan, militer kerajaan Nina harus melewati kerajaan Agrab. Dan tentu saja Agrab akan menolak militer Nina masuk dan melewati wilayah mereka. Mereka khawatir diserang ketika militer itu "lewat". Ketika militer Nina memaksa "lewat", Agrab pun akan terseret ke peperangan.
Hal yang sama juga terjadi di pesisir barat laut benua Ziggurat. Nina akan menggerakkan angkatan laut ke barat, memutari benua, untuk menyerang Bana'an. Namun, tentu saja, Nina tidak benar-benar berencana memutari benua hanya untuk menyerang Bana'an. Yang diinginkan oleh Nina hanyalah memasuki zona perairan kerajaan Nippur, menyeretnya ke peperangan. Bahkan, kalau dibiarkan begitu saja, Republik Dominia di barat daya benua juga akan terseret ke peperangan.
"Apa ibumu sudah Gila? Apa yang dia inginkan sampai berusaha menyeret semua kerajaan dan Republik Dominia di benua ini ke peperangan? Kupikir dia hanya ingin menjadikanku Raja."
"Awalnya aku juga berpikir demikian. Aku juga hanya mengira ibu ingin menjadikanmu Raja."
"Terus itu apa?"
"Aku tidak tahu!"
Suara Rina terdengar berat, tersedu-sedu. Bahkan, aku melihat air mata membasahi pipinya.
Aku mundur sejenak ketika melihat Rina menangis. Meski demikian, Rina tidak melepasku begitu saja. Dia masih menyerang dengan dua saber.
"Aku tidak tahu apa yang ibu inginkan dan pikirkan! Kalau ibu meneruskan rencananya, akan ada empat front perang di sekitar Nina. Kalau seperti ini, Nina akan hancur. Karena intelijen dan militer sudah tahu kalau aku masih hidup, tinggal tunggu waktu sampai informasi ini menyebar. Begitu kembali menjadi tuan putri, masa depanku sama saja tidak ada!"
Sesuai ucapan Rina, jika Ratu Amana menjalankan rencananya, Nina akan hancur. Sebagai pihak yang memulai serangan tapi kalah, kerajaan Nina akan diminta membayar reparasi pada kerajaan dan negara lain yang menang.
Selain itu, banyak wilayah Nina akan berpindah tangan, menjadi milik kerajaan musuh. Bahkan, bukan tidak mungkin kerajaan Nina akan hilang dari peta dan wilayahnya dibagi menjadi tiga atau empat. Pada skenario ini, kekuasaan Amana akan dilepas, entah dia dieksekusi, tewas, atau kabur. Namun, besar kemungkinan, dia pasti kabur.
Karena Ratu Amana mulai menyebarkan informasi mengenai Rina yang hidup, besar kemungkinan dia akan menjadikan Rina sebagai tumbal sementara dirinya kabur. Rina juga tidak mungkin ikut kabur karena adiknya masih disandera.
Pada akhir perang, jika kerajaan Nina masih berdiri, tampuk kekuasaan akan diteruskan ke Rina. Namun, meski tampuk kekuasaan menjadi milik Rina, dia harus berhadapan dengan krisis ekonomi pasca perang dan juga pembayaran reparasi.
Skenario yang paling baik adalah dia menikah dengan bangsawan dari kerajaan atau tokoh penting negara lain. Dengan melakukan hal ini, negara tersebut akan meringankan reparasi negaranya dan bahkan memberi bantuan untuk kerajaan Nina. Namun, jika terjadi, sama saja Rina menjadi Ratu boneka.
Skenario paling buruk adalah Rina tetap menjadi Ratu, tapi tidak melakukan pernikahan politik. Jika skenario menuju ke sini, nasib Rina akan semakin sengsara. Kemungkinan dia bisa mengatasi krisis ekonomi dan membayar reparasi secara bersamaan adalah nol.
Jika terus berlanjut, revolusi tidak akan terhindarkan. Setelah revolusi berakhir, bisa dipastikan, nyawa Rina tidak tertolong. Kalau hanya nyawanya, masih mending. Namun, hal itu sangat diragukan.
Revolusi yang akan terjadi pada Nina di masa depan berbeda dengan revolusi Mariander saat ini. Revolusi Mariander dimulai ketika kerajaan masih stabil. Ketika perang selesai dan revolusioner memegang tampuk kekuasaan, mereka bisa mendapatkan posisi yang lebih baik dalam negosiasi. Revolusi Mariander akan berakhir dengan cukup damai.
Di lain pihak, revolusi Nina di masa depan terjadi karena kerajaan berada di ambang kehancuran ekonomi dan kewajiban membayar reparasi perang. Kondisi itu benar-benar buruk. Revolusi yang terjadi tidak akan damai. Bahkan, aku bisa menjamin revolusi tersebut penuh kekerasan dan korban jiwa, terutama dari pihak pemerintahan.
Melihat sejarah kerajaan di benua lain, masyarakat akan membunuh semua bangsawan laki-laki lalu memperkosa para bangsawan perempuan. Keluarga kerajaan dan Ratu juga tidak akan lolos. Rina, pemegang sampuk kekuasaan saat itu, akan menjadi bulan-bulanan dan budak seks para pemberontak.
Nasim adik Rina, Tera, juga tidak lebih baik. Jika saat itu masyarakat mengetahui Tera masih hidup, mereka akan menyadari alasan Nina mendeklarasikan perang adalah palsu. Kemungkinan Tera langsung dieksekusi atau dibunuh sangat kecil. Besar kemungkinan dia akan disiksa seumur hidupnya, sampai tewas.
Kerajaan Nina, Bad End.
Sepanjang bertukar serangan, Rina mengatakan semua skenario buruk yang menantinya. Suaranya yang penuh percaya diri dan tipu muslihat tidak terdengar lagi. Sosok Rina yang kutemui di kota Abu sudah hilang.
Di lain pihak, aku jadi teringat rencana yang diajukan oleh Inanna untuk mengobarkan perang di seluruh benua demi mencari inkompeten lain.
Saat ini, rumor mengenai senjata penghilang pengendalian pasti sudah menyebar. Kalau negara dan kerajaan lain ikut terseret, tanpa senjata penghilang pengendalian, mereka pasti kalah. Mau tidak mau, inkompeten yang selama ini bersembunyi akan terpaksa muncul ke permukaan.
Apakah mungkin Ratu Amana juga memikirkan hal yang sama dengan Inanna? Apa dia mulai mencari inkompeten lain sebagai alternatif? Bisa jadi!
"Apakah kamu di sini karena disuruh ibumu?"
"Ya, ibu menyuruhku datang ke sini segera. Dia mengatakan aku hanya cukup ke sini dan melihat ke kota. Sementara kendaraan perang, tank, dan semua alat elektronik Bana'an mati, militer kami akan menyerang dari danau."
"Ah, begitu ya."
Rina melepas tendangan dan aku menahannya dengan tombak. Namun, Rina tidak bertujuan mendorongku mundur. Dia menggunakan tombak tiga mata sebagai tumpuan dan melompat ke belakang.
Aku maju dan mengayunkan tombak. Kali ini aku tidak mengayunkannya penuh dengan memegang ujung tombak. Aku mengayunkan tombak dengan satu tangan memegang bagian tengah. Ayunan setengah niat ini memberi kesempatan untuk Rina menahannya.
"Apa kamu sadar kalau ada kemungkinan ibumu ingin kamu menyampaikan semua ini padaku?"
"Awalnya, aku tidak tahu. Setelah melihatmu datang, ya, aku menyadarinya."
Duarr Duarr Duarr
Suara ledakan terdengar dari belakangku. Ketika bilang belakang, yang aku maksud bukan tepat di belakang atau di sekitar sepeda motor, tapi jauh di selatan, di pesisir danau kota Merkaz.
Meskipun sibuk bertarung, cakupan pandangan Rina masih ke selatan, ke pesisir danau. Kalau kebetulan aku menutupi pandangannya, maka listrik dan kendaraan bisa aktif kembali. Namun saat aku menghindar, listrik dan kendaraan akan mati lagi.
Dan lagi, kalau terus-terusan dalam kondisi mati menyala mati menyala, komponen mesin rotasi yang terpasang akan rusak. Di lain pihak, armada kapal kerajaan Nina cukup melepaskan tembakan dari jarak aman, di luar pandangan Rina.
"Rina, sejauh mana militer Nina mengetahui kekuatanmu?"
"Mereka menganggap kalau mataku sudah dioperasi dan dipasang dengan penghilang pengendalian. Dan ibu juga menyatakan aku di bawah hukum militer. Jadi, maaf Gin, aku tidak bisa asal tukar posisi denganmu."
Rina bisa membaca maksudku. Kalau kami tukar tempat, akan ada kemungkinan Rina dianggap gagal menjalankan misi. Bisa juga dia dianggap tidak menaati perintah. Bahkan, mungkin saja pihak militer yang percaya akan mengoperasi dan mengambil bola mata Rina.
Namun, aku meragukannya. Meski Ratu Amana mengatakan Rina berada di bawah hukum militer, statusnya masih tuan putri. Bola matanya tidak akan diambil begitu saja. Dan lagi, kalau suatu ketika ditemukan bola mata Rina diambil, kerajaan Nina akan digeret oleh pengadilan perang internasional. Semoga saja.
Di lain pihak, kalau aku membiarkan kondisi terus berlanjut, pesisir kota Merkaz akan dikuasai Nina, membuat garis pertahanan mundur Bana'an. Cara yang paling mudah untuk mengatasi semua ini adalah dengan aku mengalahkan dan membunuh Rina. Namun, kalau aku membunuhnya, informasi dari Nina tidak akan pernah mencapaiku lagi.
"Rina, menurutmu, apakah ibumu ingin garis pertahanan maju ke wilayah Bana'an? Apakah dia ingin menguasai kota Merkaz."
"Jujur, aku tidak yakin," Rina menjawab. "Menurutku, ibu lebih mengharapkan serangan ini gagal. Kalau gagal, maka ibu bisa menekan militer untuk menggerakkan armada darat lewat selatan, menyeret Agrab ke peperangan."
"Ya, benar. Pikiran kita sama."
Mungkin kita berjodoh. Kalau kondisi normal, aku akan mengatakan itu sebagai gurauan. Namun, karena kondisi mental lawan bicara sedang tidak stabil, aku mengurungkannya. Aku tidak mau Rina tiba-tiba jatuh hati karena menganggap ucapanku serius. Ya, aku tidak mau menambah calon istri lagi. Aku tidak mau.
Baiklah, saatnya serius.
Sebenarnya, saat ini, aku sangat ingin membuyarkan rencana Ratu Amana dengan memerintahkan Ibla untuk mundur, menyerahkan kota Merkaz pada Nina. Hal ini akan meningkatkan moral tentara Nina dan menurunkan moral Bana'an. Citraku juga akan turun karena sudah dengan sombongnya mengatakan akan menghentikan Rina seorang diri tapi gagal. Hal ini juga akan membuat permintaan Ratu Amana, menggerakkan militer melalui Agrab, sulit diterima.
Aku tidak peduli dengan citra. Jadi, sebenarnya, aku ingin melakukannya. Namun, aku khawatirkan jika moral tentara Nina naik terlalu tinggi. Hal ini bisa memicu butterfly effect yang bisa membuat Bana'an kalah. Taruhannya terlalu besar.
Namun, kembali, kalau aku menggagalkan usaha Nina untuk menduduki kota Merkaz, rencana Ratu Amana akan berjalan mulus.
Sial! Kenapa pilihan yang diberi padaku tidak pernah bagus?
Tiba-tiba saja instingku berontak. Aku langsung mengayunkan tombak tiga mata sekuat tenaga. Membuat Rina melepaskan kedua sabernya.
"Tiarap!"
"Eh?"
Aku langsung melompat dan mendorong badan Rina ke tanah bersamaku.
Blarr blarr blarr
Tepat setelah kami tiarap, ledakan muncul. Namun, ledakan-ledakan itu tidak bertahan lama, hanya tiga kali.
Aku langsung melepas ikatan peti arsenal di pinggang dan menggunakan keduanya sebagai tameng. Di saat itu juga, suara logam bertabrakan terdengar. Tampaknya setelah melepas tembakan dari tank, tentara Nina melepaskan tembakan dari senapan. Karena peti arsenal tahan peluru, aku cukup tenang.
"Rina, tank apa dari kerajaanmu yang diterjunkan di sini?"
"Tank MIAA-54."
"Ada berapa unit yang tidak menggunakan mesin rotasi?"
"Total ada 25 unit yang diterjunkan ke front danau Mein."
Rina menjawab pertanyaanku dengan cepat.
"Ngomong-ngomong, sampai kapan kamu mau menindihku?"
"Ah...maaf."
Aku baru sadar kalau saat ini posisi tubuhku ada di atas Rina. Sambil mendorong peti arsenal, aku geser, menyingkir dari atas tubuh Rina. Untung debu masih beterbangan, jadi tidak ada yang melihat terutama dari pihak Bana'an. Kalau ada yang melihat ini dan melapor ke Emir atau Inanna, bisa mati aku.
"Gin, tembakan tadi tidak meleset. Tampaknya mereka ingin membunuhku."
"Sudah kuduga. Menurutmu, alasannya kenapa?"
"Aku tidak tahu. Entah itu perintah ibu atau memang mereka marah."
"Tolong jelaskan."
"Kalau aku tewas dan tubuhku hancur, ibu bisa merilis foto jasadku. Dengan demikian, dia mendapatkan bukti kuat kalau aku memang tewas, mendorong kemarahan warga untuk terus berperang."
"Kalau yang satunya?"
"Gara-gara berita kematianku, hidup damai tentara perbatasan terganggu. Kehidupan tentara yang seharusnya aman hingga hari tua berubah menjadi bisa mati kapan saja. Aku sendiri tidak yakin yang mana."
"Begitu ya. Jadi, aman kalau aku menganggap kamu di bawah hukum militer hanyalah alasan. Tujuan sebenarnya adalah membuat tidak pergi atau pergi dari titik ini."
"Tampaknya iya."
Di antara debu yang beterbangan, aku dan Rina berbincang-bincang normal. Aku tidak masalah karena instingku tenang, tidak berontak. Jadi, tidak ada peluru lain datang atau diarahkan ke sini. Namun, aku bisa merasakan keberadaan beberapa peleton tentara perlahan mendekat.
Aku menghela nafas dan melempar gurauan. "Permaisuri Bana'an mencoba merebut calon menantunya sendiri. Ratu Nina berusaha membunuh putrinya sebagai bahan bakar perang. Apa tidak ada keluarga kerajaan yang normal?
"Haha, pasti ada. Namun, pasti minoritas."
"Oke, serius lagi." Aku menghentikan senda gurau. "Rina, ada berapa amunisi atau senjata penghilang pengendalian yang dimiliki tentara Nina di Front ini?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak memiliki informasi itu."
"Begitu ya. Lalu, apa ibumu memberi perintah untuk tidak membunuhku? Maksudku, agar tentara mengambilku sebagai tawanan perang?"
"Secara peraturan perang, tanpa perlu perintah, kamu akan menjadi tawanan perang ketika menyerah. Namun, apa menurutmu tentara-tentara itu akan mengikuti peraturan?"
"Aku tidak yakin."
Karena tidak ada saksi dari Bana'an atau pihak luar, tentara Nina bisa mengatakan apa saja di pengadilan internasional. Jadi, percuma.
"Dan, Gin, jangan jadikan aku tawanan perang atau membuatku MIA. Kalau aku menjadi tawanan perang atau MIA, besar kemungkinan Tera yang akan digunakan oleh ibu. Aku tidak mau dia terseret."
"Dasar brocon."
"Aku tidak brocon! Aku hanya menyayangi Tera sebagai adik."
"Ya, ya...."
Kring kring
Tiba-tiba sebuah suara telepon terdengar. Aku memasukkan tangan ke saku jaket, mengambil handphone candybar anti sadap.
[Halo, gin?]
"Halo Ibla. Bagaimana keadaan?"
[Kendaraan perang dan listrik di pesisir kota sudah pulih. Kami sudah bisa memberi perlawanan.]
"Bagus!"
Meski di mulut mengatakan bagus, aku tidak benar-benar senang karena ini sesuai dengan rencana Ratu Amana.
"Ah, ngomong-ngomong, aku sudah melumpuhkan Rina. Jadi, Simurrum dan Uru'a sudah bisa bergerak. Tolong kamu urus tank yang berjaga di kejauhan. Jangan serang peleton yang datang. Jarak mereka terlalu dekat dengan kami. Karena aku tidak tahu berapa banyak senjata penghilang pengendalian yang mereka miliki. Aku sarankan menggunakan tank atau artileri."
[Oke!]
Aku mematikan telepon.
Emir masih di rumah sakit, jadi tidak ada seorang pun yang bisa membuat dan mengendalikan turret tank atau artileri. Namun, normalnya, tank dan artileri memang tidak dikendalikan satu orang, butuh tim. Dan, militer adalah tempatnya.
Beberapa detik setelah aku menutup telepon, ledakan demi ledakan muncul. Bunga dan bola api membumbung ke udara. Simurrum, Uru'a, dan Ibla, juga memiliki kendali atas beberapa peleton tentara, unit kendaraan, dan senjata perang. Selain sebagai intelijen, mereka juga ditugaskan menjadi Quick Deployment Unit.
"Apa?"
"Serangan musuh!"
Ketika pandangan tentara Nina teralihkan, aku langsung berlari, keluar dari debu. Dalam waktu singkat, aku sudah melompat ke peleton terdekat.
"Apa?"
Ayunan pertama, satu orang roboh.
"Sial!"
Sebelum militer Nina melepas tembakan, aku memutar tombak ke semua arah. Aku beruntung mereka berkumpul di satu tempat. Hanya dengan satu putaran ujung tombak tiga mata pun sukses menyayat lebih dari setengah peleton.
"AH?"
"Apa?"
Semua tentara yang kutebas langsung terjatuh ke tanah.
Militer Nina memiliki standar yang sama dengan militer Bana'an atau orang yang sering bertarung dengan pengendalian. Mereka menggunakan pakaian Igni. Pakaian igni terbuat dari kain sintesis. Dengan kata lain bukan kain, bahan anorganik. Lalu, di lain pihak, mata pisau yang terpasang di tombak tiga mata bukanlah mata pisau biasa.
Tombak tiga mata adalah satu dari dua senjata paling berbahaya di dunia pengendalian. Sepuluh persen dari tombak ini adalah darahku. Ujungnya pun kupastikan selalu tajam. Dengan ujung tajam, permukaan logam lebih mudah tergores. Serbuk dari goresan logam tersebut akan menempel di tubuh atau senjata lawan, menghilangkan pengendalian.
Tujuan utama tentara meningkatkan pengendalian adalah untuk meningkatkan perlindungan. Peralatan yang mereka kenakan di atas pakaian igni adalah pelindung baja, seperti zirah. Selain itu, mereka masih harus membawa tas, senjata, amunisi, dan peralatan lainnya. Dengan kata lain, mereka membawa beban yang sulit dibawa tanpa pengendalian. Begitu pengendalian tidak berfungsi, mereka tidak mampu bergerak karena beban yang terlalu besar.
Aku melompat ke samping dan menusuk satu tentara yang ada di ujung peleton.
Dor dor dor dor dor
Suara tembakan terdengar, tapi aku tidak terluka. Aku menggunakan tubuh tentara yang baru kutusuk sebagai pelindung. Dalam pertarungan 1 vs banyak, sangat disarankan mulai dari ujung. Dengan demikian, kamu bisa menggunakan tubuh orang tersebut sebagai pelindung.
"Orang ini gila! Dia bisa menahan beban tubuhku?"
Wow, aku terkejut. Tentara di depanku masih bisa memberi respon padahal tombak sudah menancap di perutnya.
Drrtt
"Akh!"
"GAH!"
Tiba-tiba saja sebuah suara getaran diikuti oleh teriakan terdengar. Agak jauh di sebelah kananku, terlihat Rina yang melepas tembakan menggunakan mini gun. Mini gun yang digunakan oleh Rina aku isi dengan peluru tajam dan berat. Rina melepas tembakan ke arah kaki. Jadi, meskipun dilindungi oleh pakaian, kaki mereka tetap mendapat hantaman kencang.
Begitu peleton lain mengalihkan pandangan ke Rina, aku kembali maju dan melumpuhkan pertahanan mereka dari satu sisi. Dalam waktu kurang dari 5 detik, aku bisa melumpuhkan lebih dari setengah peleton. Ketika sisa tentara panik dan fokus padaku, Rina kembali melepas tembakan ke kaki.
Dalam waktu kurang dari 1 menit, 3 peleton yang mendekati kami sudah berhasil dilumpuhkan. Karena mereka semua mengenakan pakaian pelindung, tidak satu pun tewas. Sayang sekali.
"Terima kasih, Rina."
"Sama-sama."
Aku tahu Rina membantuku karena dia tidak mau mati atau menjadi budak seks tentara ini. Jadi, sebenarnya, ucapan terima kasihku hanya basa-basi. Namun, Rina tidak menolaknya. Kalau orang baik-baik, pasti mereka akan mengatakan, "tidak perlu. Aku juga ada kepentingan,". Ya, Rina bukan orang baik sih. Jadi, normal.
Di lain pihak, kerja samaku dan Rina benar-benar sempurna. Padahal, kami belum pernah bertarung bersama.
Aku berjalan memutar, menusuk setiap kepala tentara yang ada di sini.
"Tunggu dulu! Menurut peraturan, kamu harus – AKH!"
Teriakan lain muncul mengikuti kematian.
Kalau sesuai peraturan perang, aku tidak diperbolehkan membunuh lawan yang sudah tidak bisa bergerak atau memberi perlawanan. Namun, aku memiliki pembelaan.
"Peraturan itu hanya berlaku kalau kalian tidak bisa bergerak sepenuhnya. Kalau pakaian pelindungnya dilepas, kalian masih bisa bergerak." Ucapku sambil membunuh satu orang lain.
"Aku menyerah! Aku menyerah!"
"Apa? Kamu tidak mau menyerah? Baiklah. Kematian kalau begitu!"
Tombak tiga mata menusuk kepala lain, mengabaikan permintaan menyerah.
Aku berani melakukan semua ini karena instingku tidak merasakan satu pun pandangan ke tempat ini. Dalam waktu singkat, 60 orang tewas oleh tombak tiga mata.
Aku membuat panggilan telepon. "Halo, Ibla. Ada 60 jasad di sini. Segera ke sini dan hancurkan tubuh mereka tanpa sisa."
[Baik!]
Tidak ada kejahatan perang kalau tidak ada bukti.
Ibla yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di dunia pasar gelap tahu benar cara menghancurkan tubuh tanpa sisa. Bisa kremasi, lempar ke adukan semen, giling, dan lain sebagainya. Intinya, ada banyak cara.
Sekarang, kembali ke damsel in distress.
"Jadi, Rina, apa yang akan kau lakukan? Dengan gagalnya militer Nina mengambil alih kota Merkaz, Rencana ibumu sudah berjalan mulus. Bagaimana denganmu? Karena tampaknya ibumu jelas-jelas menginginkanmu mati, akan percuma kalau kamu kembali ke kerajaan Nina, kan? Setelah kembali, bisa saja ibumu langsung membunuhmu saat itu juga. Setelah itu, dia mendapatkan jasadmu dan menggunakannya seperti dugaanmu."
"Itu..."
"Dan, seperti ucapanmu, ada kemungkinan tentara juga membencimu. Begitu kamu kembali dalam keadaan hidup, mereka akan menganggapmu kabur di tengah perang. Kamu tidak mendapatkan perintah untuk mundur, kan? Ketika hal ini terjadi, kebencian mereka akan semakin besar. Kamu, otomatis, akan menjadi budak seks tapi mereka akan memberi laporan bahwa kamu tewas. Setelah selesai bersenang-senang, mereka akan mengirim jasadmu ke istana."
"..."
"Tidak peduli entah kamu tewas, kembali, menjadi tawanan perang, atau sekedar MIA, adikmu tetap akan terseret untuk menggantikanmu."
Bersambung