[Jadi, sekarang, dia menetap di kamarmu?]
"Jangan khawatir. Ibla sudah mengganti kamarnya menjadi double bed. Jadi, kami tidak akan tidur satu ranjang."
Hari ini benar-benar kacau. Setelah perseteruan tadi, aku membawa Rina bersamaku. Aku beruntung dia adalah perempuan Alhold. Dengan dadanya yang datar, hanya dengan memberinya hoodie dan kaca mata, Rina sudah tampak seperti laki-laki.
Aku mengatakan pada Zortac kalau laki-laki yang bersamaku adalah salah satu orang intelijen. Alasan kenapa aku mengetahui keberadaan dan kehadiran penghilang pengendalian tipe optik juga berkat agen ini. Ya, semua itu bohong. Dan , tentu saja, Ibla mengetahuinya. Namun, itu tidak penting.
Aku membeberkan semua informasi yang kudapat dari Rina pada Zortac dan Ibla, terutama mengenai kerajaan Nina yang berniat mengobarkan perang ke seluruh benua. Aku memiliki perkiraan kenapa Ratu Nina melakukan itu, tapi tidak mengatakannya. Di lain pihak, Ibla dan Zortac juga memiliki perkiraan sendiri. Mereka menduga kerajaan Nina berniat menjadikan perang ini menjadi perang dunia.
Kondisi saat ini adalah intelijen dari berbagai penjuru dunia mencegah agar tidak ada negara sekutu di luar benua yang ikut terlibat. Kalau perang sampai menyebar ke seluruh benua, mau tidak mau, sekutu-sekutu tersebut akan bergerak. Mereka tidak mau kehilangan negara yang berhutang menjadi hilang.
Kalau negara tersebut hilang, hutang yang mereka beri akan hilang untuk selamanya. Kalau seandainya tidak memiliki hutang, para sekutu tidak akan peduli walaupun negara tersebut hancur. Bahkan, saat ini, yang menekan sekutu Mariander agar tidak bergerak adalah negara-negara lain yang tidak ingin perang dunia meletus. Dengan kata lain, mereka harus merelakan hutang kerajaan Mariander.
Namun, kalau perang sudah membara di seluruh benua, tidak ada alasan lagi sekutu masih diam. Dengan embel-embel akan meningkatkan impor setelah pelebaran wilayah, Nina bisa menggoda sekutunya.
Kalau dipikir menggunakan logika normal, aku akui, ucapan Zortac sangat masuk akal. Namun, sayangnya, yang melakukan ini adalah keluarga Alhold. Jadi, aku meragukannya. Meski demikian, aku tidak menyatakan keraguan ini. Aku membiarkan mereka begitu saja.
Setelah selesai, kebetulan, pasukan masih berkumpul di pelabuhan dan area sekitar. Jadi, Zortac dan Ibla langsung memberiku tur untuk muncul di depan semua orang. Kami menemui tentara-tentara berpangkat brigadir jenderal hingga kapten. Kami hanya bertukar salam dan Zortac menjelaskan bagaimana jaringan informasi dan senjata penghilang pengendalian telah memberi banyak kontribusi.
"Lihat! Itu Lugalgin Alhold!"
"Eh? Regal Knight terkuat itu?"
"Regal Knight? Dia itu kepala intelijen."
"Apa benar dia yang memasok peluru penghilang pengendalian."
"Aku dengar dia juga yang menghancurkan penghilang pengendalian yang tadi digunakan."
"Kita benar-benar beruntung dia bukan musuh."
Ketika berjalan melewati tentara dan pangkalan, tentu saja, perbincangan mengenai diriku tidak terelakkan. Pandangan para tentara ini pun tidak lepas dariku. Apalagi aku dipandu oleh Mayor Jenderal.
Di lain pihak, Rina hanya diam seharian. Dia memainkan peran orang pemalu dan hanya akan berbicara denganku. Setelah kunjungan selesai, acara dilanjut dengan makan malam bersama dengan Zortac dan beberapa Brigadir Jenderal.
Dan, setelah semua itu selesai, aku pergi ke hotel yang sudah dipesan oleh Ibla. Sebelumnya, kamar yang aku tempati adalah presiden suite di lantai paling atas dengan single bed besar. Namun, Ibla sudah menghubungi pihak hotel untuk segera mengganti kasurnya dengan dua kasur besar. Aku benar-benar bersyukur dia bergerak cepat.
Setelah mandi¸ Rina langsung merebahkan badan ke kasur, tertidur. Aku, di lain pihak, harus memberi laporan pada Emir dan Inanna. Mereka sudah aku beri telepon candybar anti sadap, jadi aku bisa berbicara dengan tenang. Aku harus menyampaikan semua informasi dan keadaan pada Emir dan Inanna. Aku tidak mau mereka khawatir.
Untuk menambah pengamanan, aku meminta Ibla menaruh beberapa orang Agade yang dia bawa berjaga. Aku tidak mau ada kebocoran informasi, baik ke pihak Nina maupun ke militer Bana'an.
Saat ini, aku menelepon Emir dan Inanna di balkon. Sayangnya, telepon candybar ini tidak memiliki fitur proyeksi. Jadi, aku harus menempelkannya di telinga. Meski ada fitur loud speaker, aku tidak menggunakannya. Kalau menggunakan fitur tersebut, sama saja aku membeberkan informasi ke semua orang.
[Namun, gin, aku tidak mengira kalau ideku akan dilakukan oleh Ratu Amana.]
"Jangankan kamu, Inanna. Bahkan putrinya sendiri tidak menduga kalau dia akan melakukan ini."
[Ya, setidaknya, kita juga bisa mencari inkompeten lain untuk dijadikan kambing hitam kalau terpaksa.]
Inanna mengatakan semua itu tanpa keraguan. Aku tidak tahu apakah perempuan ini memang logis atau sadis. Namun, ucapannya memang benar.
"Ngomong-ngomong, Emir, Inanna, kenapa kalian tidak marah aku tidur satu kamar dengan Rina. Apa kalian tidak khawatir aku bercinta dengannya?"
[...]
Tidak terdengar jawaban. Apa mereka ragu? Atau terkejut dengan ucapanku?
[Jujur, Gin,] Emir membuka pembicaraan. [Sebenarnya, aku sendiri khawatir dan takut kamu melakukannya. Namun, aku merasa, kami tidak memiliki hak untuk melarangmu.]
"Tidak memiliki hak? Apa maksud kalian? Kalian calon istriku! Tentu saja kalian punya hak! Aku bisa bercinta dengan orang lain, tahu. Dan apa kalian ingat saat Yuan datang? Kalian menginterogasiku dan bahkan menangis. Aku masih ingat jelas kejadian itu."
[Itu....] Emir ragu, tidak bisa memberi konfirmasi.
[Gin,] Inanna menyela. [Jujur, kami sendiri juga agak ragu kali ini.]
"Kenapa begitu?"
Inanna menjelaskan, [Pertama, intervensi kami saat itu membuatmu jadi ragu, kan? Dan gara-gara intervensi kami lah kamu terluka parah. Jujur, aku tidak mau melihatmu terluka parah lagi.]
"...."
[Kedua, Rina berada di posisi yang sama denganku dan Emir, tuan putri yang dikhianati oleh keluarga sendiri. Sebagai tuan putri, normalnya, tidak ada pihak yang berani menolong kami. Tapi–]
[Tapi kamu melakukannya!] Emir melanjutkan. [Jika orang normal lain, pasti mereka hanya akan menuruti ucapan Raja, tapi kamu tidak melakukannya. Kamu menentang ayah kami, seorang Raja, untuk melindungi kami. Tidak banyak orang sepertimu. Bahkan, aku tidak pernah bertemu dengan orang sepertimu.]
"Ah, begitu ya. Iya, iya, aku paham. Meski ada alasan kalian tidak ingin membuat ragu atau khawatir, yang sebenarnya adalah kalian melihat Rina sebagai sosok kalian di masa lalu. Dan, kalau kalian melarangku untuk menolongnya, seolah kalian munafik, begitu?"
[[Ya...]] Emir dan Inanna menjawab bersamaan.
Dua calon istriku ini benar-benar baik.
"Sebenarnya, aku lebih prefer bisa menolong Rina tanpa membuatnya jatuh hati padaku, tapi..."
[Gin, suspension bridge effect adalah hal yang tidak terelakkan.] Inanna merespons. [Pada dasarnya, saat ini, Rina sedang berada di kondisi paling bawah dan hancur. Dan, saat ini terjadi, tidak peduli siapa pun yang akan menolong, orang tersebut akan menjadi target jatuh hati bagi Rina. Ya, anggap seperti cinta pada pandangan pertama. Jangankan Rina. Aku bisa bilang kalau aku, Emir, dan bahkan cintamu ke Tasha adalah suspension bridge effect.]
Dan, Inanna mulai memberi ceramah panjang lebar mengenai sebuah ilmu psikologi.
Suspension bridge effect, ya. Aku tidak pernah menduganya. Dan, kalau aku pikir baik-baik, aku memang jatuh hati ke Tasha ketika berada di kondisi bawah, di dasar jurang. Apa ini berarti rasa sayangku ke Tasha adalah palsu.
Inanna, seolah bisa membaca pikiranku, melanjutkan ceramahnya.
[Bukan berarti rasa sayangmu atau kami adalah palsu. Anggap saja suspension bridge effect hanya pemantik atau gas di awal. Namun, kalau rasa sayang ini tidak diimbangi dengan kepedulian dan perilaku yang tepat, cepat atau lambat akan hilang. Karena kebetulan Tasha adalah orang baik, maka rasa sayangmu pun relatif stabil atau bahkan bertambah. Dan, itu juga yang terjadi pada kami. Jadi, jangan khawatir, rasa sayang kami padamu bukanlah palsu.]
"..."
Aku menutup wajah. Setelah mendengar ucapan Inanna, yang seperti pengakuan cinta, wajahku menjadi panas, tersipu. Padahal aku sudah berkali-kali mendengarkan mereka mengucapkan hal ini. Namun, entah kenapa, aku merasa kali ini berbeda. Apa karena aku sedang berpisah dari mereka?
Tidak! Tidak mungkin! Belum ada satu hari sejak aku berpisah dari mereka. Pasti ada alasan lain yang membuatku tersipu. Ya, sudahlah. Tidak penting juga alasan aku tersipu. Mereka calon istriku juga.
"Setelah kupikir-pikir, kenapa semua orang yang tampaknya jatuh hati padaku adalah tuan putri dan bangsawan?"
[Ah, tidak juga,] Emir menolak. [Kamu tahu, aku dengar dari Ninlil kalau ada beberapa teman SMAmu, yang bukan bangsawan, juga jatuh hati padamu. Jangankan begitu, bahkan, aku juga bisa melihat kalau Nanna, teman Ninlil, juga memiliki perasaan padamu. Dan, kamu sendiri juga menyadarinya, kan?]
Aku tidak mampu menjawab. Kalau aku pikir-pikir, mungkin ada kejadian seperti itu. Meski banyak kode yang bertebaran, aku memilih untuk mengabaikan itu semua. Dan, karena itu semua hanya kode, aku tidak sepenuhnya yakin mereka memiliki perasaan padaku. Ya, kecuali Illuvia. Dia mengatakannya langsung, jadi aku cukup yakin.
[Gin,] Inanna melanjutkan pembicaraan. [Kamu memang oportunis dalam hal bisnis dan yang lain. Namun, dalam hubungan, aku bisa bilang kamu tipe orang yang defensif, pengecut.]
"..."
Emir menambahkan, [Inanna benar, Gin. Setiap kita melakukannya, kami lah yang harus memaksamu. Dan kamu berharap kami percaya kamu akan bercinta dengan Rina? Hah! Lupakan! Kamu itu pengecut dalam hal percintaan.]
Aku menghela nafas. Kedua calon istriku ini benar-benar sesuatu. Mereka bisa menebak jalan pikiranku walaupun kita hanya berkomunikasi dengan suara.
"Oke, aku akui kalau aku pengecut. Dan, jelas tidak akan sampai bercinta. Tapi, mungkin, aku akan memeluknya, mencoba menenangkannya." Aku terdiam sejenak. "Rina menangis di tidurnya. Dia memanggil-manggil adiknya."
[Ah, pantas,] Inanna merespons lemah.
[Gin, kamu terlalu baik. Kamu sadar itu?]
Tidak! Aku tidak sadar! Orang yang terlalu baik tidak akan membunuh asistennya hanya karena pengkhianatan. Orang baik tidak akan melakukan pembersihan. Dan, kalau aku orang baik, aku tidak akan membunuh Illuvia. Jadi, aku bukan orang baik.
"Hmm?"
[Ada apa, Gin?]
"Ada tamu tak diundang. Aku akhiri dulu ya telepon kali ini."
[Oke, gin. Hati-hati ya.]
[Aku dan Emir menyayangimu.]
"Iya, aku juga sayang kalian."
Aku segera menutup telepon setelah mengucapkan perpisahan. Aku langsung menuju pintu dan membukanya.
"Ro–"
"Halo, room service, ya?" Aku menyela pelayan dengan berbisik. "Ada minuman untuk kami, kan?"
"Ah, iya. Silakan." Si pelayan ikut berbisik.
Aku menerima botol wine dari pelayan. "Temanku sudah tidur, jadi aku tidak mau membangunkannya. Terima kasih, ya."
"Terima kasih sudah mempercayai kami."
Aku pun menutup pintu dan kembali masuk ke kamar.
"Gin?" Rina setengah bangun, memanggilku.
"Tidak ada apa-apa kok. Kamu bisa tidur lagi."
"...baiklah"
Rina kembali tidur di dalam selimut. Perempuan ini benar-benar lengah, tanpa pertahanan. Kalau aku mau membunuhnya sekarang juga, akan sangat mudah. Namun, tentu saja, aku tidak akan melakukannya. Aku bukanlah pembunuh berdarah dingin yang akan membunuh siapa saja tanpa pandang bulu.
Aku ke ujung ruangan sejenak, mengambil pistol berbayonet. Dengan botol wine di tangan kiri dan pistol di tangan kanan, aku kembali ke balkon. Tentu saja aku menutup jendela, memastikan keributan yang akan muncul tidak membangunkan Rina.
"Aku tidak mengira jaringan keamanan Agade bisa ditembus semudah ini. Tampaknya aku harus menceramahi mereka. Jadi, siapa kau dan apa yang kau inginkan?"
Aku duduk di kursi yang ada di balkon sambil melihat ke ujung kiri, dekat jendela.
"Ternyata rumornya benar. Kau memang sangat peka terhadap kehadiran orang lain."
Dari sudut yang hampir tertutup oleh bayangan, muncul seseorang. Dia mengenakan pakaian serba hitam dari atas sampai bawah, hanya kedua matanya yang tidak tertutup. Tidak lama kemudian dia duduk di kursi satunya yang kosong. Di antara kami, sebuah meja dengan wine dan dua gelas kosong telah siap.
Bukan aku yang membawa gelas kosong, tapi laki-laki itu.
Aku menuangkan setengah botol wine ke dua gelas. Setelah itu, sosok ini membelalakkan mata. Normal untuknya melakukan hal ini. Kalau ada penikmat wine melihatku, mereka pasti akan langsung mengumpat dan melempar sumpah serapah. Apa yang aku lakukan? Aku tidak mengambil salah satu gelas, tapi langsung meminum wine dari botol.
"Aku tidak tahu apakah gelas itu bersih atau sudah dilumuri racun. Jadi, tidak, terima kasih. Aku akan langsung minum dari botol."
"Kau terlalu waspada. Aku tidak akan meracuni orang yang menolong kakakku. Dan, aku merasa sayang dengan wine berusia 25 tahun itu."
Sosok di sampingku membuka kain yang membalut kepala dan wajahnya. Dia memiliki rambut perak dengan potongan cepak ala tentara. Mata birunya memantulkan cahaya malam dengan cukup jelas, siap memesona setiap gadis yang ditemui. Dengan senyum elegan, dia mengambil gelas wine, sedikit menggoyangkannya. Setelah puas dengan aroma yang menyerang indra penciuman, dia meminumnya dengan perlahan.
"Melihat fitur wajahmu, aku ingin menyimpulkan kalau kau adalah Tera, adik Rina. Namun, aku juga tidak yakin. Bisa saja kau orang lain yang dioperasi untuk mirip Tera, seperti sebelumnya."
"Aku kira kamu bisa mengenali orang hanya dari hawa keberadaannya?"
Mengenali orang dari hawa keberadaan? Apa dia mendapatkan sebagai informasi atau rumor?
"Kalau aku sudah bertemu sekali atau dua kali dengan orang itu, ya, aku bisa. Namun, kalau belum pernah menemuinya, lupakan saja."
"Ah, ternyata perfect mercenary masih memiliki kelemahan, ya."
"Aku bukan perfect mercenary. Dan, siapa yang memberi nama itu padaku? Konyol sekali. Kalau sudah bertemu dengan Lacuna, aku berani jamin mereka tidak akan menempelkan label itu padaku."
Dan lagi, aku sudah berhenti menjadi mercenary sejak lama. Pekerjaanku sekarang adalah pemimpin organisasi pasar gelap sekaligus kepala intelijen Bana'an.
"Ya, kalau kakak bangun, dia bisa mengenaliku. Ah, sebelum kamu salah sangka, dia hanya bisa mengenali hawa keberadaanku. Dia tidak bisa mengenali apalagi mengingat hawa keberadaan orang lain sepertimu."
That's some serious love right there. Maksudku, bahkan Emir tidak bisa mengenali kakaknya sendiri, Yurika, ketika mengenakan topeng silika. Jadi, Rina bisa mengenali adiknya hanya dari hawa keberadaan, bisa dibilang, adalah sebuah bentuk kasih sayang yang luar biasa.
Aku kembali menenggak botol wine ini. Aku bukan penikmat minuman keras, jadi aku tidak bisa memberi komentar mengenai rasanya. Sederhananya, rasanya seperti sari anggur yang rasanya sangat pekat.
"Kalau benar kau Tera, apa ini berarti ibu kalian benar-benar ingin menumbalkan Rina?"
Pandangan Tera turun. Dengan pandangan yang setengah hampa, dia mengangguk.
"Gin, sejak keberadaanmu menjadi berita utama, terutama battle royale dan reverse cinderella, ibu memisahkan kami. Kakak dikirim ke Bana'an, dan aku dikirim ke Mariander. Misiku sama seperti kakak, mencari keberadaan inkompeten lain."
"Mariander, apa kau sudah menemui Etana?"
Tera menggeleng, "Aku tidak ditugaskan menemui Etana. Aku hanya ditugaskan untuk memonitor setiap gerakannya dan melapor ke ibu secara langsung."
"Kalau sama-sama ditugaskan mengumpulkan informasi, kenapa kalian tidak bertemu saja dan lalu kabur? Kenapa repot-repot melaksanakan tugas yang diberi ibu durhaka kalian."
"Kamu bercanda, kan?"
Tera melihatku sengit, sementara aku hanya sedikit tersenyum.
Ya, tentu saja mereka tidak bisa bertemu. Aku menduga pasti ada agen atau pihak lain yang ditugaskan untuk menjaga gerak-gerik mereka. Misal, kalau Tera melakukan sesuatu yang di luar perintah, Ratu Amana tinggal membunuh Rina, begitu juga sebaliknya. Dengan ancaman ini, Ratu Amana memastikan Rina dan Tera menurut.
"Tera, melihat informasi yang kau beri, aku menyimpulkan informasi yang diberi pada kalian adalah berbeda, kan? Rina diberi informasi kalau kau ditahan. Aku memperkirakan kau mendapat informasi kalau ada agen yang siap mencabut nyawa Rina kapan saja."
Tera mengangguk.
"Jadi, apa kau juga tahu kalau dia pergi bersama kriminal yang menyamar menjadi dirimu?"
Tera mengangguk.
"Ibumu pasti tidak ingin kau berbuat aneh-aneh. Dengan memberi informasi lengkap, dia memberi isyarat kalau semua Rina benar-benar ada di genggamannya."
"Ya, dugaanmu benar, Gin. Satu-satunya momen aku bisa bertemu dengan kakak adalah beberapa hari lalu saat dijebloskan ke penjara bawah tanah, setelah dia pulang dari Bana'an. Namun, penjeblosan itu ternyata hanya sandiwara. Hanya untuk meyakinkan kakak kalau aku benar-benar ditahan."
Sebenarnya, aku memiliki banyak pertanyaan. Kenapa Ratu Amana memberi informasi yang berbeda pada Rina dan Tera. Kenapa dia repot-repot memberi informasi palsu kalau Tera ditahan? Aku benar-benar tidak bisa memahami jalan pikir Ratu Amana.
"Jadi, apa tujuanmu datang ke sini? Aku kira kau tidak bisa menemui Rina."
"Aku ingin membuat permintaan. Tolong, lindungi kakakku."
"...."
"Saat ini, setidaknya, ada 7 agen dan pembunuh bayaran yang berusaha membunuhku. Mungkin, saat ini, anak buahmu sedang berurusan dengan mereka."
"Berurusan dengan mereka ... kau membuat kesepakatan dengan Ibla?"
Tera mengangguk.
Aku tidak percaya dengan ucapan laki-laki ini begitu saja. Aku langsung mengeluarkan handphone candybar dan menelepon Ibla.
[Ya, dia benar-benar Tera. Dia sudah membuat kesepakatan denganku. Jadi, pertahanan Agade tidak jelek. Aku sengaja membiarkan dia menemuimu. Sudah ya, aku banyak urusan ini. Agen dan pembunuh yang mengejarnya lebih banyak dari perkiraan.]
Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, Ibla sudah memberi penjelasan dan menutup telepon. Kalau di keadaan normal, mungkin aku sudah protes karena sopan santun Ibla sudah hilang. Namun, mendengar suaranya yang agak tergesa-gesa, aku bisa menyimpulkan dia cukup kerepotan. Jadi, aku akan membiarkannya.
"Oke, kamu memang benar Tera. Dan, untuk permintaanmu, apa untungnya bagiku?"
"Rina adalah satu-satunya jalan untukmu tidak menjadi Raja kerajaan Kish yang baru."
"Kish yang baru?"
"Ya. Kish yang baru. Menurutmu apa tujuan ibu ingin mengobarkan perang ke seluruh benua?"
Aku terdiam, tidak memberi jawaban.
"Tujuan ibu yang sebenarnya adalah menyatukan kembali seluruh kerajaan, dan satu negara, di benua Ziggurat dalam satu bendera."
"Aku kira ibumu mencari inkompeten. Aku berpikir, mungkin, dia ingin menggeret inkompeten lain ke permukaan."
"Itu juga. Tapi, ibu juga memiliki rencana lain. Setelah Nina kalah, menurutmu, kerajaan mana yang akan paling ditakuti?"
Aku berpikir sejenak. Saat ini, lima kerajaan dan satu negara, bisa dibilang, memiliki kekuatan yang hampir sama. Namun, setelah Nina hancur, dan Mariander kalah, negara yang akan dianggap memiliki militer terkuat di benua Ziggurat adalah Bana'an. Kenapa? Karena tinggal Bana'an yang tercatat memiliki senjata penghilang pengendalian.
Walaupun ada kerajaan lain yang mungkin juga memiliki penghilang pengendalian, tetap saja percuma. Setelah perang berakhir, kerajaan Bana'an pasti akan mendapatkan reparasi dan wilayah yang paling besar karena peserta awal di peperangan ini. Mariander akan fokus dengan pendirian republik. Dan, kerajaan lain juga sulit meminta reparasi lebih karena mereka datang belakangan.
Saat itu tiba, sangat besar kemungkinan Republik Dominia, Kerajaan Agrab, dan Kerajaan Nippur bekerja sama untuk menyerang Bana'an. Permasalahannya, apakah Bana'an akan membiarkan ketiganya bekerja sama? Besar kemungkinan tidak. Sebelum ini terjadi, Bana'an mungkin akan menyerang Agrab terlebih dahulu.
Dengan kata lain, perang berkepanjangan akan muncul di benua Ziggurat. Perang ini, tentu saja, akan menimbulkan krisis ekonomi. Partisipan perang yang melihat ancaman krisis ekonomi akan menawarkan solusi berdamai. Salah satu solusi perdamaian yang masih kerap dipraktikkan adalah pernikahan antar figur.
Dengan posisiku yang sudah menggaet putri dari Mariander dan Bana'an, sangat besar kemungkinan mereka akan mendorong putri kerajaannya padaku. Mereka tidak bisa mencari orang baru yang bisa menggaet dua putri sekaligus, kan? Dengan kata lain, kalau dibiarkan, dalam beberapa tahun lagi bisa dipastikan aku menjadi Raja benua Ziggurat.
Meski ada intervensi dari luar benua, kemungkinan mereka berhasil adalah kecil. Mereka berada di benua lain. Kalau hanya mengharapkan armada laut, susah untuk bisa melakukan intervensi yang berarti. Dan lagi, kalau benar-benar dinobatkan menjadi Raja, negara-negara itu pasti akan berpikir aku adalah sasaran empuk.
Sial! Kalau begini, rencana Emir justru akan mendorongku menjadi Raja benua Ziggurat! Rencana Emir bisa menjadi senjata makan tuan!
Di lain pihak, aku bisa melindungi Rina, beralasan nyawanya terancam karena perpecahan keluarga kerajaan. Berbeda dengan Bana'an yang sistem pemerintahannya semi monarki, kerajaan Nina masih menerapkan sistem feodal sepenuhnya. Satu bangsawan tidak di bawah bangsawan lain. Yang membedakan hanyalah luas wilayah dan jumlah pasukan yang mereka miliki.
Kalau ada yang mendukung, Rina bisa menjadi pemimpin bangsawan-bangsawan tersebut. Sederhananya, Rina memimpin pemberontakan.
"Bagaimana? Tanpa perlu aku jelaskan, kamu sudah tahu keuntungan kalau melindungi kakak, kan?"
"Ya, kamu tidak perlu menjelaskannya. Namun, aku ada pertanyaan. Kenapa sekarang dan kenapa buk–" aku terhenti. Mataku membelalak melihat Tera. "Tera, telingamu mengeluarkan darah."
"Ah?" Tera mengusap darah di telinganya dengan enteng. "Tampaknya efek penawarnya sudah mau habis."
"Mau habis? Jangan bilang ... "
"Ya. Ibu menyuntikkan racun ke dalam tubuhku sejak aku menjadi intelijen. Kalau tidak meminum penawarnya setiap 24 jam, aku akan mati. Dan, terakhir aku meminum penawar itu adalah kemarin malam."
"Ke–"
"Tentu saja aku tergesa-gesa. Tadi siang saja, ibu sudah berencana membunuh kakak. Kalau kakak mati, tidak ada alasan aku mau mengikuti perintahnya, kan? Aku menduga ibu juga akan membunuhku. Dan, dugaanku benar. Tadi sore, aku mendapatkan informasi yang menyatakan kalau agen yang mengawasi tidak akan memberi penawarnya untuk malam ini. Karena itulah, aku langsung mencari Ibla dan mengatur pertemuan ini."
Ratu Amana benar-benar gila. Dia bahkan bersedia membunuh kedua anaknya hanya untuk membakar semangat perang.
"Jadi, Gin, apa kamu mau menerima permintaanku?"
Bagaimana aku bisa menolak permintaan orang yang sudah di ujung hidupnya? Sial!
"Baiklah. Namun, dengan satu syarat."
"Apa itu."
"Kamu ucapkan perpisahan dengan kakakmu, sekarang juga, dengan mulutmu itu."
"...Gin, kamu tega membuat kakak melihatku mati di depan matanya."
"Anak muda, dengarkan aku. Aku sudah kehilangan banyak orang yang aku kasihi. Dan, sampai sekarang, aku masih menyesalinya. Kalau kematiannya memang tidak terhindarkan, satu-satunya hal yang aku sesali adalah tidak bisa berada di sisinya saat itu. Aku hanya bisa membayangkan betapa takut dan kesepiannya mereka di akhir hayat. Dan, hingga kini, aku masih menyesal dan marah pada diriku sendiri."
Aku memanggil Tera anak muda. Padahal, usiaku lebih muda darinya. Haha.
"Kamu bertanya apa aku tega membiarkan kakakmu melihat kematianmu? Ya, aku tega. Sekarang, aku balik bertanya. Tera, apa kamu tega membuat kakakmu menyesal dan tidak tenang untuk seumur hidupnya? Setelah ini, ada kemungkinan kakakmu tidak akan bisa tidur dengan nyenyak di malam hari. Setiap memejamkan mata, Rina sebuah bayangan mengenai momen terakhirmu akan terlintas di benaknya. Dia akan menyalahkan dirinya terus menerus. Apa itu yang kamu inginkan?"
"Itu...."
"Ayo masuk. Kamu ucapkan perpisahan secara langsung."
Aku bangkit dan membuka jendela. Di tangan kiriku, masih ada satu botol wine.
Tera menurut dan ikut masuk bersamaku. Baru saja kami masuk, sebuah sosok sudah berdiri di balik jendela.
"Gin, kenapa kamu meninggikan suaramu? Aku berusaha tidur, tahu..."
Aku sudah menyadari kalau Rina terbangun. Seharusnya, suaraku tertutupi oleh angin malam dan jendela. Namun, melihat Rina yang terbangun, mungkin dia juga memiliki indra yang peka.
Rina berdiri hanya dengan menggunakan kemeja dan celana dalam. Kalau dalam kondisi normal, mungkin aku akan mempermasalahkan pakaiannya. Namun, saat ini, hal itu sama sekali tidak terlintas di benakku.
Tera bisa mati sewaktu-waktu. Ini lebih penting.
"Aku hanya berbicara dengan adikmu."
Aku menjawab Rina sambil menutup jendela di belakang Tera.
"Adik?"
Rina menoleh ke kiri sambil mengusap mata.
"Halo, kak."
"Eh, Tera? Perasaan ini, kamu benar-benar Tera!" Seketika itu juga, Rina melompat ke dada Tera dan memeluknya erat. "Tera, kakak merindukanmu. Kakak bersyukur kamu selamat."
"Kakak...." Tera menerima tubuh kakaknya dan terjatuh.
Tera tersenyum masam. Dia tidak bisa menjawab kebahagiaan kakaknya. Tera sadar bahwa saat ini dia hanya akan membawa kesedihan bagi kakaknya. Namun, kalau Tera mempertimbangkan ucapanku, dia harus memberanikan diri demi mengurangi penderitaan kakaknya di masa depan.
Di lain pihak, wajah Tera semakin pucat. Aku tidak yakin dia pucat hanya karena tidak tega. Ada kemungkinan racun di tubuhnya sudah semakin parah. Dugaanku didukung dengan aliran darah di telinga Tera yang semakin deras.
"Kakak," Tera merengkuh tubuh Rina erat, tidak ingin melepasnya. "Detailnya akan dijelaskan oleh Lugalgin. Namun, aku ingin kakak mendengarkanku baik-baik."
"Tera, ada apa?"
"Kak," Tera masih merengkuh Rina. Dia tidak membiarkan Rina melepaskan diri dan melihat wajahnya yang pucat. "Kak Rina, aku selalu menyayangimu. Dan, aku ingin kakak selalu mengingat, ini bukanlah salah kakak."
"Tera, apa maksudmu?"
Rina mulai berontak. Dia ingin melepaskan diri dari Tera dan melihat wajahnya.
Tera tidak membiarkan Rina lepas begitu saja. Dia terus merengkuh Rina dengan erat. Namun, wajah Tera semakin pucat. Saat ini, aku yakin, Tera mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan Rina.
Aku duduk di samping mereka, meletakkan pistol di atas karpet, dan menekan punggung Rina.
"Rina, tidak usah berontak. Jalani saja momen ini di pelukan adikmu."
"Terima kasih, Lugalgin." Tera tersenyum ke arahku.
Setelah merasakan tubuh Rina yang tidak berontak lagi, aku melepas tangan dari punggung Rina dan kembali menenggak botol wine.
"Kak, terima kasih karena telah menjadi kakak yang baik selama ini. Dan, maafkan aku yang telah membuat kakak sengsara."
Rina tidak menjawab. Dia tenang. Namun, samar-samar, aku bisa mendengar suaranya yang sesenggukan di dada Tera. Saat ini, aku yakin Rina sudah menyadari kalau ada yang salah dengan adiknya. Namun, aku tidak yakin dia sadar kalau adiknya akan tewas malam ini juga.
"Kakak, mungkin aku egois karena melakukan hal ini. Namun, aku berterima kasih karena kakak mau menemaniku malam ini. Terima kasih, kak. Untuk ke depannya, Lugalgin yang akan melindungi kakak. Maaf. Dan, sekali lagi, terima...."
Tera tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Kedua tangan Tera merosot dari tubuh Rina. Kepalanya pun terjatuh ke depan, menyandar ke bahu Rina.
"Te...ra..."
Kini, ganti Rina yang memeluk tubuh Tera erat, tidak ingin membiarkannya pergi. Dia menangis dengan Tera di pelukannya. Selama itu, aku hanya mengusap punggung Rina sambil minum wine. Setelah hampir satu jam menangis dan sesenggukan, akhirnya Rina tertidur di atas tubuh Tera.
Aku meminta Ibla mengurus jenazah Tera. Tidak perlu melakukan autopsi. Cukup diletakkan di kamar jenazah sampai Rina siap untuk menguburkannya.
Dari informasi yang Ibla dapatkan, seharusnya, Tera sudah tewas ketika petang datang. Namun, Tera bisa terus melawan bahkan memperpanjang hidupnya hingga beberapa jam untuk meminta tolong padaku.
Aku bersyukur bisa memaksa Tera untuk menjalani momen akhir hidup bersama kakaknya.
Sementara itu, aku menggendong Rina kembali ke atas kasur. Aku tidak akan melakukan apa-apa padanya. Aku hanya membiarkan Rina tidur di pelukanku sambil membelainya dengan lembut.
Saat ini, mungkin, kondisi Rina sama seperti aku saat mendengar kematian Tasha dan anak-anak panti asuhan. Terakhir, saat mendengar kematian Mari, aku juga merasakan hal ini. Tanpa kehadiran Emir dan Inanna, mungkin aku sudah kembali ke kebiasaan lama tidur di makam Tasha. Berkat Emir dan Inanna lah aku bisa menerima kematian Mari sedikit lebih baik.
Kalau saat ini aku membiarkan Rina tidur di kasurnya seorang diri begitu saja, aku khawatir dia akan mulai mengembangkan kebiasaan tidak normal, borderline gila, sepertiku. Karena itulah, saat ini, aku mencoba memberi kenyamanan dan ketenangan pada Rina, seperti yang telah dilakukan Inanna dan Emir padaku.
Dalam tidurnya, Rina masih menitikkan air mata dan memanggil-manggil Tera.
"Te...ra..."
Bersambung