Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Antagonis

BiruAbuabu
--
chs / week
--
NOT RATINGS
15.1k
Views
Synopsis
Cerita cewe remaja di penghujung masa SMA. Cerita biasa yang terjadi dikehidupan sehari-hari kita. Tentang harapan, tekanan, ambisi, cita-cita, pengorbanan, rahasia, dan keluarga. Tak lupa juga cinta. Di tulis atas dasar suka-suka. Berbagi cerita tentang sudut pandang manusia serta prasangkanya. Ini kisah-yang kata orang dijuluki- si Antagonis.
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

Apa yang kalian pikirkan bila mendengar kata 'model'? Cewe? Cowo? Kulit putih mulus? Cantik? Tampan rupawan? Makeup sana sini? Tinggi langsing? Stigma masyarakat terhadap seorang model memang seperti itu adanya. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Ada kok seorang model yang berkulit hitam legam hanya giginya saja yang putih bersih terlihat makin cantik dengan senyuman yang 'HARUS' ditampakan karena sang desainer yang menginginkannya. Dari senyum manis hingga senyum angkuh.

Namun sayangnya aku malah berada dalam kriteria stigma masyarakat. Semuanya ada dalam diriku. Kata orang aku cantik. Oke. Tinggi semampai, dengan berat badan ideal. Bulu mata lentik, bibir merah alami, alis yang melengkung pas tanpa cukuran serta bentuk wajah yang tercetak apik. Setiap orang yang melihatku pertama kali tidak kedip setidaknya minimal 10 detik dan selalu berdecak kagum. Walau sebenarnya aku risih. Banyak orang berkomentar yang menandakan mereka iri padaku. Yahh.. katakanlah aku memiliki body goal yang selalu diidamkan banyak perempuan di dunia.

Sayangnya lagi, semua stigma body goal yang dianugerahkan padaku itu tidak terasa menyenangkan bagi diriku sendiri. Bukanya tidak bersyukur dengan kelebihan itu. Tapi, kadang itu membuatku muak. Benar-benar muak. Dan kalaupun bisa, dan boleh, aku ingin menyerahkan semua anugerah itu pada oranglain, diganti dengan segala hal yang mereka anggap biasa-biasa saja. Sehingga hidupku tentram apa adanya.

Semua melihatku hanya lewat fisik. Semua melihatku dengan embel-embel keluarga kaya, pasti bisa perawatan karena punya biaya. Semua melihatku berjalan di catwalk dengan senyum angkuhku, dan hanya karena itu seketika juga aku dicap sombong. Dicap sebagai orang kasta atas yang tidak mungkin mau bergaul dengan kasta bawah. Dicap sebagai orang yang hanya tinggal memanggil pelayan dan seketika keinginanya tersedia. Tanpa perlu usaha. Semua terasa begitu sempurna. Dan banyak orang yang menginginkannya.

Sialnya lagi malah aku yang memiliki semuanya. Padahal nyatanya aku tidak menginginkannya.

"Sya, udah siap?" ucapan seseorang menyadarkanku dari monolog otakku.

Seorang wanita cantik berbalut rok rempel setengah betis terlihat melongokkan kepalanya ke ruang rias. Dengan segera sang penata rias menyemprotkan sesuatu kewajahku, menyelesaikan tugasnya. Sambil berjalan masuk memasuki ruangan, wanita itu mengamati riasan dan pakaian yang kukenakan. Menilai seluruhnya dan tersenyum puas karena sesuai dengan keinginannya.

"Udah siap, Bu" penata rias yang mendandaniku menjawab dan mohon undur diri. Wanita itu mengangguk dan mengucap terima kasih. Nah, sekarang tinggal aku dan wanita itu yang berada di ruangan ini.

"Kamu cantik, Dek" Wanita itu, yang pada kenyataannya adalah ibuku, berdiri dibelakangku sambil menatap pantulan wajahku di kaca depan. Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya. Karena selalu begitu. Selalu, setelah penata rias mendandaniku. Memandangku sambil memegang kedua pundakku. Mengamati sambil tersenyum lebar menandakan puas pada seluruh tampilanku. Walau pernah suatu kali tatapan wajahnya sendu, sorot matanya sayu, menandakan ada kecemasan. Namun nyatanya senyum lebar itu menutupi seluruh kecemasan yang ada diikuti kalimat yang selalu diucapkan bagai mantra.

"Udah siap kan? Seperti biasa ya, senyum secukupnya, pandangan lurus kedepan, langkah kaki menghentak yakin ..."

".. dan tinggikan kepala" lanjutku sambil berdiri dari tempat duduk.

"Nah sip. Oke, Mama tunggu kamu. Nanti Mama liat dari atas" Mama menepuk pundakku ringan lalu keluar dari ruangan. Menuju lantai atas untuk bersiap melihat penampilanku kali ini. Seperti biasa. Berlalu meninggalkanku di ruangan ini.

Ya, seperti biasanya.

Aku pun berjalan keluar ruangan, belok kiri berlawanan arah dengan Mama yang belok kanan naik tangga. Kakiku melangkah menuju aula yang sudah ditata sedemikian rupa. Dilorong tampak model-model lain yang duduk sambil mengobrol dan tertawa. Bercerita bahwa sudah lega telah melewati catwalk dengan baik.

"Ya ampun, heelsnya tinggi banget.. hampir aja jatuh" kata seseorang dari mereka

"Malu dong..." Sahut yang lain.

"Iya, malu-maluin Bu Tara! hahaha" mereka lalu tertawa bersama dan seketika diam saat aku berjalan melewati mereka. Ada yang mengangguk sambil tersenyum canggung melihatku, ada pula yang menyemangatiku. Dan tentu saja, ada yang mengalihkan pandangan memutar bola matanya seakan tidak melihatku.

Aku mengangguk sekilas membalas senyuman dan kalimat penyemangat itu. Tanpa peduli tatapan sinis atau merendahkan itu. Seperti aku peduli saja! Kakiku masih terus melangkah yakin, seakan lorong itu adalah catwalk. Jalan lurus lalu belok ke kanan menuju belakang panggung catwalk. Bersiap menunggu MC berbicara tanda aku bisa mulai masuk panggung.

Tampak seseorang memberikan kode kecil pada MC bahwa aku sudah berdiri siap dibelakang panggung. Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Bukan karena grogi atau apa, namun karena aku harus bersiap memasang ekspresi yang Mama inginkan. Ekspresi yang membuat semua berdecak kagum sekaligus merendahkan. Ekspresi yang bukan dari diriku sendiri.

"Dannn... Inilah maskot utama kita, yang spesial dan istimewa serta bintangnya. Mari kita sambutt...." Suara MC terdengar lantang sambil menyebut namaku, membuat seluruh penonton semakin penasaran akan seperti apa busana rancangan utama sang desainer. Tepuk tangan riuh siap menyambutku. Seakan aku ditunggu dan diharapkan. Walau kenyataannya tidak begitu, masih ada yang terus merendahkanku. Seperti model di lorong tadi contohnya.

Yah, inilah aku. Pemeran cerita yang tidak diinginkan. Pemeran cerita yang tidak diharapkan. Pemeran yang dihindari agar tidak terkena sial. Pemeran yang dicaci maki dan banyak cap jelek disana sini.

Aku, si pemeran antagonis.

Dan ini adalah kisahku.