Chereads / Antagonis / Chapter 2 - 1. Dijodohkan?

Chapter 2 - 1. Dijodohkan?

Tepuk tangan riuh masih terdengar dari aula setelah aku selesai berlenggak-lenggok di catwalk. Dibelakang panggung aku meminum air mineral dari botol. Sambil melepas dahaga, aku memperhatikan sekitar. Melihat para karyawan yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Selamat ya mba.. tadi penampilannya bagus banget. Seperti biasa" Mba Dila, salah satu pegawai Mama, mengacungkan kedua jempolnya padaku. Aku hanya tersenyum sekilas. Mba Dila lalu memberikanku sebungkus roti yang langsung kuterima senang.

'Tau aja aku laper mbaa.. thanks God!' batinku

"Makasih Mba Dil" kataku sambil membuka bungkus roti isi itu dan mulai menikmatinya.

"Iya mba, sama-sama. Tadi Bu Tara yang nitip. Katanya kalau udah dimakan nanti disuruh nyusul kedepan lagi ya" kalimat Mba Dila menurunkan nafsu makanku. Terdengar Mba Dila pamit pergi akan mengurus urusan dibelakang panggung sebentar. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Selesai makan roti, aku berjalan menuju aula. Melewati jalur samping. Itu berarti aku kembali melewati lorong lagi.

"Udah ditunggu Bu Tara didepan, Mba" ucap salah satu pegawai Mama saat aku berjalan di lorong menuju aula. Aku mengangguk sambil terus berjalan. Terdengar bisik-bisik setan di depanku. Beberapa langkah lagi aku mungkin melewati mereka. Huh dasar tukang gibah!

"Yang spesial dan istimewa serta bintangnya. Mari kita sambutt...." Ucap salah seorang memulai gibahannya.

"Iyalah spesial. Jadi maskotnya lagi! Kalau bukan karna anak Bu Tara aja ya ngga mungkin lahh!" Bisik yang lain. Oh bukan bisikan, aku kan bisa mendengarnya.

Terdengar mereka tertawa, menggema memenuhi lorong yang mulai sepi karena orang-orang sedang sibuk di lain tempat. Apa mereka tidak memiliki kerjaan lain selain menggibah di sepanjang lorong? Ah, aku si cuek, biasa dengan kebiasaan mereka ini. Namun saat aku hampir melewati depan mereka. Tiara, salah satu model yang selalu cari gara-gara denganku berkata.

"Wah, mau kemana Nona? Bertemu para penggemar, huh?" Ledeknya. Teman-temannya yang lain tertawa mendengar olokan itu. Sebenarnya aku sedang malas menanggapi ocehan Tiara. Tapi kalimatnya selanjutnya membuat telingaku terasa panas.

"Kalau bukan karena Mama lo, ngga mungkinlah lo ada disini! Dasar buntut! Kemana-mana ikut" katanya tajam. Tiba-tiba kakinya menjulur kedepan jalan. Kalau bukan karena reflekku yang baik, mungkin aku bisa tersungkur kedepan.

Kuberhentikan langkah kakiku tepat di depan para penggibah ini, dan membalas perkataan Tiara, "Kalau lo iri bilang aja kali! Ngga usah ngomongin dibelakang!!" Posisiku yang berdiri sedangkan Tiara yang duduk seakan aku mengintimidasinya. Belum puas hanya dengan mengatakan itu, aku menambahkan lagi,

"Kalau bukan karena kasihan sama lo, nyokap gue juga ngga bakalan nerima lo jadi model disini!" Tusukku tajam. Sedangkan Tiara hanya menaikan sebelah alisnya sombong seakan berkata 'Hah?! Kasian? Nyokap lo yang kagum sama balat modeling gue!' Tapi sebelum dia membala perkataanku, aku menambahkan untuk terakhir kalinya.

"Jangan lo kira nyokap gue kagum sama lo! Cuman perawan tua aja belagu amat! Sok cantik padahal udah mulai keriputan! Kasian banget deh lo!" Kulihat wajahnya agak terkejut ketika aku mengatakannya sambil menunjuk persis dimukanya dengan telunjuk kananku. Rasain tuh!

Dan dengan 'bonus spesial', aku melangkahkan kaki pergi menjauh dari Tiara dan mulut busuknya setelah tak 'sengaja' menginjak kakinya dengan wedgesku.

"Arrrgghhh..." Teriaknya sambil memegang kakinya yang kuinjak.

"Kalau punya kaki tu dijaga! Jangan ditaruh di jalan! Dasar bodoh!" Aku tersenyum senang bisa membalasnya berkali lipat. Terdengar Tiara hanya bisa mengumpatku tanpa membalas lagi karena aku sudah menjauh darinya.

Inginku sebenernya menjambaknya juga. Oh jangan, mungkin memukul mulut atau kepalanya lebih pas. Seenak jidat aja mereka mengolokku. Namun dengan sadar diri, aku tetap berjalan menghampiri Mama yang sudah diserbu banyak orang daripada meladeni omongan gibah dibelakang.

"Wah Mba.. Putrinya cantik banget tadi. Gaunnya yang dipakai juga apikkk" Mama hanya tersenyum menanggapi dan sesekali tertawa kecil. Sebenarnya suara-suara pujian itu sudah ratusan kali kudengar, namun setiap saar terasa seperti pertama kali mendengarnya. Begitu aneh di telinga.

"Dimana sih sekarang?" Tanya salah satu dari ibu-ibu sosialita yang mengerubungi Mamaku. Tampak beberapa dari mereka celingukan mencariku. Dan ketika salah satu mereka menemukanku dan menunjukku, semua pandangan itu mengarah padaku.

Satu

Dua

Tiga

Empat

Lima

Enam

"Nahh.. ini dia anaknya" Ternyata mereka tak berkedip selama enam detik ketika menatapku, atau gaun rancangan Mamaku barangkali.

Aku tersenyum tipis, mengatur ekspresi yang semestinya harus ditampakan sambil mensejajarkan diri di samping Mama. Para ibu sosialita itu tampak ingin sekali menyentuh gaun yang sedang kukenakan ini. Mengamati potongan gaun yang memperlihatkan pundak kananku dan seluruh lenganku. Sebenarnya aku menyukai gaun marroon ini, tapi kulitku yang terlalu banyak terekspos membuatku sedikit tidak nyaman. Apalagi panjangnya hanya ada persis diatas lutut.

"Wahhhh.. cantik banget kamu, Sya" puji salah satu dari para ibu sosialita itu. Coba kuingat, kalau tidak salah itu Tante Ina, salah satu teman sekaligus pembeli tetap butik Mama.

"Makasih, Tante Ina" jawabku sambil menyunggingkan senyum.

"Kamu sekarang usianya berapa, sih, Sya?" Waduh, ini kenapa malah nanyain umur sih? Ngga enak banget. Kenapa perasaanku aneh gini jadinya.

"Emmm.. akhir tahun ini delapan belas, Tante" sedikit was-was sebenernya kalau Tante Ina menanyakan sesuatu. Mama memegang pundakku pelan, menatapku dengan tatapan yang... Entahlah aku tidak bisa membacanya saat ini. Aku memikirkan apa kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Ibu Sosialita tingkat dewa yang ada didepanku dan Mama.

"Wah, berarti empat atau lima tahun lagi setelah lulus kuliah bisa nikah dong"

Aku mengepalkan tanganku. Oke. Aku sedikit terkejut. Benar juga sih, tapi sayangnya aku belum memikirkan menikah. Aku bahkan masih SMA! Belum lulus pula! Catat! Belum lulus!

Mama mengerutkan dahinya tanda bingung arah pembicaraan yang dimaksud Tante Ina. Sedangkan Tante Ina malah tertawa kencang seakan apa yang ada dipikirannya adalah sesuatu yang lucu dan menyenangkan. Setelah meredakan tawanya, Tante Ina melanjutkan kalimatnya seakan itu adalah tawaran yang bagus. Tapi tidak bagiku, seakan ada yang menamparkan sandal jepit merek milik seluruh kasta di Indonesia ke wajahku. Kalimat Tante Ina seakan memberhentikan detak jantungku.

"Bisa lho, Ra, kita jodohin anak kita. Anakmu cewe, anakku cowo" Mama melotot kaget menatap Tante Ina. Tangannya yang tadinya merangkul pundakku turun disamping badannya bersentuhan dengan kepalan tanganku yang semakin kuat. Terlihat Mama benar-benar terkejut dengan usulan gila Tante Ina walau kemudian senyuman tersungging indah di bibir merahnya. Kemudian terlihat Mama tertawa, seakan bahagia mendengar ide konyol tersebut. Raut wajahnya terlihat jenaka. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali melihat Mama tertawa lepas seperti sekarang. Seakan beban yang dipikulnya hilang seketika.

Oh astaga! Jangan bilang Mama menyetuinya.