Chereads / Antagonis / Chapter 3 - 2. Dijodohkan? (part 2)

Chapter 3 - 2. Dijodohkan? (part 2)

Oh astaga! Jangan bilang Mama menyetuinya.

Dilihat dari raut wajah sesenang itu, biasanya Mama akan menyetujui perkataan lawan bicaranya seperti ketika menyetujui klien yang minta potongan harga atas pakaian yang telah didesain karena sebuah pujian manis klien. Mama meredakan tawa riangnya. Sedangkan kepalan tanganku semakin kuat menahan amarah. Walau nyatanya senyum manis tetap kupertahankan agar masih tersungging di bibirku. Menghormati Mama yang telah belasan tahun menghidupiku sendiri. Tidak mungkin aku langsung marah-marah mengatakan itu ide konyol di zaman modern ini. Setelah usaha keras Mama untuk menghidupi hidupku hingga sebesar ini dengan usaha butiknya yang sesukses ini, setidaknya menjadi anak berbakti dan menuruti semua keinginan Mama adalah hal yang pantas untuk dilakukan. Tapi, perkara jodoh ini....

Sebelum sempat mengomel dalam monolog batinku, jawaban Mama sungguh diluar perkiraanku. Kukira Mama akan bilang, 'Wah, ide bagus! Aku setuju'. Tapi kalimat yang diucapkannya sungguh berbeda.

"Ngga usah dijodohkan lah... Lagian Tasya juga masih SMA, belum kepingin nikah..." karena kalimat Mama, aku menjadi sedikit lebih lega. Tapi tidak biasanya Mamaku yang hampir selalu setuju dengan usulan-usulan Tante Ina, kali ini bahkan tanpa tedeng aling-aling, tanpa ragu langsung tidak setuju begitu saja. Ini Tante Ina! Yang ceriwisnya minta ampun. Seperti sales yang menawarkan produknya. Aku sih tidak mempermasalahkannya, yang penting selamat dari korban perjodohan. Tak terbanyangkan bila kehidupan rumah tanggaku nantinya malah tidak harmonis. Duh amit-amit deh. Kasian deh buat mereka yang jadi korban perjodohan orangtuanya. Tapi kalau tidak menuruti kedua orangtuanya bisa-bisa malah kualat. Seperti Tiara yang sudah hampir 28 tahun tapi belum menikah karena menolak dijodohkan oleh orangtuanya saat usia 22 tahun. Duhh.. amit-amit deh kalau kualat sama orangtua.

"Tapi nanti kalau ternyata jodoh, ngga masalah kan, lagian mereka kan satu sekolah juga" tampak jelas Tante Ina masih semangat untuk menjodohkan anaknya denganku.

"Wah, jadinya cocok dong, anaknya Jeng Ina kan cakep tuh, Jeng" seorang ibu-ibu mencolek pundak Mamaku memberikan dukungan pada usulan Tante Ina.

"Iya, Tasya juga cantik banget ini.. Nanti anaknya pasti menggemaskan banget" seru yang lain.

"Wah Jeng Tara ini punya anak cantik lainnya ngga sih? Bisa juga dijodohkan dengan anakku" lalu mereka para ibu sosialita itu tertawa. Seakan masalah perjodohan ini adalah hal yang menyenangkan untuk dibahas.

"Nanti kalau ngga bisa dijodohkan dengan Tasya, mungkin bisa sama anaknya Tasya. Kita bisa besanan lewat cucu kita nanti" kata salah seorang ibu-ibu yang memakai anting sepanjang pundak.

Oh myyyy.. aku melirik ke kiri dan ke kanan berharap menemukan siapapun yang mungkin bisa kuhampiri untuk segera menyingkir dari sini. Aku tidak tahan obrolan ini. Yang benar saja, tidak anaknya, cucunya mau dijodohkan. Aku bahkan belum lulus SMA!

Harapanku terkabul. Tidak perlu aku yang pergi menghampiri, sosok itu menghampiri kami. Lebih tepatnya menghampiriku dan Mama.

"Permisi Bu Tara" katanya sambil berdeham pelan dan mengucap salam.

"Eh, ada Bang Daren. Selamat malam, Bang" ucapan salam Tante Ina membuat lainya menoleh pada laki-laki muda yang menggunakan topi dan kemeja yang dilipat sampai sikunya.

Dilehernya menggantung sebuah kamera sebagai ciri khasnya.

"Selamat malam, Tante Ina dan semuanya" Bang Daren mengangguk santun pada ibu-ibu sosialita ini.

"Wah, makin cakep aja, Bang" kata salah seorang yang mengenakan dress batik sepanjang lutut.

"Atau anakku yang cewe aja ya yang kujodohkan sama Bang Daren ini? Udah mapan, cakep lagi!" Ucapan Tante Ina mengundang tawa lainya termasuk aku.

Lihatlah, ekspresi Bang Daren seperti siswa yang salah seragam di hari Senin. Bingung sekaligus malu.

"Kamu bisa aja, Na. Kalau anak gadismu ngga mau kan kasihan" balas Mamaku. Tampaknya Mama memang tidak ada niatan menjodohkan anaknya seperti Tante Ina. Leganya hatiku

"Duh, ngga asik nih Tara!" Terlihat Tante Ina mencebikkan mulutnya tanda tak suka. Kenapa suka sekali menjodohkan anak-anaknya sih?! Sedangkan Mama hanya tersenyum saja. Lalu beberapa teman-teman Mama, para ibu sosialita ini, mengucap salam dan mohon undur diri pamit untuk pulang. Mama pun mengangguk dan balas salam. Tak lupa tradisi para mama yang entah dari kapan itu dimulai. Cipika cipiki. Cium pipi kanan, cium pipi kiri. Aku sebenarnya hanya ingin mencium tangan saja, seperti pada bapak ibu guru di sekolah. Namun sayangnya gerakan kepala para tante ini secepat mulut Tante Ina ketika bicara.

Pluk pluk. Pipiku dan pipi teman-teman Mama saling bersentuhan. Aneh rasanya.

"Wah ada apa nih, Bang" tanya Mamaku ketika teman-temannya sudah berlalu pergi meninggalkan kami berlima yang tersisa. Aku, Bang Daren, Mama, dan Tante Ina.

Terdengar Bang Daren berdeham pelan sambil mencari ponselnya yang tersimpan di saku lalu menjawab, "Seperti janjian minggu lalu, Bu. Saya ingin wawancara singkat"

"Oh, iya, maaf Tante lupa!" Mama menepuk kepalanya pelan.

Duh, Mama ini kalau sudah sibuk mempersiapkan acara fashion show rancangan bajunya pasti lupa dengan janji lainnya.

"Iya, mohon maaf sebelumnya, sebenarnya Pak Wahyu ingin langsung bertemu dengan Bu Tara juga. Tapi barusan tiba-tiba ada keperluan mendadak" terang Bang Daren. Pak Wahyu adalah atasannya di kantor majalah tempatnya bekerja.

"Iya tidak apa-apa. Duh, maaf ya Bang Daren, Tante Tara lupa sama janjiannya. Pasti tadi nunggu lama karena kami ngobrol ya" Bang Daren hanya tersenyum dan menjawab bahwa itu bukan masalah besar. Yah, kadang sesama para ibu kalau sudah ketemu tidak bakal ada habisnya untuk mencari bahan obrolan. Terutama Tante Ina.

Dreett dreeettt... Terdapat dering ponsel Tante Ina.

"Halo... Oh iyaa, oke" Tante Ina menjawab telepon masuk itu sambil menjabat tangan Mama.

"Aku duluan ya Ra, udah di jemput suami tercinta nih" sambil mencipika-cipiki pipi Mama, Tante Ina masih menggenggam ponselnya, tanda panggilan belum terputus. Lalu ia meraih kedua pundakku kemudian mengulangi cipika-cipikinya dengan pipiku sebagai korbannya.

"Eh, Bang Daren mau di cipika-cipiki juga ngga nih" ucap Tante Ina sambil mulai mendekat pada Bang Daren. Sedangkan Bang Daren tampak sedikit terkejut dan hanya bisa tersenyum aneh. Lucu sekali wajahnya.

"Mihhhh...." Terdengar teguran dari ponsel Tante Ina.

"Iya, Pih, engga kok hihihi" Astaga Tante Ina kadang mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. Sambil melangkah menuju pintu keluar, Tante Ina melambaikan tangannya pada kami.

"Dadahhh... Duluan yaaa"

Tampak Bang Daren lega tidak benar-benar dicipika-cipiki oleh Tante Ina. Didepan umum lagi. Mau ditaruh mana wajahnya. Lelaki usia 25 tahunan yang di sun tante girang seperti Tante Ina. Memalukan! Mungkin kalau aku lelaki, aku akan langsung tegas menolaknya. Bang Daren bisa jadi mencoba menjaga sikapnya pada teman-teman Mama. Mungkin saja kan.

Begitu Tante Ina pergi. Pulang karena sudah dijemput oleh suami tercintanya, aku baru benar-benar lega. Setidaknya ide perjodohan itu sudah kelar tidak akan berlanjut lagi.

Nah, sekarang aku melirik kesamping melihat Bang Daren. Ada keperluan apa kali ini? Tiba-tiba muncul begitu saja setelah tidak pernah bersua entah sudah berapa bulan.

"Errgghemmmm...." dehamanku membuat Bang Daren menoleh. Cengirannya masih sama seperti waktu dulu. Khas sekali. Tetap menyebalkan. Tapi itu hanya sebentar ketika dia berkata, memulai keperluan utamanya datang menemui kami. Mama, sih utamanya.

"Bu Tara..." ucapnya memulai percakapan. Mama menoleh terseyum menanggapi Bang Daren.

Nah, sekarang apa? Masih jaga image? Padahal teman-teman Mama sudah pulang semua. Dan tadi apa? 'Bu'? Idihhh... Kenapa sejak tadi formal terus, sih sapaannya?