"Nah, Bang Daren mau ngobrolin apa nih?" Tanya Mama setelah menyesap pelan kopi susunya.
Kami bertiga duduk di kursi pojok aula setelah Tante Ina dan teman-teman Mama lainya benar benar susah pamit pulang. Di aula tinggal kami bertiga dan para kru yang bertugas membereskan kursi-kursi serta hiasan lainya. Entah para model yang tadi mengobrol di lorong pergi kemana. Mungkin setelah membersihkan riasan dan ganti pakaian, mereka pulang ke rumah masing-masing. Kulirik jam yang melingkar di tangan Bang Daren. Pukul 22.22 WIB. Oke. Semoga wawancara ini tidak lama. Karena aku mulai mengantuk dan ingin segera membersihkan diri. Gaun ini terasa aneh melekat di tubuhku yang terasa lengket. Terasa mulai panas dan tidak nyaman secara bersamaan. Padahal aula ini memiliki AC yang cukup.
Bang Daren mulai menanyakan beberapa pertanyaan dan Mama menjawab seperlunya. Tentang ide pakaian rancangan, berapa waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan acara fashion show ini, apakah ada rencana untuk membuka butik lagi di kota lain, hingga pertanyaan tidak penting seperti makanan kesukaan Mama. Itu kan tidak termasuk konten pekerjaan Mama sebagai desainer. Itu ranah pribadi, bos!
"Kalau begitu, sekiranya akan membuka butik lagi. Kota mana yang akan menjadi sasaran Bu Tara?" Pertanyaan itu cukup menarik perhatianku. Aku juga menunggu jawaban Mama seperti Bang Daren.
Mama tersenyum lalu menoleh padaku. Aku menaikan alis. Bingung.
"Belum sepenuhnya direncanakan sih. Tahun depan Tasya masuk kuliah, sekarang juga mulai sibuk persiapan Ujian Nasional. Tentu perlu mempertimbangkan waktu dan biaya yang dibutuhkan, kan" jawaban Mama membuat Bang Daren mengangguk-angguk paham.
"Tasya, sekarang udah kelas dua belas ya. Ngga kerasa ya udah gede" Aku memutar bola mataku jengah.
"Bang Daren tuh, santai dikit kenapa sih. Formal banget dari tadi" sungutku kesal. Mama malah tertawa.
"Iya, nih. Biasa aja ngga papa kok, Bang. Jangan panggil Ibu gitu lah. Tante Tara aja seperti biasanya" Bang Daren hanya tersenyum canggung. Dasar sok jaga image! Biasanya juga lo-gue kalau hanya berdua denganku ketika pemotretan. Bang Daren ini adalah fotografer freelance yang pernah juga bekerja dengan Mama beberapa tahun lalu. Namun sekarang sudah dikontrak tetap dengan Om Wahyu, teman Mama. Walau sesekali juga masih mau freelance untuk membantu Mama memotret hasil pakaian hasil rancangan Mama dengan aku sebagai model pakaiannya.
"Eh, maaf Bu, eh Tante.. udah lama engga ketemu" kata Bang Daren sambil menggaruk tengkuknya.
"Halah! Sok banget sih, Bang" kataku sambil memukul lengannya. Bang Daren meringis kesakitan. Rasain tuh!
"Ya kan udah empat bulan lebih ngga ketemu, Sya" ucap Bang Daren beralasan.
"Makanya sering-sering ke Jogja dong! Sombong banget udah dapet kerja tetap di Jakarta jadi jarang traveling lagi! Huh!" kataku sambil memelototi Bang Daren yang mengelus lengannya. Sesakit itukah pukulanku? Padahal seingatku aku hanya memukul pelan saja.
"Yah, namanya juga kerjaan, Sya"
"Halah! Alesan terus dari tadi" tanganku sudah akan melayang lagi untuk memukul lengan Bang Daren, terdengar suara Mama menegurku.
"Deeekkkkk...." Intonasi Mama naik sedikit. Tangannya menyilang di depan dada dan tatapannya menatap wajahku. Tanda peringatan satu. Oke, aku ngalah.
"Iya, Mah" jawabku menandakan ingat kalimat-kalimat 'bijak' Mama untuk tetap bisa menjaga sikap sopan santun pada orang yang lebih tua. Kadang kalimat bijak yang disebut nasehat oleh Mama lebih terdengar seperti omelan panjang di telingaku.
"Oiya, Tante. Sekalian mau nyampaikan pesan Pak Wahyu nih," terdengar Bang Daren mencoba mencairkan suasana antaraku dengan Mama, "Mungkin sekitar bulan desember nanti, rubrik 'tokoh inspiratif' akan diisi dengan biodata remaja-remaja yang sekiranya memiliki prestasi yang membanggakan. Nah, Pak Wahyu menawarkan isi rubrik itu nanti di isi biografi Tasya"
Aku menoleh pada Mama. Menunggu jawabannya dulu. Kalau aku sih malah senang bisa masuk majalah remaja yang populer ini. Setidaknya untuk membuktikan pada Tiara dan kawan-kawannya kalau aku bisa berprestasi dan diakui orang lain.
"Jadi, untuk akhir tahun ini ya?" Tanya Mama
"Iya, Tante, rencananya nanti yang dibahas tentang prestasi Tasya di dunia modeling sih. Mungkin bisa tuh ditambah kegiatan lain atau prestasi lain yang dicapai Tasya selain jalan di catwalknya Tante Tara" Bang Daren melirik sedikit padaku. Mengejek. Aku tau maksudnya! Bang Daren ini tau masalahku dengan Tiara si kampret itu. Aku hanya melotot tajam padanya.
"Nanti proses wawancara atau pemotretannya gimana, Bang? Kelihatannya Tasya makin sibuk sekolahnya, ngga bisa selalu ke Jakarta. Dulu sih enak ada Bang Daren yang langsung bisa ke rumah" Mama kelihatanya masih mempertimbangkan ini itu. Karena sebelumnya aku sudah sering masuk majalah Pak Wahyu tapi hanya dibagian model pakaian saja, belum pernah masuk rubrik. Apalagi dulu Bang Daren juga masih fleksibel melakukan pemotretan keliling pulau Jawa. Namun setelah menjadi fotografer tetap di majalahnya, Bang Daren seakan menjadi fotografer senior utama di tempat kerjanya yang menuntutnya harus dekat dengan kantor. Artinya menetap di Jakarta, tidak ada lagi keliling traveling kesana kemari.
"Itu sudah diatur kok, Tante. Besok bakal ada reporter sekaligus fotografer yang nyamperin Tasya di Jogja" Bang Daren menjawab pertanyaan Mama lalu menoleh padaku sambil menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar. Aku hanya menaikan satu alis.
"Oh, bagus deh kalau gitu" jawab Mama
"Jadi?" Bang Daren memastikan
"Tante terserah sama Tasyanya aja, deh. Gimana, dek?" Mama menoleh padaku meminta jawaban.
"Boleh aja, Ma. Yang penting ngga perlu ke Jakarta lagi"
"Oke. Berarti fix ya, Sya. Tenang aja, besok reporter yang dikirim Pak Wahyu asik kok, ngga boring" aku hanya memutar bola mataku.
"Terserah. Yang penting jangan yang kaku. Tanya jawab formal banget kek Bang Daren. Apaan tuh" dengusku sengit. Bang Daren hanya tertawa ringan. Kemudian Bang Daren menoleh pada Mama lagi. Menutup wawancara dan obrolan kami serta mengucap terimakasih atas waktunya. Mama menjawab seperlunya saja dan menjabat tangan Bang Daren.
"Yaudah, Daren pamit pulang dulu ya, Tante" kata Bang Daren setelah kami bertiga berdiri dan saling jabat tangan satu sama lain. Mama menjawab dengan menggangguk dan mengucapkan untuk hati-hati di jalan. Bang Daren balas menggangguk mengiyakan lalu bersiap untuk keluar ruangan. Mama pun juga sudah berbalik mulai berjalan menuju ruang rias tadi. Aku mengikuti di belakang. Namun saat baru dua langkah pundakku terasa di tepuk seseorang dari belakang.
Saat aku menoleh, terdengar si penepuk berkata.
"Duluan ya, Sya. Lo kalau kangen sama gue ngga perlu marah-marah kayak tadi kali" katanya sambil setengah berbisik agar tidak terdengar oranglain.
"Ihh.. apaan sih, kalau mau pulang ya pulang aja, ngga usah nepuk-nepuk pundak gue! Udah sana pulang, jangan deket-deket!" Sungutku sambil berdecak kesal. Justru Bang Daren malah melangkah mendekat.
"Lo ngomong gitu malah ngebuktiin kalau kangen sama gue," Aku tambah memelototinya, "kayak orang LDR ya kita tuh" tambahnya sambil tertawa kecil. Dan ketika dia akan berkata sesuatu lagi, kakiku sudah bergerak menginjak kaki kanannya.
"Awwww!" Teriaknya tertahan
"Rasain tuh! Kalau ngomong dijaga tuh mulutnya!" Ketika aku ingin menambahkan memukul lengannya, Bang Daren lebih dulu menghindar. Karena kesal aku menghentakan kakiku ke lantai dan berkacak pinggang, "udah sana pulang"
"Oke. Dadah" saat kukira dia berbalik keluar aula, ternyata Bang Daren malah maju mengacak rambutku kasar, "Kalau kangen bisa telpon, jangan kayak orang ngga punya kuota" kalimatnya dan tindakannya membuat kepalaku panas. Ketika tanganku akan kulayangkan memukul lengannya, aku baru sadar kalau Bang Daren sudah berbalik pergi dengan sedikit lari seakan tau responku
"Hiihhhhh! Bang Daren!!" Aku berteriak kesal saat melihatnya tertawa setelah berhasil kabur dari pukulanku.