Sepanjang 3 jam pelajaran, Tasia tidak pernah berhenti bergerak gelisah. Ia merasakan anak baru yang bernama Hadyan itu terus mengawasinya dari belakang.
Tata berkata, perasaan itu hanya ketakutan berlebih dan sugesti Tasia karena pertemuan pertamanya dengan Hadyan yang kurang menyenangkan sebelumnya. Namun, Tasia tidak dapat menahan hati dan otaknya untuk tidak gelisah.
"Rasanya aku pernah bertemu dengannya. Tapi aku tidak pernah. Tapi wajahnya familiar dan membuatku takut!" Bisik Tasia untuk kesekian kalinya, membuat telinga Tata menjadi panas.
"Itu. Hanya. Perasaanmu. Saja. Titik." Geram Tata.
Rrrrrrr!!
Bel tanda istirahat berbunyi. Setelah guru Bahasa Indonesia keluar kelas, seluruh murid mulai berhamburan keluar.
Tapi ada beberapa anak yang menyempatkan diri untuk menghampiri meja Hadyan si anak baru untuk sekedar berkenalan. Wajah tampan dan postur tubuh yang tinggi atletis menjadi salah satu alasan terbesar mereka berbondong-bondong mengerumuni pria itu.
"Ta, ayo kita ke kantin sekarang!" Tasia menarik lengan Tata yang belum rampung merapihkan buku dan isi kotak pensilnya yang masih berhamburan di meja.
"Tunggu sebentar, Tasia. Lagipula Marya dan anak-anak yang lain belum datang menjemput kita." Sahut Tata.
"Yasudah, kita saja yang menghampiri mereka untuk kali ini. 'Ya?" Bujuk Tasia dengan ikut membantu merapihkan buku-buku itu tergesa-gesa.
"Kau itu kenapa sih, Tasia?!" Tanpa sadar Tata menaikkan nada bicaranya. Tasia tersentak kaget dan mematung.
"Ma.. maaf" Gumam Tasia penuh sesal karena bersikap sangat kekanak-kanakan hingga sahabatnya yang mudah marah itu menjadi marah sungguhan.
"Hai, kalian tidak apa-apa?" Sapa Hadyan yang ternyata sudah berdiri di belakang Tasia.
Tasia tersontak dan membalik tubuhnya lalu tersenyum kaku. "Ya? Eh.. I-iya,"
"Aku kira kalian bertengkar? Suara kalian sampai menyita perhatian yang lain," Ujar Hadyan dengan senyum ramah.
Tasia sontak memandang sekeliling dan menyadari bahwa benar adanya mereka telah menjadi pusat perhatian. "Ah.. Sepertinya begitu. Maaf jika kami mengganggu. Itu semua salahku."
Hadyan tersenyum ramah. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Tasia."
"Ya, aku masih mengingat namamu 'Tasia'. Kita bertemu di komplek saat aku terjatuh dari sepeda motor. Aku harap kau masih mengingatnya." Lanjut Hadyan ketika melihat wajah Tasia yang tampak terkejut.
"Dan sejak kejadian itu, ia menjadi paranoid dan takut padamu. Aneh, bukan?" Sambar Tata, masih terlihat kesal.
Hadyan mengerutkan dahinya sambil tersenyum bingung. "Benarkah? Kenapa?"
Tiba-tiba, Hadyan menepuk pelan keningnya sendiri. "Ah, ngomong-ngomong, aku Hadyan." Ia menjulurkan tangan kanannya pada Tata.
Tata menjabat tangan itu lalu sedikit mengerutkan dahi. "Tata. Tasia berkata bahwa tanganmu dingin seperti hantu, dan ternyata itu memang benar."
"Haha.. Ya, banyak yang mengatakan hal yang sama kepadaku. Namun sebenarnya, aku memang memiliki suhu tubuh yang rendah. Karena itu, tangan dan kakiku selalu dingin dan aku mudah kedinginan juga. Itu adalah keturunan." Jelas Hadyan.
"Dan sahabatku yang menjengkelkan ini menjadi paranoid atas itu. Ia menganggap pertemuan kalian sangat aneh." Cibir gadis emosian itu sambil melirik sahabatnya.
"Bu.. bukan begitu. Aku hanya merasa, agak aneh. Mungkin karena saat itu aku kurang enak badan setelah pulang berlibur." Tasia gelagapan memberikan alasan karena tidak enak hati terhadap Hadyan.
"Jangan dipikirkan, Tasia. Jika bukan karena ban selip, mungkin kita tidak akan bertemu hari itu." Balas Hadyan dengan tenang.
"Nah, dengar itu, Tasia. Kau hanya paranoid tanpa alasan. Hadyan yang tidak tahu apa-apa malah menjadi korban. Aku yakin traumamu itu akan membaik jika tidak kau pikirkan terus menerus." Ujar Tata.
"Trauma?" Ulang Hadyan bingung.
"Jadi begini, Hadyan. Saat liburan kemarin, kami pergi ke pantai di daerah Jawa Timur dan saat bermain banana boat, aku tenggelam dan menghilang seharian. Saat terbangun, aku sudah berada di rumah sakit." Jelas Tasia pelan.
"Kami menemukannya terdampar di bibir pantai. Aku menganggap itu semua adalah keajaiban bahwa kami bisa menemukan Tasia dengan selamat. Kau tahu 'kan, keajaiban bisa hinggap di mana saja, siapa saja, dan kapan saja. Aneh memang, tapi di dunia ini masih banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat." Sambung Tata.
"Aku percaya atas keajaiban itu. Namun entah mengapa sejak kejadian itu, meski aku tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi, mengapa aku tenggelam, dan ke mana saja air membawaku seharian, aku sering merasa ketakutan tanpa sebab. Aku merasa seperti ada sesuatu yang buruk terjadi disaat aku menghilang. Itu semua mengganggu pikiranku dan membuatku trauma tanpa alasan." Jelas Tasia jujur.
Penjelasan itu membuat Hadyan menatapnya sendu. "Aku minta maaf."
Ucapan Hadyan membuat Tasia dan Tata saling menatap bingung.
"Kenapa kau harus minta maaf?" Tanya Tasia.
"Aku minta maaf atas trauma yang kau rasakan." Hadyan mengelak.
"Oh.. Itu bukan salahmu, Hadyan. Aku tahu kau berusaha ramah. Tapi sungguh kau tidak perlu sampai meminta maaf atas ceritaku ini." Tawa Tasia, diikuti anggukan Tata yang membenarkan.
"Maksudku, maaf jika aku sudah mengingatkanmu atas apa yang terjadi saat liburan itu." Balas Hadyan.
"Tidak apa, Hadyan." Tasia menggeleng.
"Hm.. Apa mungkin kau mau ikut kami makan di kantin?" Tanya Tata, mengingat siswa tinggi di hadapannya adalah murid baru. Pasti ia belum memiliki teman akrab.
"Tentu." Angguk Hadyan ramah.
"Ta! Kenapa kau malah mengajaknya bersama kita?" Bisik Tasia sebal.
"Loh? Memangnya kenapa? Bukankah semuanya sudah jelas sekarang? Kau itu kenapa, sih?" Tanya Tata seraya melirik-lirik ke belakang, di mana Hadyan tengah melangkah mengekori mereka.
"Tapi tetap saja, Ta. Aku itu merasa terganggu olehnya. Aku rasa ia bukan orang baik."
"Hah. Sudahlah, Tasia! Kau itu terlalu paranoid. Semakin hari rasa paranoidmu itu bertambah parah! Dulu hanya terhadap hantu, namun sekarang, manusia tidak bersalah seperti Hadyan juga menjadi sasaranmu!" Omel Tata hingga Tasia tidak lagi menjawab.
'Tata benar. Sebenarnya apa yang salah denganku? Kenapa perasaanku selalu tidak nyaman bila berdekatan dengan Hadyan? Ia tidak salah apa-apa. Bahkan Hadyan itu ramah dan baik. Aku ini aneh!' Pikir Tasia.
***
"Jadi kau anak baru, yah? Kau pindahan dari mana?" Tanya Mark setelah Tata memperkenalkan anak baru itu pada teman-teman setongkrongannya.
"Sebelumnya aku tinggal bersama nenenkku di Jawa Timur. Lalu karena ia sudah meninggal, aku kembali ke rumah orangtuaku di sini." Jawab Hadyan.
"Nenekmu baru saja meninggal? Aku turut berduka. Yang sabar yah.." Ucap Mark.
"Jawa Timur, ya? Kemarin kami baru saja berlibur ke sana. Pantai Slamaran. Kau tahu?" Sela Patra dari belakang. Ia baru saja menyelesaikan tugasnya yang tertinggal dan mengejar mereka menuju kantin.
"Aku tahu," Hadyan mengangguk.
"Ohya!" Patra menjulurkan tangan kanannya. "Salam kenal. Aku Patra!"
Hadyan mengerutkan dahinya namun tetap membalas salam itu. "Hadyan,"
"Dia aneh, ya? Semoga kau cepat terbiasa olehnya," Tawa Jordi, menyadari raut wajah terganggu itu.
"Hei.. Jangan dengarkan mereka, Hadyan. Mereka itu terlalu kaku!" Dengus Patra.
Hadyan hanya tersenyum kecut menanggapi kelakua para manusia yang aneh.
Setelah memilih meja makan yang cukup besar dan panjang untuk ditempati, mereka memesan makanan dan mulai bercengkarama. Kala itu, obrolan begitu menarik karena hadirnya seorang teman baru di tengah-tengah mereka.
"Kau itu tampan, loh, Hadyan. Aku rasa penggemarmu akan berjumlah seratus orang mulai hari ini." Puji Marya blak-blakan.
"Dasar perempuan genit," Gumam Mark.
"Tapi memang benar, 'kan? Daripada kau yang sok tampan, padahal tidak!" ledek Marya, diikuti tawa yang lain.
"Hey, Hadyan. Kau sudah tinggal lama di Jawa Timur, 'kan? Soal pantai Slamaran itu, apa cerita mistisnya sungguhan?" Tanya Patra.
"Hey, Patra!" Bentak Tata dengan diam-diam melirik Tasia untuk melihat bagaimana ekspresi gadis itu.
"Sedikit saja, Mami. Aku sangat penasaran." Mohon Patra.
"Ck! Jika nanti Tasia semakin paranoid, kau yang harus mengurusnya, yah!" Geram gadis itu, namun dianggap sebagai sebuah ijin oleh Patra.
Hadyan tersenyum geli menatap Tasia yang termanyun malu. "Jangan takut, Tasia. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi,"
"Ya ya.. Jadi, bagaimana?" Potong Patra tidak sabar.
"Hal itu benar. Ada sebuh kerajaan yang menguasai pantai sekaligus lautan itu. Kerajaan itu sangat kuat dan dipimpin oleh seorang pangeran dan dewi." Jelas Hadyan.
"Bagaimana soal berkeliaran di pantai sendirian pada malam hari?" tambah Mark, tidak dapat menahan ledakan rasa penasarannya.
"Saat langit gelap dan awan menutupi bintang-bintang. Jika ada yang berjalan di pantai seorang diri dalam keadaan itu, ia akan diculik ke dalam kerajaan goib dan dijadikan budak atau makanan." Ucap Hadyan.
"Nah! Aku sud.." Jeritan Patra terputus karena Hadyan melanjutkan bicaranya.
"Seseorang pernah menceritakan hal tersebut kepadaku. Aku selalu mengingatnya dan terbayang olehnya." Potong Hadyan sambil menatap Tasia tajam.
Tasia menyadari itu dan langsung menunduk tidak nyaman. Namun teman-teman yang lain tidak menyadari hal itu. Mereka terlalu fokus pada cerita Hadyan.
"Jadi maksudmu, kau tidak tahu mitos itu benar atau tidak?" Tanya Patra lagi.
"Jika aku menjadi pangeran itu, aku tidak akan menculik manusia untuk dijadikan budak, apalagi makanan. Mungkin aku akan mencari gadis cantik untuk menemaniku." Jawab Hadyan.
"Hahaha! Ternyata kau itu Play Boy juga!" Tawa Mark.
"Ya, wajar saja karena wajahmu tampan." Tambah Marya, masih menatap terpesona.
Tasia hanya tersenyum kecut. Ia suka bercanda dan mengobrol bersama. Namun kali ini, ia tidak bisa menahan degub aneh di jantung dan rasa tidak nyamannya.
'Apa aku terlalu berlebihan jika berpikir ia selalu tersenyum aneh padaku? Anak bernama Hadyan ini membuatku takut!' Pikir Tasia dalam hati.
"Hey, Tasia! Kenapa kau melamun saja dari tadi?!" Ujar Patra yang duduk berhadapan dengan Tasia dengan menjentikkan jarinya berkali-kali di depan wajah gadis bermata bulat itu.
"Eh? Aku sedikit ngantuk Haha.." Bohong Tasia.
"Nih.. Agar matamu segar!" Patra menyendok bubur ayam miliknya yang sudah dibumbui oleh banyak sambal dan lada. Itu adalah racikan bubur favoritnya.
"Tut! Tut! Tut!" Sambil menirukan suara kereta api, Patra mengayunkan sesendok bubur ke arah mulut Tasia yang terbuka bagai terowongan. Kebetulan, Tasia memang menyukai makanan pedas.
Klang!
Sebuah sendok melayang dan terpental ke lantai hingga menumpahkan isinya. Itu adalah sendok Patra yang sebelumnya hampir mencapai mulut Tasia.
Mereka semua terbelalak hingga mulut mereka menganga. Kemudian mata mereka memandang sendok besi naas yang terheletak di lantai kantin itu, lalu beralih kepada Hadyan yang tangan nya masih menggantung di udara.