Rangin tersenyum dan menepuk kasar bahu saudaranya yang berotot keras.
"Semoga berhasil," Ucapnya tulus, namun masih tedengar intonasi mengejek disana.
"Aku harap saranmu tidak salah, kak!" Adiknya membalas dengan nada mengancam.
Rangin menggeleng sambil tertawa. "Tentu saja ini saran terbaik!"
Lalu wajah dan suaranya berubah serius. Ia melanjutkan, "Tapi, ingat. Jika kau gagal sampai tandamu itu menyatu, maka kau harus menyerah dan meninggalkan gadis itu selamanya."
"Ya, aku tahu." Sahut Hadyan malas.
Di dunia manusia, Hadyan menemukan sebuah keluarga kecil yang tidak memiliki anak.
Keluarga Dewanto.
Ia menumpang di sana, membuat pasangan suami istri yang bernama Hari Dewanto dan Lusi Dewanto itu mengira bahwa mereka memiliki seorang putra yang sekarang telah berumur 18 tahun.
***
Kini, Hadyan telah menyamar menjadi manusia. Ia hidup dan bersikap seperti manusia untuk melancarkan perjuangannya mendapatkan hati Tasia agar gadis itu mau menjadi permaisuri di kerajaannya secara sukarela.
"Aku akan pergi ke rumah temanku, Bu." Ijin Hadyan pada ibu palsunya. Lebih tepatnya, seorang wanita yang ia sihir agar menjadi ibu bagi dirinya, si anak jadi-jadian.
"Ya. Tpi jangan pulang terlalu malam ya, Nak," Sahut wanita yang sedang memasak makan malam untuk keluarga kecilnya itu.
Lalu Hadyan pergi menggunakan sepeda motor ayah palsunya. Ia melajukan kendaraan dengan dua roda besar itu menuju rumah Tasia yang terletak hanya beberapa blok dari rumahnya.
Hadyan memejamkan matanya sejenak. Bisa dikatakan, ia memiliki semacam radar atas tanda yang ia buat di punggung Tasia sehingga ia akan selalu mengetahui di mana letak gadis itu berada
Tasia tidak sedang berada di rumah. Ia berada di persimpangan jalan seorang diri. Kemudian, Hadyan mempercepat laju sepeda motornya untuk menghampiri gadis incarannya itu.
***
Tasia berjalan santai dengan tas kecil merah yang melingkari pundaknya. Ia mengarah ke rumah Marya yang ada di sebelah gang rumahnya.
Samar-samar, ia mendengar suara sepeda motor dari arah belakang semakin mendekat ke arahnya. Hal itu membuat Tasia memutuskan untuk menggeser langkahnya lebih ke tepian.
Tidak lama, sebuah sepeda motor sport melaju melewatinya dengan kecepatan yang tidak dianjurkan dalam pemukiman komplek dan tiba-tiba motor itu terpeleset hingga terjatuh menyamping beberapa meter di depan Tasia.
"Astaga!" Gadis itu segera berlari menghampiri pria yang terjatuh dari sepeda motor naas tersebut.
"Yaampun, Mas. Kenapa bisa jatuh? Apa kau tidak apa-apa?" Seru Tasia dengan membantu mengangkat sepeda motor yang menimpa salah satu kaki pria itu.
Meski sebenarnya, usahanya sia-sia karena kekuatanya sama sekali tidak seberapa untuk berhasil mengangkat motor berat itu.
Pria malang tersebut menggeser tubuhnya hingga ia berhasil keluar dari motor yang menindih kakinya. Tasia segera membantunya berdiri.
"Aduh, Mas.. hati-hati saat berkendara. Jangan kebut-kebut di jalan. Maskipun komplek ini sepi, terkadang ada anak kecil yang bermain." Ujar Tasia.
Namun, Tasia sangat terkejut dan bingung pada pria itu. Bukannya kesakitan, ia malah tersenyum-senyum sambil menggenggam pergelangan tangan Tasia.
"K-kau bisa melepasku. Kau udah bisa berdiri, 'kan?" Tasia menarik lengannya cepat hingga terlepas.
Ia mulai waspada jika pria itu malah ingin berbuat macam-macam. Dari tingkahnya, Tasia bisa menebak bahwa ia adalah pria aneh.
"Trimakasih, kau sangat baik," Ucap pria itu. Kata-kata tersebut entah mengapa terasa familiar di telinga Tasia.
"Sama-sama. Lain kali hati-hati, yah. Ngomong-ngomong, kakimu berdarah. Sepertinya lukanya cukup serius," Tasia menunjuk kaki kanan pria itu yang sudah sobek celananya.
"Tidak apa-apa. Namaku Hadyan, siapa namamu?" Pria itu menjulurkan tangan kanannya ke depan Tasia.
'Hadyan? Rasanya nama itu tidak asing. Tapi aku tidak pernah mengenal orang dengan nama Hadyan. Aneh.' Pikir Tasia dalam hati.
"Ehm.." Hadyan berdehem, membuat Tasia tersontak dari lamunannya.
"Eum.. Tasia." Ia membalas jabat tangan Hadyan dengan cepat dan cukup terkejut atas sensasi dingin dari telapak tangan pria itu. Ia segera menarik kembali tangannya.
"Sepertinya motormu tidak apa-apa. Kau bisa pulang atau pergi ke klinik. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Hati-hati di jalan." Tasia langsung melangkah pergi dengan terburu-buru.
"Trimakasih.. Tasia!" Seru Hadyan.
Tasia menengok dengan kikuk dan melambaikan tangannya singkat. Ia bingung harus bertindak bagaimana. Di sisi lain, pria itu adalah orang asing dan terlihat aneh. Tapi di sisi lainnya, Tasia adalah orang yang ramah terhadap orang lain dan mudah merasa sungkan.
Sebuah sunggingan merekah di bibir Hadyan. Ia telah maju satu langkah.
***
Senin, SMK Karya Semesta.
"Maaf sekali lagi ya, Mar. Kemarin aku benar-benar takut pria aneh itu akan mengikutiku, jadi aku terpaksa pulang lagi," Ucap Tasia dengan wajah memelas.
"Baiklah.. Santai saja, Sia. Memangnya pria itu terlihat seperti penjahat?" Tanya Marya.
Tasia tertunduk ragu dan menggeleng. "Sebenarnya ia sama sekali tidak terlihat seperti penjahat. Malah menurutku.. wajahnya lumayan tampan,"
"Loh? Kalau begitu kenapa kau malah takut?" Tanya Tata heran.
"Entahlah.. Aku hanya merasa takut tanpa sebab. Terlebih, ia sedikit aneh. Seharusnya ia kesakitan karena habis terjatuh. Tapi ia malah tersenyum bagai tidak merasakan apa pun. Dan saat aku bersalaman dengannya, tangannya terasa dingin sekali!" Tasia bergidik.
"Hahaha! Kau lucu sekali, Tasia. Kau itu terlalu polos!" Tawa Marya diikuti oleh Tata.
"Tasia, orang itu bukannya aneh. Tapi ia berusaha terlihat jantan, padahal aku yakin ia sangat kesakitan. Lalu, adrenalinnya akibat terjatuh dari motor itu membuat tangannya menjadi dingin. Bukan hanya tangannya saja, aku yakin saat itu seluruh badannya sudah berkeringat dingin dan masih sempat-sempatnya menebar persona padamu." Jelas Tata.
Namun aneh, Tasia sama sekali tidak dapat merasakan humor yang dibahas kedua sahabatnya itu. Ada sesuatu dalam hatinya yang membuat ia tidak tenang.
"Entahlah. Aku masih merasa ada yang aneh. Mungkin kalian benar, keanehan itu justru berasal dari diriku sendiri." Gumam Tasia.
"Sudahlah, itu hanya perasaanmu saja, Tasia. Jangan terlalu paranoid." Balas Marya dengan merangkul manja pundak sahabatnya.
"Marya! Tugas kemarin sudah dikerjakan belum?!" Patra meneriakinya dari pintu kelas.
"Tugas? Ah! Aku lupa! Tugas fisika!" Seru Marya sambil menepuk dahinya sendiri.
"Kebiasaan sekali kau, Marya.." Gumam Tata.
"Aku kembali ke kelas dulu, yah. Kita ketemu lagi di kantin saat jam istirahat!" Marya segera menyambar tasnya dan melangkah pergi terburu-buru.
Lima belas menit kemudian, bel tanda masuk akhirnya berbunyi.
Hanya dalam lima menit, koridor sekolah telah terlihat lenggang. Hampir seluruh murid sudah masuk ke dalam kelas mereka masing-masing.
"Aku masih tidak menyangka bisa duduk di kursi ini. Sebenarnya, aku tidak percaya pada cerita kalian yang mengatakan bahwa aku menghilang di tengah laut." Tutur Tasia.
Tata menghela napas jengah. "Sudahlah.. Tidak perlu dibahas lagi. Lagipula kita sekarang sudah pulang dengan selamat. Soal kejadian itu, semua adalah keajaiban Yang Maha Kuasa."
Tasia menyeringai. "Ya, aku jadi merasa bangga bisa menjadi salah satu keajaiban Tuhan."
"Kamu bisa terlahir ke dunia saja adalah keajaiban Tuhan, kau tahu?" Sahut Tata.
Pembicaraan mereka terhenti saat seorang guru wanita berambut pendek dengan kacamata berbingkai hitam masuk ke dalam kelas.
Dipimpin oleh ketua kelas, mereka semua memberi salam kepada wali kelas mereka yang adalah guru matematika, Ibu Vika.
Namun, ada yang berbeda pada pagi yang cerah itu. Ada seorang siswa tidak dikenal yang mengekori wali kelas mereka.
Bu Vika tidak langsung duduk di mejanya. Ia menyempatkan diri berdiri di depan kelas berdampingan dengan siswa baru itu.
"Anak-anak, mulai hari ini, kalian mendapat teman baru di kelas ini. Namanya Hadyan Dewanto." Ujar wanita itu hingga mendapat gemuruh suara murid-murid yang menanggapi dengan saling berbisik.
"Nah, Hadyan. Kau bisa duduk di kursi yang masih kosong. Untuk buku cetak, bisa kau ambil saat istirahat. Sementara ini, kau bisa menggunakan buku tulis dahulu." Jelas Bu Vika.
"Baik, Bu. Terima kasih." Jawab Hadyan sopan dan segera melangkah ke meja paling belakang yang masih kosong.
Semua mata tertuju pada laki-laki itu, dan bergulir mengikutinya yang melangkah hingga ia duduk di bangku kosong yang ditunjuk Bu Vika tadi.
Tidak terkecuali Tasia dan Tata yang turut memperhatikan anak baru itu. Kemudian, mereka membalik badan kembali ke depan.
"Anak baru, ya? Aku percaya ia akan menjadi artis baru di sekolah," Bisik Tata untuk memberikan komentar atas paras anak baru tersebut.
"Ta!" Tasia menepuk-nepuk lengan Tata sambil melotot.
"Ada apa?" Tata mengerutkan dahinya bingung. Sahabatnya ini sering sekali bertingkah tidak jelas.
"Itu dia, Ta! Ia pria yang jatuh dari motor kemarin!"