Ada orang yang mungkin kalah cerdas. Kalah kompeten. Kalah sukses. Kalah terkenal. Tapi siapapun tak pernah bisa menggantikan posisinya. Dan kapanpun dia bisa menjelma menjadi orang tercerdas. Orang terkompeten. Orang yang paling sukses dan terkenal sepanjang hayat. Ibu. Dia adalah ibu kita. Yang bisa menjadi siapapun tapi tak bisa digantikan oleh siapapun.
Jack menambah potongan kayu pada perapian. Dia masih saja berceloteh dengan Lia yang menopang dagu menyimak ucapan yang begitu meminta perhatiannya.
"Kau tahu, bagaimana dia memanggilku. Si tampan! Dia memanggilku selalu seperti itu. Dan wajahnya yang cantik. Membuatku selalu jatuh cinta.."
"Apa dia begitu cantik? Apa kau begitu jatuh cinta padanya?"
"Iya. Bagaimana tidak. Dia menyuapiku dengan begitu sabar. Menuruti apa mauku. Menuntunku belajar. Membimbingku. Kau tahu. Kalau tak ada dia rasanya aku ingin pergi saja dari istana itu!"
"Oh, ya?"
Jack mengangguk tanpa ragu.
"Aku berharap bisa tinggal bersamanya setelah semua ini. Aku menunggu hingga aku dewasa dan sukses. Aku ingin lebih sukses lagi. Aku ingin lebih bahagia. Aku ingin hidup dengannya dengan kebahagiaan."
Lia tersenyum mendengar kalimat tulus Jack
"Aku malah belum pernah melihat mama ku"
Nyala api membesar. Membuat Sambaran merah di perapian. Jack menoleh pada Lia.
"Kau tak mengenal ibumu?"
"Ya, bibi selalu bercerita. Mama berjuang di luar negeri untukku. Bibi bilang dia mengirim uang dan bahagia di sana.." Lia menarik nafas dalam dengan wajah murung.
"Kalau ibumu bahagia kenapa kau murung?"
"Jack!" Lia menundukkan pandangan. "Aku bukan gadis kecil yang selalu semangat mendengarkan cerita bibi tentang mama. Aku bukan gadis remaja yang pamer dengan semua omong kosong. Aku sudah dewasa. Sangat tidak masuk akal jika mama bekerja di luar. Tapi aku tak pernah bisa sekolah dengan baik."
"Mungkin bibi mu serakah. Dia memakan bagianmu!"
Pluk!
Lia melempar batu kerikil yang dia temukan di lantai. Membuat lemparan berikut dan berikutnya. Jack menghindari tapi juga terkekeh lucu.
"Kau jangan bicara sembarangan tentang bibi. Dia manusia terbaik yang aku temui. Dia sangat tulus dan begitu mencintai ku!" Gusar Lia marah.
"Oh. Maaf. Aku kan hanya berasumsi saja. Kalau begitu. Sebetulnya dimana ibumu?" Lia mengangkat bahu.
"Aku menunggu bibi berbicara jujur. Tapi mungkin belum saatnya.."
Jack berdiri. Dia mendekap dua bahu Lia. Mencoba menyemangati.
"Kalau begitu. Tenang saja. Kau bisa menganggap ibuku menjadi ibumu. Kita bisa menemuinya nanti di Sevilla. Kau akan tau seperti apa ibu itu. Dia seperti malaikat!"
"Kau serius!" Lia menoleh pada Jack.
"Ya.." balas Jack cepat.
Hujan kian deras.
"Ah kalau terus turun hujan, kapan aku bisa menemui ibu! Aku sangat merindukannya."
"Kau pria yang tak sabar ya!"
Jack duduk di belakang punggung Lia.
"Lia, apa kau tak dingin. Aku merasa akan menggigil dan mati beku di sini!" Lia sejak tadi menahan hawa dingin. Jika mau jujur.
"Habis kita. Kalau perapian ini habis. Habis lah kita! Tak ada kayu bakar kering lagi!"
"Apa kau yakin Jack!"
"Iya. Tumpukan kayu bakar nya kena bocor!" Tunjuk Jack pada tumpukan kayu bakar dan tetesan hujan di sudut ruangan.
"Aish! Bagaimana kalau nanti kita terpaksa bermalam di sini!"
"Entahlah Lia. Itu bukan ide yang bagus. Aku butuh hotel!!!" Dengus Jack.
"Dasar! Kau manja. Apa kau lahir dari keluarga kerajaan?"
Jack terkekeh mendengar kalimat Lia barusan.
"Bukan. Aku lahir dari selir yang tak di harapkan!"
"Hahaha.. kau pikir ini cerita negeri dongeng!"
"Aku serius Lia. Ah, apa aku boleh memelukmu lagi? Aku tidak bisa hidup tanpa pemanas. Bisa bisa alergi dingin ku kambuh!"
"Itu hanya alasan kan?"
"Tidak. Aku serius. Kau akan melihat bentol merah di setiap sendi ku saat aku tak kuat lagi dengan udara dingin ini."
"Yang benar?"
"Aku serius. Jadi boleh aku memelukmu?"
"Ya.. yaa yaa.." jawab Lia sedikit bingung. Tak usah bingung. Jack langsung mendekap dari punggung Lia. Membawa tubuh Lia di dalam pangkuannya. Udara memang sedang tak bersahabat.
"Hati hati tanganmu!" Tepis Lia saat Jack salah menempatkan tangannya.
"Oh, kenyal kenyal. Aku kira apa!"
"Kau sengaja cari mati ya!"
"Tidak. Aku tak sengaja. Sumpah!"
"Sumpah mu dusta!"
Keduanya tertawa. Dan menikmati obrolan ringan yang membuat udara menghangat.
____
Melinda memegang pipinya yang merah. Pauline merasa tangannya seketika kebas. Sekuat apa dia menampar wanita ini tadi.
"Ma. Apa yang kau lakukan!" Protes max. Dia bingung harus memihak siapa. Pauline mendengus kesal. Semakin kesal.
Sementara Melinda menangis dalam diam. Pauline memunggungi Maxi.
"Max kau tak tahu saja. Wanita ini! Dia.. dia adalah wanita yang kejam.."
Max menoleh pada Melinda. Kejam? Dia tak melihat kekejaman di wajah polos itu. Tapi max pernah mendengar istilah. Hati hati pada telaga yang tenang.
"Kau tahu kenapa Edward tak berperasaan!"
Nama pria ini masuk dalam obrolan. Seketika membuat Melinda gemetar. Wajahnya ketakutan. Air mata terus berderai deras.
"Tanya kan pada dia!" Tunjuk Pauline menuding kasar pada wajah Melinda yang tertunduk menyimpan tangisan.
"Tanyakan pada dia! Bagaimana dia menyiksa keluarga kita! Tanyakan Maxi! Tanyakan bagaimana dia hadir dalam setiap mimpi buruk Edward. Tanyakan padanya bagaimana dia menggoda Edward! Membuat pria itu tak bisa untuk tidak menyebut namanya saat tertidur. Tanyakan pada dia! Kenapa Edwar begitu membenci kita. Begitu membenci kau dan aku!!" Teriak Pauline kehilangan kesabaran.
"Apa.." max masih tak paham.
"Wanita ini!" Pauline menatap nanar wajah putranya dan Maxi menyorot wajah gundah Melinda.
"Dia wanita yang berbahaya. Dia bisa membawa Salomon dalam kehancuran hanya dengan waktu singkat. Dan, dia bisa meracuni Edward sepanjang hidupnya. Kau pikir apa yang papa mu cari selama ini!!" Max menggeleng tak tahu.
"Dia mencari kenikmatan dari wanita ini!" Pauline membuang wajah. Matanya berkaca kaca. Dia mulai menitikkan air mata.
Maxenarik lengan Pauline. Kembali duduk di sofa. Sebelumnya max menekan panggilan di telepon.
"Ma.. tenangkan dirimu.. biar aku mendengar semuanya dengan jelas. Jadi siapa dia sebenarnya?" Max melirik Melinda yang berjarak empat meter dari posisi mereka duduk. Melinda masih berdiri mematung hingga ada dua opsir penjaga dan membawa Melinda keluar.
"Max. Dia wanita yang tak bisa dilupakan oleh Edward. Dia cinta pertama Edward. Dia simpanan Edward. Dia wanita jalang tak tahu diri!"
"Dia menikahi pamanku. Menjadi selingkuhan suamiku saat kau masih butuh sosok ayah!" Max menarik nafas dalam. Seakan mengerti kesedihan Pauline.
"Aku bisa mendengar bagaimana Edward mengigau dalam tidurnya. Membayangkan diriku adalah dia! Edward tak pernah menganggap kita karena wanita jalang tadi! Dia harusnya membusuk disini!"
"Maa.. tenanglah dulu.."
"Bagaimana aku tenang max. Sebentar lagi dia bebas. Dia akan kembali merayu Edward sementara kita belum dapat apa-apa. Sebentar lagi dia akan merebut semuanya seperti dia merebut kehidupan Salomon!"
"Tidak ma. Itu tidak akan terjadi!"
"Max, Melinda itu wanita binal. Dengan tubuhnya dia menghancurkan banyak keluarga! Dia wanita rendahan. Dia dan semua keturunannya!"
"Itu tidak akan terjadi ma.."
"Max. Berjanjilah padaku. Kau akan menghancurkan wanita itu. Kau akan membuat dia bertekuk lutut di hadapanku. Berjanjilah nak! Berjanjilah! Ambil semua hak kita yang dia bawa.. ambil semua nya!!"
"Aku berjanji ma.." Max mengangguk cepat menjawab permintaan Pauline.
"Kau harus merebut kembali apa yang dia ambil. Dia menyembunyikannya di suatu tempat. Dia dan putra putrinya!"
"Dia punya anak?"
Pauline mengangguk
"Ya.. tapi mama tidak tahu pasti dimana dia menyimpan. Mungkin anak anaknya hidup enak dengan harta paman. Itu sudah pasti!"
"Tenanglah ma. Aku akan menemukan dan menghancurkan mereka. Seperti mereka menghancurkan perasaan mama.." janji Max kepada Pauline. Kepada ibunya. Kepada wanita yang paling berharga dalam hidupnya. Hari ini.