melihat Pauline murung sepulang dari tahanan tadi. Maxi berusaha menghibur ibunya. Segelas jus orange segar disodorkan kearah paulin yang menyandarkan punggung di sofa. Wanita itu mengurut dahi sepertinya pijatan seorang terapis di punggungnya seakan tak berfungsi.
"mam, Kenapa kau tidak menghabiskan makan malammu? "Pauline mengangkat kepala menatap wajah putranya.
"Bagaimana aku punya nafsu makan sebentar lagi wanita jalang itu akan keluar dari pesakitan. Dan kau tahu tidak putraku!"
"Apa itu ma?"
"biar aku beri tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang!" Pauline bangkit dari kursi dengan wajah cemas, tatapan mata nanar. Seakan di bola mata itu tergambar jelas masa depan yang buruk untuk keluarga Edwardo.
"saat wanita itu nanti bebas. Orang pertama yang dia cari adalah papamu dan seberapa besar aku berupaya menjauhkan mereka berdua.." paulin menyerah kasar wajahnya. Dia melotot kearah pemijat yang tadi melayaninya dengan baik. "Keluar kau dari sini!!" Tanpa menunggu waktusi pemijat profesional itu meninggalkan ruang kamar tahu Line dia menutup pintu dengan sangat hati-hati, takut jika nyonya besar itu akan meluapkan semua emosinya pada orang yang tidak tepat.
si pemijat menutup rapat pintu dia mengusap dadanya. Wajahnya jelas takut dia menyeramkan sekali.aku akan bisa habis dilahap oleh bola mata tajam itu!. Pijat itu langsung berlari meninggalkan pintu kamar nyonya Pauline Edwardo.
Pauline memperhatikan daun pintu yang ditinggalkan oleh si pemijat tadi. Karena sudah dirasa aman tak ada orang lain yang mendengar. Dia kembali menatap putranya. Maksimum menyimak dengan wajah yang senang. Dengan raut yang datar. Seperti biasanya!
"Maxi Aku senang bisa melihat ekspresi wajahmu yang seperti itu!" Tunjuk jari Kau Lin ke wajah tampan putranya. Tapi tak membuat ekspresi datar itu bergeming karena dia masih saja Maxi yang sama.
"disaat wanita itu memporak-porandakan semua perjuanganku selama ini! Membuang Kau Aku Dan semua kita ke jalanan! Di saat itu semua aku yakin wajahmu itu tidak akan seperti itu lagi "ntar sebuah ancaman, peringatan atau sebuah nasehat. Maxi masih tak lelah menyimak dan mencerna dengan baik.
Jujur saja Mexi tak melihat Di mana letak kekuatan Melinda. dia hanya melihat wanita paruh baya dengan pakaian lusuh atau mungkin tak pernah berganti pakaian selama di dalam sana. Meski begitu Maxi masih bisa melihat pesona pada diri wanita itu. Apa karena badan dan wajah sehingga Edward tidak mau melepaskan wanita itu, sebenarnya sulit untuk Maxi membenci Melinda.tapi jika mendengar Bagaimana Pauline begitu merasa terancam pastilah ini bukan hal yang simple.
Maxi melipat tangan di dada, "ma aku akan menemui wanita itu sekali lagi. Mungkin aku tidak langsung berhasil. Tapi percayalah kepada putramu ini. Aku tidak akan membiarkan kau merasa terancam dan ketakutan seperti saat ini "paulin mengangguk, Entah kenapa kalimat Maxi barusan begitu melegakan perasaan nya.
Maxi mengambil sepiring makanan dari bufet kecil yang sudah di hidangkan oleh pelayan hotel.
"tapi untuk saat ini sebaiknya engkau makan dulu. Sedikit saja" pinta Maxi membujuk Pauline. Wanita itu mengangguk lemah.
tak ada anak yang membiarkan ibunya prustasi sendiri. Apalagi Maxi paling tahu apa yang telah diusahakan oleh paulline sejauh ini. Ibunya ini hanya memikirkan masa depannya dan keluarga Edwardo. Jadi.. Maxi Sekarang giliranmu!
Maxi tersenyum melihat Pauline Akhirnya makan malam juga. Di dalam kepala pria tampan dengan sorot mata biru itu memikirkan cara esok hari. Bagaimana dia bisa membuka mulut Melinda. Bagaimana dia bisa menemukan harta Salomon yang di curi wanita itu. Dan bagaimana dia harus meyakinkan Pauline kalau Melinda tidak akan hadir dalam kehidupan mereka nanti. Memangnya dia Tuhan. Yang bisa mengatur semuanya. Dia saja tidak percaya akan Tuhan! Maxi menepuk jidat sendiri sambil meninggalkan kamar Pauline.
___
Sebuah rumah megah dengan pagar berjarak mungkin hampir setengah hektar. Tak jauh dari pelabuhan. Lia berdecak kagum tak he to hentinya. Ketika Jack menepikan mobil dan mengambil tas Lia untuk mempersilakan tamu nya masuk.
"Jack. Ini rumah mu?" Lia takjub "kau serius. Jadi aku selama ini menemani seorang konglomerat! Oh my God. Aku merasa sangat tersanjung di bawa kesini. Ini sungguh rumah yang megah!"
"Jangan berlebihan hey! Ini bukan milikku. Kita hanya di beri tumpangan saja."
"Sudahlah. Berhenti merendah. Pantas saja kau tak bisa hidup susah di peternakan. Ternyata kau lahir dari golongan atas."
"Sudah ku bilang ini bukan milikku. Terserah kau saja mau percaya atau tidak. Sekarang ayo kita masuk!"
Jack tertawa saja mendapati ucapan Lia yang tak henti henti memuji dan terpukau. Seorang kepala pelayan pria berusia hampir setengah abad menerima mereka.
"Selamat datang tuan. Biar saya bawakan. Makan malam sudah siap untuk anda dan nona.."
"Lia! Namaku Lia!"
"Baiklah nona Lia. Selamat datang dan silahkan.."
"Terima kasih pak!"
Jack sekali lagi tersenyum sambil menggeleng. Dia menyukai senyum lebar Lia yang ramah bahkan pada seorang pelayan.
"Butler. Atur suhu ruang kamar dan air. Aku akan mandi!" Pinta Jack.
"Baik tuan."
Tak berselang lama ketika butler meninggalkan Jack dan Lia. Gadis itu tersenyum aneh. Apa maksudnya tarikan bibir itu.
"Aih! Suaramu langsung berubah ketika bicara pada pak pelayan. Seharusnya kau sedikit sopan. Dia kan lebih tua darimu!" Protes Lia sambil menepuk pundak Jack.
"Sopan bagaimana. Itu kan tugas dia di sini!"
"Tapi tidak sopan kau memintanya langsung tanpa kata tolong!"
Jack melongo mendengar kalimat Lia.
"Jadi aku harus mengatakan tolong pada pelayanmu?"
"Pelayanmu kan hanya kalau kau di sedang bayar dia. Kalau di luar kau tetap saja lebih muda darinya. Jadi soanlah sedikit!"
Jack mau protes tapi rasanya percuma. Dia membuka kaos nya yang lengket. Selama perjalanan dia tak berganti pakaian. Terakhir membeli kaos di penginapan dan sampai saat ini. Lia melotot melihat tubuh terbuka Jack.
"Pergilah ke kamar dan buka pakaianmu di sana!" Protes Lia sekali lagi.
"Kau bawel sekali sih. Apa bateraimu baru saja di cas!" Goda Jack. Bukannya pergi mandi dia malah menggoda Lia dengan mendekatkan tubuh yang lengket.
"Kau mau apa sih!"
"Menurutmu!" Jack menempelkan tubuh terbukanya pada Lia. Dia meraih tangan Lia dan menyeka rambut lengketnya dengan telapak tangan Lia. Gadis itu bingung jadi menurut saja.
"Ih. Kau menjijikkan. Bahkan ada sarang laba laba di rambutmu Jack!"
"Masa. Ah ini pasti oleh oleh dari peternakan!" Gusar Jack menyeka rambutnya. Lia menarik tangan dia mencibir kesal. Dia hanya berbohong.
"Lekas pergi sana. Kau bau!"
"Ya. Ya. Aku akan pergi mandi!"
Jack menjauh dari Lia. Dia menuju kamarnya di lantai atas. Lia menatap punggung Jack yang menjauh. Ah otot otot itu sungguh menggurat kencang. Membuat Lia terpaku.
"Jack!" Tak sengaja Lia malah memanggil lagi Jack yang sudah naik tangga.
"Apa!" Mendapati wajah Jack yang berbalik tiba tiba otak Lia blank. Kenapa tiba tiba dia memanggil Jack. Gadis itu linglung sendiri.
"Mmm.. dimana kamarku?"
"Kamarmu?" Jack balik bertanya sambil menunjuk sebuah kamar tamu di lantai bawah.
"Atau kau mau tidur sekamar denganku?" Tanya Jack lantang di iringi tawa riang sambil berlari menaiki anak tangga.
Suara tapak kakinya terdengar kencang seakan berlomba dengan degup jantung di dada Lia.
Apa ini?