Maximilian mengedarkan pandangan. Dia mengeryitkan dahi. Sementara Pauline yakin menghentikan laju mobil di pekarangan dengan pemandangan tak elok.
"Kau yakin ini tujuan kita ma?"
"Ya.."
"Sebuah rutan tahanan?"
"Ya.. apa yang kau harapkan lagi max. Kita singgah di sini!" Pauline keluar dari mobil. Meski wajahnya ragu max ikut turun. Dua opsir mendekati mereka dan menyapa sopan.
"Selamat datang nyonya. Silahkan masuk!"
"Terima kasih. Aku ingin bertemu dengan kepala!"
"Beliau sudah menanti kehadiran nyonya. Silahkan!" Satu opsir melirik max.
"Putraku!" Jelas Pauline mengartikan lirikan barusan.
"Oh, selamat datang tuan. Silahkan.."
Max mengikuti langkah Pauline dan kedua opsir penjaga. Mereka menaiki beberapa anak tangga dan masuk ke dalam sebuah, kantor? Ya sebelum. Ya, kantor pengasingan mungkin tak seindah yang di bayangkan.
Mereka di tuntun ke sebuah ruangan. Kalau menurut max, ini adalah ruangan terbaik. Dimana dalam ruangan berukuran cukup besar. Ada sofa. Lemari pendingin. AC. Meja kursi kerja dan rak berisi banyak berkas dokumen. Seorang pria berpakaian lengkap dengan kumis menyambut mereka.
"Selamat datang nyonya. Bagaimana kabar anda?" Dia mengulurkan tangan pada Pauline. Menyambut ramah.
"Aku baik!"
Pauline diikuti max. Duduk di sofa tana.di persilakan.
"Baiklah. Aku akan memanggil dia. Kau tunggu di sini! Ada waktu dua jam hari ini. Kau bisa pakai kantor ku sementara aku harus bergabung di ruang lain!"
"Baiklah pak. Terima kasih!" Balas Pauline singkat.
Kepala opsir meninggalkan mereka. Max beranjak dari duduk. Dia mengedarkan pandangan. Memperhatikan beberapa foto yang tergantung di dinding. Beberapa berkas di rak kayu.
"Apa yang kau baca?" Tanya Pauline memperhatikan sorot mata max.
"Bukankah kita menginap di hotel dengan fasilitas luar biasa modern. Pemandangan pantai di balkon kamar. Bahkan kolam renang yang bersatu dengan lautan! Tapi kenapa penjara ini begitu parah?"
"Parah bagaimana maksud mu?"
"Ya, mama lihat saja. Tidak ada fasilitas, dan modernisasi di sini!" Pauline tertawa mendengar ucapan max.
"Max. Inilah pengasingan. Tempat dimana pelaku kejahatan akan jera. Mereka mendapat apa yang pantas mereka dapatkan. Seperti orang yang akan kita temui ini!"
Max sedikit berpikir. Mungkin kalimat Pauline benar juga. Percuma namanya di penjara jika mereka merasakan hidup enak.
"Mama benar!" Balas max menyudahi obrolan. Dia kembali duduk dan melipat kaki.
CKLEK!!
Pintu terbuka.
Dua opsir tadi kembali bersamaan seorang wanita paruh baya berambut pendek berwarna cokelat terang. Dia memainkan jari jemari dalam genggaman. Merasa cemas. Semua terlukis jelas dalam sorot matanya. Max memicingkan mata. Menatap jelas ke arah Melinda.
Ini wanita yang Pauline ceritakan kemarin? Max berasumsi sendiri dalam hati.
Pauline melangkah cepat dengan heel nya. Dia melipat tangan di dada dan mengangkat dagu.
"Heh! Aku tak suka bisa melihatmu lagi hari ini!" Sinis Pauline membuka obrolan. Bukan kalimat yang manis sebagai pembuka. Melinda tertunduk.
"Sudah hampir selesai masa hukumanmu tapi kau masih diam seribu bahasa!"
Dengan mengambil.sapu tangan. Pauline menyentuh ujung dagu Melinda yang tak mengenakan heel. Pastilah tinggi tubuh mereka begitu jauh. Dia menyentuh kulit Melinda dengan jijik. Bahkan jarinya harus dialasi sapu tangan terlebih dahulu.
"Katakan dimana kau menggadaikannya? Dimana kau menjualnya!" Gertak Pauline dengan wajah tak sabar. Max masih menyimak.
"Kau tahu. Aku mungkin akan lelah mendesakmu seperti ini. Mungkin satu dua tiga bulan lagi. Biar putraku yang membuatmu buka mulut. Dan aku tak yakin dia lebih lembut dariku!"
Max berdiri. Mengantongi kedua tangan di saku. Dia ikut bergabung mengintimidasi Melinda. Jujur, padahal max sendiri masih belum paham apa yang di tuntut Pauline pada wanita lusuh ini.
"Kau tahu. Itu adalah peninggalan keluarga Salomon. Itu adalah harta Karun kami! Dimana kau menyimpannya!!" Hardik Pauline sekali lagi. Kali ini dia gemas sampai mencengkram kasar dagu Melinda. Max menautkan alis. Harta? Apa wanita lusuh ini sudah merampok harta Salomon? Max masih mencoba menyimak.
"Sudah aku katakan. Aku tidak mengambil apapun dari paman mu.." lirihnya.
"Jangan bohong! Jelas kau membawanya keluar dari rumah itu!"
"Aku tidak bohong.."
Pauline mempererat cengkraman di rahang Melinda. Membuat max iba.
"Ma, bagaimana dia mau menjawab kalau kau memperlakukannya dengan seperti itu. Kau minum lah. Aku akan mencoba membujuknya."
Pauline mengangkat kedua tangan. Dia masih saja gemas melihat pendirian Melinda.
"Wanita itu membuat ku hilang kesabaran!" Gerutu Pauline menyambar pintu kulkas. Dia menginginkan minuman dingin.
Melinda masih tertunduk. Dia hanya bisa menangkap permukaan sepatu mahal yang di kenakan Maxi.
"Nyonya.." tak ada yang memanggilnya nyonya selama disini. Melinda mengangkat kepala dan membalas tatapan max. Ah, pemuda yang tampan. Mengingatkan Melinda jika max dan putrinya mungkin tak jauh berbeda usia.
"Nyonya, bisa kah kau memberi tahu apa yang dia inginkan. Kau tahu, mama ku itu tidak stabil emosinya. Dia bisa marah dan murka seperti singa kelaparan. Kau pasti tak ingin menyusahkan diri sendiri kan?" Melinda menggeleng.
"Bagus. Kalau begitu. Katakan. Dimana kau menyimpan benda 'itu'?" Ya apapun itu. Max seakan mengerti saja dengan pembahasan kedua ibu ibu ini.
Melinda menggeleng lagi. Hingga.max mendekapkan kedua telapak lebarnya pada pundak Melinda.
"Nyonya. Pauline tidak suka kebohongan!"
"Aku tidak bohong. Aku tak tahu dimana benda itu. Aku tak merasa memilikinya.." lirih Melinda dengan sorot mata berkaca kaca. Kalau sudah begini Max bisa apa.
Max melirik Pauline yang sibuk dengan sambungan ponsel. Dia menarik senyum simpul.
"Nyonya. Aku tak mau menyulitkan dirimu ataupun mama ku. Bisa kah kita saling mengerti!" Nada bicara max sedikit berbeda. Jelas ada penekanan dalam kalimatnya. Melinda menutup mulutnya. Percuma. Tak ada satupun yang percaya dengan ucapannya.
"Nyonya.."
Maxi menatap Melinda dengan sorot mata tajam.
PLAK!!
Sebuah tamparan mendarat. Membuat mata Melinda membulat dan tampungan di kelopak matanya pun terjatuh. Max menarik nafas dalam. Dia mengurut dahi.
___
Lia menampung tetesan air hujan di lekukan telapak tangan. Sementara Jack memperhatikannya dari palang pintu. Dia bersandar dengan tangan mendekap di dada.
"Kau sudah memberi makan ternak?"
Lia mengangguk tanpa menoleh ke arah Jack.
"Hehe.. " Jack tiba tiba tertawa. Membuat Lia harus menoleh dan mencibir heran.
"Kenapa kau tiba tiba tertawa?"
"Aku merasa kita seperti sepasang suami istri. Kau memberi makan ternak dan aku yang melakukan penjagalan!" Lia ikut terkekeh.
Keduanya menatap tetesan hujan deras dari langit yang mendung seakan tak puas untuk menangis.
"Kapan hujan berhenti. Kenapa aku merasa hujan hanya di sini saja.. Seakan meminta kita untuk berhenti sejenak disini"
"Aku setuju denganmu Jack. Aku merasa hujan ini meminta kita untuk sabar menanti. Seakan dia sedang memberi tahu jika aku akan menangis saat ini. Rasanya perasaanku sedikit sakit saat ini.."
Jack mendekati Lia.
"Kenapa? Apa kau sakit?"
Jack memeriksa dahi Lia. Gadis itu menggeleng.
"Tidak.. tapi hatiku.. rasanya ada yang memilukan di sini.." tunjuk Lia pada dadanya. Jack melingkarkan tangan dari belakang memberi dekapan erat.
"Mungkin kau kedinginan.."
"Yaaa.. mungkin.." dia tak menolak pelukan pria di belakang punggungnya.