Chereads / antara CINTA atau UANG / Chapter 22 - Resah

Chapter 22 - Resah

Pukul tujuh pagi hari

Kediaman mewah keluarga Edwardo.

Max mengeringkan rambutnya dengan cepat, dia segera keluar kamar dan menutup pintu dengan sekali tarik. Dia berniat segera menuruni anak tangga tapi penampilan Mariah mencuri perhatiannya.

"Kau mau kemana sepagi ini bi! Biasanya kau masih terlelap dengan selimut tebalmu!" Ujar max, mendengar ucapan bebas max m mbuat Mariah tersenyum. Apa itu artinya max sudah tidak marah padanya.

Mariah mengenakan celana jeans ketat denga bagian sobek di tengah lutut hingga ke pangkal paha, disempurnakan dengan atasan model Sabrina dengan bagian tali di punggung hingga memamerkan lekuk tulang punggung yang seksi dan menggoda. Mariah menyisir rambut pirangnya dengan jari. Dia sudah rapi sedini ini. Membuat max tak percaya.

"Aku akan bekerja"

"Sepagi ini"

"Ya.."

"Yang benar saja!" Max tertawa meledek. Membuat Mariah melipat tangan dan membalas tatapan ponakannya itu.

"Kau tahu, weekend adalah penjualan terbaik untuk butikku."

"Kupikir kau sudah melupakan usaha kecil mu itu"

"Max! Aku serius!" Rengek Mariah. Mereka berdua kompak menyusuri tangga, menuju ruang makan. Sepagi max atau Mariah, ternyata Pauline sudah lebih dulu duduk di sana. Keduanya cukup terkejut.

"Ma" sapa max mendaratkan kecupan kecil di lanjut oleh Mariah sebelum mereka bergabung duduk. Pauline menatap penampilan Mariah sesaat.

"Kau akan kemana?"

"Bekerja ka" Pauline menautkan alis. "Wah, tumben sekali. Aku terkejut mendengarnya.." max menahan tawa, dia setuju dengan kalimat Pauline barusan.

"Ck, aku sedang bersemangat bekerja. Rasanya akan menghabiskan banyak waktu disana!" Ujar Mariah dengan senyuman. Dia terlihat bersemangat, paulin dan max mengangguk saja lalu menerima piring sarapan mereka dari pelayan. Max dan Pauline mulai menikmati santap pagi mereka. Sementara Mariah menatap wajah keduanya bergantian, senyum lebarnya berubah getir. Ada yang tak bisa dia ceritakan dengan gamblang disini.

"Aku akan ke Sevilla hari ini.." ujar Pauline kemudian. O iya, ada yang ingin max tanyakan perihal Sevilla, dia sudah memikirkannya sejak kemarin. 

"Apa aku boleh ikut?" Tanya max, Pauline menoleh dan menggeleng. 

"Ada yang harus aku urus di sana, kau tak bisa ikut max.."

"Ma, aku bukan anak usia lima tahun lagi. Aku sudah besar. Aku akan mengerti apapun yang kau lakukan.." ujar max berusaha meyakinkan Pauline.

"Kecilkan suaramu.." pinta Pauline, dia menoleh ke arah belakang dimana di sana ada kamar Edward. Max mengangguk tak paham. Apa yang Pauline rahasiakan dari papanya, Edward.

"Jadi, apa aku boleh ikut?" Tanya max sekali lagi. Pauline menatap wajah max. Ya, memang dia bukan bocah yang menautkan alis dengan bingung saat dia berumur lima tahun. Max sudah tumbuh dengan baik. Bahkan dia terlihat sangat matang dan dewasa secara fisik. Apakah sudah waktunya? Paulin menggeleng pelan. Tidak, sepertinya belum.

"Baiklah, kau boleh ikut.." gumam Pauline kemudian.

Mariah menelan suapan terakhirnya. Dia tak begitu mengerti tentang urusan Pauline di Sevilla. Dia dan max tak memiliki usia yang jauh berbeda. Tapi seingat Mariah, bukan sesuatu yang menyenangkan yang akan di urus Pauline di Sevilla.

"Kau jangan berpikir untuk bersenang senang disana.." bisik Mariah menoleh pada max. Ponakannya itu membuat wajah penuh tanya.

"Ku dengar, Sevilla kota modern yang kejam.." lanjut Mariah mengelap bibirnya, dia merentangkan kedua tangan dan menyilangkan sendok dan garpu. Yang berarti dia sudah mengakhiri sarapan kepahiannya.

"Baiklah, hati hati selama perjalanan kalian. Aku harus pergi.." Mariah bangkit dari kursi, dia meninggalkan kecupan kecil di pipi Pauline, dan mengacak rambut rapi max. 

"Hey! Kau tak sopan!" Ujar max, Mariah hanya mencibir. Tak berselang lama suara langkah terdengar mendekati meja makan. Mariah mempercepat langkah keluar rumah, dia memejamkan mata dengan raut cemas. Gadis itu segera meninggalkan rumah dengan tunggangan merah nya, dia bahkan sempat berhenti bernafas sejenak tadi. Mariah menarik nafas dalam seakan mengisi ulang paru parunya yang kosong. Dia menghela nafas dan mengatur pompaan jantungnya untuk bisa kembali tenang.

"Mariah.. mariaa.." gusarnya pada diri sendiri dengan satu tangan tak henti menyisir rambut pirangnya yang panjang. 

"Sampai kapan aku bisa menghindari Edward, dia semakin berani saja!" Gusar Mariah jengkel sendiri.

Dia teringat kejadian dimana max belum pulang dan Pauline belum datang. Saat dia sedang menonton televisi dengan gaun malam dengan tali transparan. Dia melipat kaki naik ke sofa dan tertawa dengan cemilan di tangan. Ya, awalnya dia tertawa dan menikmati acara tapi..

"Bahkan membayangkan saja aku merinding!" Gusar Mariah menelan klakson mobil, saat dia akan meninggalkan kawasan perhutanan keluarga Edwardo, di balik pagar hitam baja ada dua mobil yang menghalangi jalurnya. Kedua mobil itu segera menyingkir dan memberi Mariah jalan. Gadis itu mendengus kian kesal. Dia kembali menyisir kesal rambutnya. Moodnya begitu buruk.

Sentuhan hangat dan kasar menelusuri pundak terbuka Mariah hingga pangkal leher. Membuatnya langsung terkejut dan menjauhkan diri. Mariah seharusnya tak perlu seterkejut ini, dia bisa menduga itu perlakuan nakal siapa. Mendapati wajah Edward di belakang punggungnya membuat Mariah menelan ludah pahit. Pria berusia lima puluh tahunan itu memang masih terlihat keren, ya. Edward menua dengan semua kehidupannya yang bebas. Dia terlihat masih prima dan penuh gairah.

"Kau terkejut.." lirih Edward dengan tatapan yang menyimpan banyak hasrat. Membuat Mariah merinding. 

"Ehm.. apa yang kakak ipar lakukan?" Mariah menggeser duduk, seakan menghindari Edward dengan alami. Pria itu memilih duduk di sebelah Mariah. Telapaknya yang tadi menyentuh kulit leher Mariah kini pindah, mengelus lembut paha Mariah, salahkah dia yang memakai gaun mini pendek dengan bahan tipis hampir transparan. Ya, semua orang menggunakan pakaian ini di rumah. Lalu kenapa dengan Mariah. Edward membenarkan tali piyamanya, dia melonggarkan ikatan tali. Pria itu menoleh dan menatap wajah gugup Mariah. 

"Sulit sekali menghindari Edward! Aku tak mengerti kenapa kakak menyiksa dirinya sendiri!" Mariah tak habis pikir. Dia tak mau naif. Mariah gadis bebas. Jangankan model Edward. Dia bisa menikmati tiga pria berbeda dalam satu malam, hanya saja. Kenapa harus Edward! Membuat Mariah terjebak dengan gaya hidupnya sendiri.

"Aku harus keluar dari rumah itu!" Tekad Mariah. Dia memukul kepala. 

"Tapi kalau aku keluar, aku bisa kehilangan kartu debit, mobil dan kehormatan dari orang orang!" Gadis itu ragu membayangkan semua fasilitas kelas atas yang dia dapatkan dari uang Edward.

"Aku harus memikirkan cara lain!" Mariah mempercepat laju kendaraanya.

Tiiinn..

Tiiiinnn!!

"Mengesalkan sekali sih!!" Gerutu Mariah kesal. Dia keluar dari mobil dan bertolak pinggang. Gadis itu segera mencari tahu kenapa mobilnya tertahan laju. Di depan sana lampu menyala hijau. Seharusnya dia bisa melenggang dengan aman. Seorang pria menuntun lansia menyeberangi jalan, semantara tanda penyebrang jalan sudah berakhir. Karena terlalu lamban pria itu menggendong si ibu lansia dan membawanya menyebrang cepat.

"Dia membahayakan diri sendiri!" Kesal Mariah. "Kenapa orang orang peduli, dan menghentikan mobil mereka!" Ya Mariah tak sendiri, dua mobil lain ikut berhenti di depan mobilnya. Itu karena rasa kemanusiaan Mariah, bahkan peraturan tidak punya hati. Jadi sesekali kau gunakan hati daripada peraturan yang tercipta.

"Terserahlah!" Mariah tak peduli, perasaannya sedang tak baik. Dia tak mau terlalu ikut campur.

"Mariiaah.." shit! Apa lagi ini. Mariah mengerjakan mata dan menahan jengkel. Siapa yang memanggil namanya di tepi jalan seperti ini.

"Kau Mariah ya!" Mariah enggan menoleh, tapi baiklah kali ini lupakan dulu kejengkelanku Mariah. Mungkin seseorang yang kau kenal.

Mariah membalik badan perlahan. Dia menyorot dari bawah penampilan lusuh di hadapannya ini. Sepatu kotor, jeans dekil, kaos belel, dan.. bibir tersenyum ramah. Rambut ikal coklat gelap dengan sorot mata terang. Jujur saja Mariah tak menyukai penampilan seperti ini, apalagi menyapanya di tempat umum seperti ini. Lihatlah penampilan Mariah, dan gaya hidupnya. Mereka jelas berbeda.

Sebuah file di tangan pria itu mencuri perhatian Mariah. Dia menautkan alis.

"Benar, kau wanita malam itu. Kau Mariah!"

"Ya.." Mariah memaksakan senyuman.

Sebuah mobil melintas cepat dan melemparkan botol bekas minuman, Lexi bisa melihat jelas sampah yang hampir saja mengenai wajah Mariah, gadis itu refleks menutupi wajah. Tapi Lexi bergerak lebih cepat, dia melindungi Mariah dengan punggungnya. Botol minum itu mengenai punggung Lexi.

"Apa kau baik baik saja?" Tanya Mariah cemas. Wanita itu meneliti punggung Lexi, lemparan botol beling tadi cukup keras. Lexi hanya tersenyum saja.

"Itu bukan apa apa" ujarnya, dia mengelus punggungnya yang berotot. Mariah mengangguk percaya, Lexi terlihat kuat dan macho. 

"Apa yang kau bawa?" Tanya Mariah.

"Hanya tulisan acak, barangkali aku bisa menemukan pekerjaan untuk waktu senggang ku yang panjang.." Mariah manggut manggut paham.

"Berapa hari kau tak mandi?" Ujar Mariah menutup hidungnya. Lexi tertawa mendengar sindiran pedas Mariah.

"Mungkin satu Minggu"

"Kau gila!"

"Ya, begitulah"

"Ayo naik ke mobilku! Kau harus masuk ke dalam car wash nanti!" Kalimat Mariah membuat Lexi terkekeh.

"Sayang sekali wajah tampan yang hot ini. Dan tubuh atletis. Kau menyia nyiakan begitu saja!"

"Apa kau pikir aku tampan dan keren?" Tanya Lexi dengan wajah berbinar.

"Sedikit!"

"Kau bohong, tadi kau mengatakannya dengan jelas."

"Aku menyesali ucapanku.." Mariah melanjutkan perjalanan, sekarang bad moodnya seketika berubah.