Chereads / antara CINTA atau UANG / Chapter 20 - Masa lalu

Chapter 20 - Masa lalu

Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak. 

Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia.

"Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi.

"Ada apa ka?"

"Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau kejam sekali!" Omelnya. Lia semakin heran. Dadanya kian berpacu takut.

"Ada apa ka?" Ulangnya.

"Mana skutermu! Cepat kau susul bibimu, dia di bawa ke rumah sakit. Kenapa kau dan Lexi sulit sekali di hubungi. Kalian mau ibu kalian itu mati sediri. Untuk saja mamaku menjenguk nya!"

"Ada apa dengan bibi!" Lia menerobos kerumunan, dia masuk ke rumah dengan cepat.

"Lia!! Liaaa!!"

Gadis itu sudah lebih dulu masuk ke rumah dan mencari ke kamar bibi. Gak ada siapa siapa. Hanya tempat tidur yang berantakan.

"Kemana bibi ka!" Seru Lia panik kembali ke ruang depan dimana Ella menyusulnya.

"Sudah ku katakan cepat ke rumah sakit!" Gerutu Ella.

"Rumah sakit!!" Suara Lia bergetar.

"Iya, mamaku menjaganya saat ini. Kau harus segera menyusul!" Lia semakin panik.

"Ya!! Aku akan menyusul!" Jawab Lia dengan air wajah panik.

"Kemana sekutermu!" Akh! Lia panik sendiri, hingga dia tak bisa berpikir.

"Aku meninggalkannya di toko!"

"Ah kau ini!" Kesal Ella "segera pesan taksi!" Lia meraih ponselnya dari dalam saku. Ah, dia lupa. Ponselnya kehabisan daya baterai.

"Ponselku mati!" 

"Ya, ampun!" Kesal Ella, "aku harus mengambil ponselku di rumah!" Baru saja Ella membalik badan dia terkejut dengan kemunculan pria tampan di hadapannya. "O, tuhan! Siapa makhluk ini!" Suara Ella setengah berteriak. Dia tak percaya dengan penampilan pria di hadapannya. Sungguh berbeda dari penampilan pemuda di sekitaran sini. Lia mengusap wajah cepat, dia menoleh mendengar suara Ella. Ah, dia masih di sini!

"Max?" Tanya Lia, dia tak bisa menyimpan wajah cemasnya.

"Ada apa Lia, ada yang bisa ku bantu?" Ella mendorong pundak Lia dengan cukup tenaga.

"Jadi kau tak pulang karena pria!" Dengus Ella tak percaya. Lia ingin menggeleng tapi yang ada dia cuma mematung.

"Dimana kau menyimpan motormu?" Tanya Ella mencuri lihat ke belakang punggung max, pria itu ikut menoleh.

"Kau tak memakai motor?" Ella menggeleng tak percaya, penampilan sekeren ini tak punya tunggangan? Apa dia jalan kaki, ah. Akhir akhir ini banyak yang mengadopsi gaya hidup sehat. Ella mencoba mengerti.

"Ella, aku titip rumah, aku akan pergi dengan max ke rumah sakit!" Ujar Lia segera menarik pergelangan tangan max. Pria itu menurut saja.

"Ah, kau harus memesan taksi terlebih dahulu!!" Ujar Ella berteriak saat max dan Lia sudah menyusuri gang ke depan sana.

"Dia tak mendengarkanku!" Kesal Ella. Wanita itu menarik handle pintu dan mengunci rumah bibi Lexi.

"Kau harus hidup dengan dua remaja yang kacau!!" Gerutu Ella tak percaya. Bukankah hanya Lexi yang terkenal suka bersenang senang, sekarang Lia pun demikian. Ella menggelengkan kepala tak percaya.

____

"Lia tak menunggu persetujuan max, dia segera masuk ke mobil pria itu dan menutup pintu. Max menyusul masuk dan duduk di balik kemudi.

"Kemana?"

"Rumah sakit!" Tanpa bertanya lagi max memacu kendaraan melintasi jalanan sepi. Dia menoleh sesaat, menatap wajah panik Lia. Max tak berani bertanya banyak, dia hanya terus memacu kecepatan. Padahal dia cukup penasaran. Hanya saja dia tak mau mengganggu Lia, gadis ini jelas sedang cemas dan takut. Lia menggigit ujung kuku. Bahkan dia belum berganti pakaian.

"Ah, harusnya aku mengganti pakaian" sesal Lia. Max menoleh pada jok belakang, dia menunjuk dengan kepalanya.

"Kau bisa memakai kaosku jika mau" ujar max, menunjuk ke arah belakang, dia memang biasa menyimpan salin di bagasi. 

"Apa boleh?" Tanya Lia.

"Kalau kau mau, kau pilih saja yang sesuai padamu" ujar max.

"Maafkan aku lancang, aku harus mengganti pakaian. Aku takut tak boleh masuk dengan kemeja lusuh ini" max mengangguk setuju.

"Haruskah aku menepi lagi?" Tanya max meminta persetujuan Lia, sepertinya mereka sedang terburu buru. Lia menggeleng.

"Boleh aku melompat ke belakang?" Tanya Lia, max mengangguk saja. Tanpa menunggu lagi, Lia bangkit dan melangkah ke jok belakang, gadis itu mencari apa yang tadi di beri tahu max.

"Di sebuah kotak dengan tutup warna merah" ujar max menjelaskan. "Apa kau melihatnya?" 

"Ya," jawab Lia, dia mengambil satu kaos berwarna putih dengan sablon f pada bagian dada. Gadis itu tahu betul dengan brand ternama ini, meski ini hanya kaos oblong. Dia terlihat ragu dan duduk di kursi penumpang, gadis itu melebarkan kaos dengan menggamit bagian pundaknya.

"Apa aku boleh pakai yang ini?" Max melirik ke kaca depan sesaat, dia mengangguk tanpa ragu. Melihat anggukan max Lia segera membuka pakaiannya, membuat pria itu segera mengalihkan tatapan. Lia menyadari itu. Dia tertawa sinis.

"Sorry, aku pikir tak masalah, kau bahkan sudah melihat semuanya sebelumnya!" Max mengangkat bahu, Lia benar juga. Setelah mengganti pakaian gadis itu kembali ke kursi depan, di sebelah max. Mereka hampir sampai.

"Maaf aku meninggalkan pakaian kotor di mobilmu!" 

"Tak masalah, aku akan mengembalikannya padamu"

"Aku terburu buru dan tak membawa apapun" max mengangguk mengerti.

Mobil masuk ke area parkir, max memutar kemudi dan meluruskan mobil. Dia mematikan mesin dan mencabut kontak, keduanya serempak turun.

Lia berlari ke lobby utama rumah sakit, gadis itu menemui resepsionis.

"Nyonya Helwis, usia lima puluh tiga tahun!" Ujar Lia dengan suara bergetar.

"Ah, sedang dalam penanganan intensif di ruang ICU" tak menunggu lagi, Lia segera mengikuti arah paling, dia menelusuri lorong dan mencari ruang ICU bibinya.

Max baru saja menyusul langkah cepat Lia, tapi terjeda karena ponselnya berdering. Pria itu mengangkat panggilan telepon dari Pauline.

Pauline : sayang, kau dimana? Kau belum selesai? Apa kau masih di kampus?

Max mengusap wajah. Dia tak mungkin berkata jujur.

Max : ya ma, aku masih di kampus, ada sedikit kendala. Listrik disini tiba tiba terputus, membuat tugasku banyak tertunda!

Maafkan aku mah, aku tak bisa berkata jujur, kau akan kecewa denganku.

Pauline : baiklah kalau begitu. Tapi jika kau tak pulang mungkin kita tak bertemu, karena besok aku akan pergi ke Sevilla, ke pinggir kota.

Pauline selalu saja sibuk, dia menyempatkan pulang saat weekend, tapi tampaknya weekend ini dia masih menyisakan jadwal lain. Max sedikit bingung, dia ingin bertemu Pauline.

Max : aku akan pulang ma. Kau tunggulah dulu! Aku segera pulang, dan menyelesaikan tugas di rumah!

Max memutar badan, dia kembali ke parkiran, pria itu lupa dengan Lia. Yaa, dia juga ada kepentingan lain. Beberapa bulan sekali Pauline mengunjungi Sevilla. Dia bilang, ada hal penting yang dia urus di sana. Terkadang max penasaran dan ingin tahu, hanya saja Pauline sepertinya masih enggan terbuka.

"Sevilla kota kenangan Edward, kau akan terkejut menemukan banyak masa lalu di sana, bahkan menyisakan pekerjaan yang masih terus aku selesaikan. Sevilla memenjara orang yang tak seharusnya ada di sana!!" Setiap max bertanya urusan Pauline di Sevilla. Itulah jawaban lugas Pauline dengan wajah yang sendu.

Sebenarnya ada apa dengan Sevilla.