Chereads / Dari Rimba Menuju Cerah / Chapter 1 - Mulai Menerka Kisah

Dari Rimba Menuju Cerah

Abi_Fadila
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 14.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Mulai Menerka Kisah

Pagi ini terasa seperti di neraka. Padahal sudah terbiasa hidup di tengah belantara kota Jakarta. Kulangkahkan kakiku yang malas keluar rumah dari jeratan kasur yang nikmat, untuk pergi berangkat ke sekolah. Hari ini adalah hari pertamaku berjumpa pada jenjang sekolah SMA. Sangat sial diriku tak menghendaki sekolah itu, marah sekali waktu pertama kali melihat pengumuman di halaman digital penerimaan khusus daerah Jakarta kalau diriku tidak diterima di sekolah negeri. Padahal sudah mencari-cari dan mendaftarkan sekolah negeri pada tingkat kasta yang paling rendah. Tetapi tetap saja jawabannya tidak diterima. Terpaksa aku harus bersekolah di SMA swasta yang tentunya tidak murah biaya semesternya, padahal ada sekolah yang lebih islami dan lebih murah. Dan aku pun tidak mau karena alasan gengsi. Sebelumnya berdebat dengan ibuku, kalau aku hanya mau bersekolah di sekolah yang aku inginkan atau aku ancam Ibu dengan ultimatum tidak akan melanjutkan sekolah, seperti anak-anak di daerah rumahku yang banyak putus sekolah dan berakhir menjadi orang gila atau dipenjara karena telah berani mencoba-coba menggunakan narkoba. banyak orang bilang kalau ijazah tidak dapat menentukan keberhasilan seseorang dari kehidupannya tapi nyatanya yang putus sekolah banyak yang miskin juga, banyak yang jadi gembel khususnya di Jakarta, banyak juga yang jadi tukang parkir liar atau pedagang kaki lima dan asongan. tetapi baru-baru ini dengan hadirnya ojek online di Indonesia nasib orang banyak mendapat angin segar walau proses diterimanya di masyarakat terkadang menelan korban menimbulkan kontra dengan warga angkot dan ojek pangkalan. hanya segelintir orang saja tokoh-tokoh inspiratif yang gagal di sekolahnya namun sukses di dunia nyata. tapi kenyataannya lebih tragis untuk disaksikan seksama, keduanya sama-sama memprihatinkan. yang buruh tetap miskin sedangkan yang pengusaha takut jatuh miskin.

Namaku Radiman gilang sastra. Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku berasal dari keluarga yang miskin, namun aku adalah anak broken home yang seharusnya terjadi hanya pada anak-anak orang kaya. Setiap pagi hari ibuku selalu menyiapkan barang dagangannya, jika malam hari ibuku berada di pinggir jalan, berdagang rokok, mie dan minuman sebagai pedagang kaki lima. Sedangkan ayahku seorang satpam di sebuah kantor tekstil di Jakarta Selatan, tidak setiap hari ayahku pulang. terkadang tiga kali sehari baru pulang kerumah, terkadang pula satu Minggu sekali baru pulang. Kalau ibuku dan ayahku berada satu waktu di rumah, akulah penonton setia dari pertengkaran mereka berdua. Ibuku selalu menuduh ayahku sudah lama memiliki istri simpanan, apalagi jika seminggu dia tidak pulang. Pasti rumah bagaikan kebun binatang. Padahal ayahku kerja sebagai satpam, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga. Dari pandanganku ayah adalah lelaki yang sangat bijak dan juga religius, tidak pernah keluar perkataan yang kasar darinya saat bertengkar dengan ibuku. Padahal ibuku sering merendahkan jati dirinya sebagai kepala rumah tangga. Apalagi saat berada di rumah, hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk membaca kitab suci Al-Qur'an. Terkadang diriku seringkali melihatnya meneteskan air mata hingga membasahi sajadah miliknya, sesudah setiap shalat wajib. Itu sebabnya terkadang aku menaruh benci pada ibuku. Maka jadilah diriku seorang anak yang dididik seperti layaknya seorang anak binatang buas tas mania devil.

Hari ini diriku masih seorang aku yang lama. Yang sukanya bergadang dan nongkrong malam bersama teman-teman. Yang masih suka berkelahi dan menghabiskan duit orang tua untuk suka-suka. Mirip seperti kemarin ibuku hampir terkena serangan jantung karenaku, alasannya diriku hampir memecahkan kepala seorang remaja seusiaku karena mencoba mencari masalah denganku. Hasilnya ibuku harus membiayai pengobatan yang tak murah kepada rumah sakit. Itupun diriku harus bersyukur karena tidak dituntut masuk penjara oleh keluarganya, karena ibuku yang memohon belas kasih sampai-sampai merelakan harga dirinya hanya untuk mencium kedua kaki seorang ibu dari korbanku. Kehidupanku pun dihabiskan pada malam hari, lalu siang harinya untuk tidur. Sama seperti waktu bersekolah di tingkat SMP dahulu, bisanya hanya tidur di kelas. Biar pun begitu aku tetaplah menjadi murid yang paling rajin masuk kesekolah.

Pagi ini kutemui Pak Tohang, seorang tukang ojek pengkolan di daerah rumahku. Pak Tohang merupakan seorang pekerja yang luhur, seorang yang cinta akan pekerjaannya. Banyak orang-orang tua yang berprofesi seperti dirinya, berhijrah menjadi tukang ojek online demi mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan keluarga. Tetapi tidak dengan dirinya yang bertahan hidup apa adanya. Padahal dia miskin, tetapi kepribadiannya yang jujur dan amanah telah menyelamatkan dirinya dari kemiskinan jiwa yang kering kerontang. Tak heran jika banyak yang ingin berlangganan ojek dengannya, dari yang miskin hingga yang kaya dilayaninya dengan senang hati. Saking jujur kepribadiannya pernah seorang pelanggan ojeknya yang kelebihan membayar uang ongkos perjalanannya padahal cuma lima ratus perak, menyadari akan hal itu Pak Tohang rela pergi kembali dari Jakarta pusat ke Jakarta barat hanya untuk mengembalikan uang lima ratus perak. Apalagi suatu waktu tindakannya pernah membuat orang-orang terkesan padanya, tetapi tidak pada ibuku yang kesal dengan kejujurannya. Ibuku pernah berkata, "dasar Tohang bodoh! Tapi miskin." Ketika aku tanyakan mengapa ibuku menggerutu seperti itu. Ibuku menjawab, "si Tohang, ketemu duit lima juta di kantong plastik. Malah diserahkan ke Pak RT, bukannya diam-diam aja. Padahal dua bulan tunggakan kontrakan belum dibayar!!!".

Kulihat pagi ini Pak Tohang berada di depan teras halamannya, sambil menyeruput secangkir kopi dengan sepotong singkong rebus sebagai pelengkap.

"assalamualaikum, pak."

"walaikumussalam, Nak Diman." balasnya. "mau ngojek kesekolah?"

"iya dong Pak Tohang." jawabku.

"bentar yak, Nak Diman."

lalu Pak Tohang masuk kedalam rumahnya dengan kedaan bibir yang masih basah juga kotor oleh kopi dan bercak putih karena serpihan singkong rebus yang hancur dari giginya yang jarang-jarang. kemudian kembali keluar menemuiku dengan membawa jaket dan helm.

"memangnya sekarang sekolah dimana?"

"sekarang saya sekolah di SMA Luniya Jaya II, yang dekat perbatasan jalan sunter-kemayoran."

"oh tahu aku! itukan sekolahku dahulu."

"wah berarti Pak Tohang alumni disitu." ucapku.

"mestilah! aku ini angkatan 98." timpalnya. "disitukan tempatku bertemu guru agama yang sekarang mengubah cara pandang hidupku terhadap dunia selama ini."

"siapa Pak, namanya?" tanyaku.

"haji Ghofur, nanti juga kamu tahu orangnya." jawabnya "tapi itu juga kalau dia masih ngajar! dengar-dengar sih beliau mau pensiun."

kami pun segera berangkat menuju sekolah baruku, mengendarai motor legenda tua yang sudah usang miliknya. Pak Tohang mengantarkan diriku hingga depan gerbang sekolah warna biru, terkadang Pak Tohang melengos ke sekolah. menatapnya dengan mata berbinar sedikit air mata. kubayar ongkos ojeknya pun dia hanya diam. baru setelah kulangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah, Pak Tohang berteriak.

"Nak Diman! tolong sampaikan salamku padanya."

aku pun menoleh dan tersenyum, serta mengangguk. memberikan isyarat kalau nanti akan kusampaikan salamnya.

sekarang diriku berada di sekolah Luniya jaya II, sekolahan dengan gedung bertingkat tiga berwarna putih dan biru. kelasku berada di lantai paling bawah, kelas 10 IPS. kelas 10 hanya ada dua kelas. dan kelas 10 IPS berdampingan dengan 10 IPA. jumlah siswa di kelas 10 IPS berjumlah 30 siswa dengan 20 anak laki-laki dan 10 anak perempuan, sedangkan 10 IPA berjumlah 27 siswa dengan 11 anak laki-laki dan 16 anak perempuan. seperti tradisi sekolah pada umumnya, hari pertama sekolahku dimaknai dengan kegiatan pengenalan kegiatan dan lingkungan sekitar sekolah. atau seringkali dinamakan MOS (masa orientasi siswa) yang biasanya berlangsung selama tiga hari. pagi ini kududuk di bangku paling belakang, dengan wajah malas sembari menaruh daguku di atas meja. kemudian mendengarkan materi dari seorang Bu guru BK yang bernama Ningrum. dia cantik, muda dan menggoda. dapat dengan mudah membuang rasa bosan dan juga kantuk para siswa. banyak siswa yang menghayal, berharap berduaan dengannya di dalam ruang BK. rambut lurus hitam berkilau sebahu, tubuh berkelok ramping, warna kulit cokelat langsat khas orang-orang sunda, dan tentu gundukkan berisi di sebelah ketiak yang menjadi daya tarik remaja lelaki. maklum anak-anak remaja lelaki zaman sekarang. lebih sigap menangkap yang berbau dengan seks, daripada melihat keindahan ciptaan Tuhan lainnya. terutama setelah melewati masa pubertas, kira-kira pada tingkat sekolah SMP mereka sudah berani menelusuri jejaring web terlarang.

tiba-tiba dari samping kanan tempatku duduk. bangku kosong di sebelahku, dihampiri seorang siswa lelaki. tampaknya dia sudah tak asing bagiku. betul saja, saat menoleh kepadanya. rupanya dia Tio remaja lelaki keturunan Betawi-Tionghoa, orang yang sudah lama kukenal. kulihat di kepalanya masih ada luka sepuluh jahitan yang sudah mulai mengering. dialah seorang remaja yang hampir kupecahkan kepalanya. kejadian itu terjadi bermula saat kami berlima aku, Tatang, Salim, Sarif dan juga Tio bermain judi kartu buah-buahan. kami berempat sangat jengkel karena selalu kalah bermain judi dari Tio, walau sekali main taruhannya hanya lima ribu. hampir tiga ratus ribu, diraihnya setiap malam minggu. emosiku meluap saat kutahu bahwa dia menyimpan kartu cadangan yang terjatuh dari sela-sela sweater merah miliknya. kuhajar rahangnya hingga terjatuh di aspal, lalu kuinjak-injak kepalanya sampai wajahnya berlumuran darah. hampir kuterjang kepalanya dengan puing-puing batu di jalanan, tapi beruntung nasibnya. teman-teman yang lain mampu melerai perkelahian yang tidak seimbang itu.

dan sekarang masalah itu sudah berlalu, begitulah pergaulan remaja lelaki di tengah belantara kota Jakarta. tidak mudah mendendam, apa adanya, namun sangat berbahaya.

Tio menyapaku, lalu langsung duduk di samping bangku kosong yang berada di sisi kananku.

"hei elu, Diman!" bisiknya. "hahaha, sekarang satu sekolah! satu kelas lagi."

"yahhh, elu lagi io." balasku. "masih hidup lu rupanya! males gue lihat muka lu."

kami pun tertawa lepas bersama, ternyata benar sekali kata orang-orang. kalau kehidupan hanya selebar daun kelor. namun dari arah depan sontak saja terdengar suara, "sssttt!" sebuah isyarat jangan berisik.

"kalau mau ketawa-ketiwi, mendingan di luar saja!" ucap Bu Ningrum dengan suaranya halus, disertai wangi harum ocean parfum miliknya.

kami berdua pun menjadi senyap, demi mengahargai Bu guru cantik di dalam kelas.

sekarang diriku merasa senang karena esok hari diriku tak perlu lagi menggunakan jasa ojek motor butut Pak Tohang lagi. alasannya esok hari aku dan Tio akan berangkat bersama kesekolah, mengendarai Vespa matic warna hitam miliknya.

semenjak pertemuanku ini dengan Tio, kami berdua mulai menjadi seorang sahabat. memang harus kuakui sebenarnya Tio mempunyai pribadi yang loyal kepada orang-orang terdekatnya, tetapi tetap kuakui juga dia adalah tipe teman yang toxic. bagaimana tidak baru satu hari pertemuanku di sekolah dengannya, sepulang sekolah dia berencana mengajakku menonton Road Race jam dua pagi di dekat putaran monas. namun itu semua kuterima dengan senang hati, karena bukankah hidup harus dinikmati dengan senang-senang. selagi masih muda dan hidup hanya sekali. aku ingin masa mudaku dijalani sebagaimana mestinya. hari-hari sekolah pun akan terus kami jalani sebagaimana siswa-siswa sekolah. kami niatkan bersekolah hanya untuk mendapat selembar ijazah, berharap nanti lulus mudah mendapat kerja. tetapi amat disayangkan kegiatan sekolahku selalu diracuni dengan rasa malas, selain hanya mendengarkan materi yang kulakukan di dalam kelas hanyalah tidur. tugas-tugas sekolah kukerjakan apa adanya, karena menurutku sudah mengerjakan saja sudah bagus. benar atau salahnya bukan urusanku, mau dinilai atau tidak yang terpenting orang tuaku selalu membayar uang SPP bulanan tepat waktu. bukankah pemahaman yang seperti itu dikonsumsi masyarakat dunia. memang benar uang tidak dapat membeli segalanya, tetapi segalanya membutuhkan uang. Bersambung.