Chereads / Dari Rimba Menuju Cerah / Chapter 2 - Menjalani dan Berjalan di Lorong Sepi Hingga menemukan Cahaya

Chapter 2 - Menjalani dan Berjalan di Lorong Sepi Hingga menemukan Cahaya

waktu mengalun mudah berlalu, seperti daun di musim gugur yang terjatuh kemudian tersapu angin. hingga tak terhitung berapa jumlah daun yang jatuh dan mana yang mulai tumbuh.

seperti inilah diriku, satu tahun yang lalu aku hanyalah siswa baru. satu minggu yang lalu kakak kelas 12 baru saja lulus, dan sekarang aku telah naik ke kelas 11. aku berhasil naik tingkat kelas 11, padahal nilaiku banyak yang berantakan. tak masalah bukan, jangan heran hal itu dapat terjadi mungkin karena orang tuaku tepat waktu membayar SPP bulanan. ini membuktikan kalau segalanya membutuhkan uang. stigma ini sering terjadi pada bidang apapun, termasuk bidang pendidikan. karena segalanya itu dilandasi dengan istilah kerja sama antara anda senang berarti bapak juga senang. apalagi yang sering terjadi pada sekolah-sekolah swasta, seperti sekolah di kota Jakarta. sedangkan untuk sekolah-sekolah negeri hanya mau menerima siswa yang cukup pintar saja. sisanya dibiarkan begitu saja atau paling tidak bersekolah di sekolah swasta, padahal kewajiban sekolah adalah mendidik anak dari yang kurang bisa menjadi bisa. realitas tersebut terus terjadi, dan tiap tahunnya sekolah swasta selalu menaikan harga bayaran SPP semester. ironi sekali yang mestinya pendidikan menjadi tempat belajar anak-anak bangsa, yang seharusnya sesuai dengan konsep pendidikan nasional malah menjadi ajang kompetisi antara orang miskin kontra orang berduit. dari dalam benakku sebenarnya ada apa sih dengan pendidikan nasional di negara kita kok gini amat rasanya, lulus sekolah paling juga jadi budak dunia di tanah kelahirannya sendiri jangan harap deh demi kemajuan bangsa. kemajuan bangsa cuma janji promosi partai politik saja, kalo berani coba dong fasilitas baik kualitas maupun kuantitas pendidikan nasional disetarakan hingga desa-desa. Pasti tak akan bisa, paling cuma bisa buat kartu-kartu ajaib. untuk apa itu semua; apakah cukup meyakinkan kalau kita bangsa peminta-minta saja. sebenarnya saya masih berharap pada masa depan negara ini yang dimana kelak suatu hari nanti anak-anak bangsa entah anak-anakku nanti atau cucu-cucuku nanti bisa mencicip pendidikan setinggi langit tanpa khawatir adanya biaya yang ditanggung pundak orang tuanya. adakah ratu adil yang akan mewujudkan keadilan demikian. oh memang indah bermimpi di siang hari bolong tentang bangsa ini gimana jadinya nanti.

kembali lagi ke ceritaku yang tadi, di sini hanya mata pelajaran sejarah dan sosiologi saja yang tidak terlalu buruk nilai yang kudapat. tetapi itu cukup membuatku bangga pada diri sendiri, karena hasil sendiri. ingat malas membaca lebih berbahaya daripada rokok dan mie instan keduanya murah tetapi menyebabkan kecanduan walau juga penyebab penyakit jangka panjang yang mematikan sedangkan malas membaca paling tidak dapat menyebabkan penjajahan dan pembodohan selama hampir ratusan tahu generasi, kalau tidak percaya tengok sejarah bangsa Indonesia kala bernama Hindia-Belanda yang bisa baca tulis saja cukup lebih bersyukur dapat kerjaan yang tidak memberatkan walaupun masih di bawah belenggu ketertindasan. setidaknya hasil yang kudapat bukan hasil mencontek dari teman, nilai apa adanya, pengetahuan yang terlanjur pasrah karena malas membaca. pernah terbesit di pikiranku mungkin guru-gurukulah yang tak mampu memahami jawaban-jawabanku dari ujian sekolah yang kukerjakan. mungkin mereka terlalu menghamba pengetahuan hafalan di buku paket, dibandingkan pengetahuan baru yang diraih oleh nalar siswa. sebenarnya ibuku sangat marah telah mengetahui kalau nilaiku banyak yang merah. tetapi ibuku adalah seorang wanita pemaaf dan penyayang. sebab menurut ibuku nilai yang jelek hanya sebatas kertas, tetapi semangat bersekolah tak boleh luntur. karenanya dengan bersekolah anak-anak dapat dididik secara mental, moral dan disiplin. ibuku juga selalu menjaga lisannya jika berhadapan dengan anak-anaknya, tak pernah sekalipun walau dia marah padaku. untuk tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang yang beriman, kalau ucapan adalah doa. pernah sekali kudengar seorang ibu dari anak perempuannya, yaitu tetanggaku yang kemarin telah memarahi anak perempuannya sendiri. kata-kata yang paling kuingat kira-kira seperti ini. "dasar anak gak tahu diri! kamukan anak perawan! jangan pulang malam-malam dong. memangnya kamu mau disebut pelacur...ha!!!". tak lama seminggu kemudian, sesuatu terjadi pada anak perempuannya. tertera di bio media sosialnya Open BO. mungkin ini yang di maksud oleh orang-orang beriman, kalau ucapan adalah doa.

siang ini menunjukkan pukul satu siang, waktu Indonesia barat. seharusnya sudah lima menit yang lalu, sudah dimulai mata pelajaran sejarah. tapi tampaknya guru sejarah Pak Miftah berhalangan hadir, sudah dipastikan sekarang waktunya jam kosong kelas. surgawi bagi murid-murid pemalas seperti diriku. biasanya diriku sengaja tidur kalau ada jam kosong di kelas, tapi rupanya tenggorokanku seakan terasa kering sekali. siang ini sungguh panas padahal di kelas sudah ada AC. dan aku pun membutuhkan air jeruk segar buatan Bu Inem di kantin. mula-mula mulai kuhasut si Tio, "io kantin yuk!"

"ngapain?" tanyanya. "biasanya juga lu tidur!"

"jajanlah! masa iya tidur di kantin."

"lah! belum lama tadi istirahat."

"haus lagi nih!" balasku. "ayoklah, gak setia kawan nih."

"ya udah, ayok!" ucapnya, dengan raut wajah terpaksa. "tapi, bayar sendiri-sendiri yak!"

"beres deh." balasku.

kami berdua berjalan menuju kantin Bu Inem. di lorong penghubung antara tangga yang diatasnya adalah ruangan kelas 12 IPS yang berbagi dengan kelas IPA dan kantin di bawahnya, kami melihat tiga siswa kelas 12 IPS sedang membully seorang Pak Tua tukang bersih-bersih sekolah. mereka menirukan jalannya Pak Tua itu yang aneh, layaknya seekor pinguin. mereka tertawa lepas sembari berteriak, "pinguin! pinguin! pinguin!" dengan berjalan kaku mengelilingi Pak Tua itu.

"dasar manusia bajingan!!!" kataku dalam hati. bajingan itu harusnya malu berseragam sekolah, ahhh kelakuannya lebih pantas disandingkan dengan monyet yang teriak-teriak kalau dikasih pisang.

kulihat di samping tangga ada dua sapu yang menganggur dengan gagangnya yang terbuat dari rotan, lalu kubawa keduanya. kubawa keduanya dengan satu di tangan kanan dan satu lagi di tangan kiri, kemudian berlari kearah mereka yang sedang melakukan penghinaan itu. kutebas ketiganya menggunakan dua sapu sekaligus; syattt, kuayunkan kedua sapu itu dari kanan ke kiri seperti seorang samurai Jepang. sampai salah satu diantaranya jatuh tersungkur. terus kuhujani secara bertubi-tubi tebasan sapu dengan keras dan cepat.

"biadab! biadab! biadab!" teriakku dengan membabi buta.

dua dari mereka berusaha melawan balik, dengan mencoba merebut sapu yang kupegang. namun mereka gagal karena kakiku yang ikut menendang-nendang badan mereka. Anton, Romi, Igoy adalah ketiga bajingan itu. sedangkan Tio berusaha meleraiku, tapi gagal karena takut terkena tebasan sapuku yang sudah gelap mata seperti orang yang sedang kerasukan setan. suara kericuhan itu terdengar sampai kantin dan mengundang perhatian siswa di lantai dua untuk menyaksikan keributan kami berlima. kericuhan itu baru selesai ketika Pak Miftah yang lari kearah kami dari arah kantin, untuk ikut melerai. "woiii...kalian berhenti!!!" pekiknya. "ini sekolahan bukan colloseum. kalau mau tawuran lawan saya!!!".

seragamku basah kuyup, bermandikan keringat. sedangkan tiga siswa kelas 12 IPS itu lebam-lebam karena kuhajar habis-habisan. kemudian kami berlima digiring oleh Pak Miftah menuju ruang kepala sekolah, untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kami berlima. yang disusul dari arah belakang oleh Pak Tua cleaning service. inilah momen pertama kalinya diriku masuk keruang kepala sekolah seperti seorang tahanan. ini juga pertamanya diriku berhadapan langsung secara tatap muka dengan kepala sekolah, yang sebelumnya hanya dapat kupandangi dirinya ketika upacara saja atau kegiatan-kegiatan ceremonial lainnya. perawakannya kurus tua, hidung mancung keturunan Arab, berjanggut putih dengan warna kulit cokelat terang dan tinggi badan kira-kira seratus tujuh puluh sentimeter. bersorban dengan peci songkoknya warna hitam yang khas, mirip seperti salah satu gambar di cover buku milik ayahku dengan judul memoar Buya Hamka. selain menjadi kepala sekolah dia juga mengajar di mata pelajaran pendidikan agama Islam di kelas 11 dan 12. mangkanya diriku belum pernah diajarnya, sebab ketika di kelas 10 yang mengajar pendidikan agama Islam adalah Pak Salim. seorang guru yang membosankan, metode mengajarnya pun terkesan hanya itu-itu saja. para siswa hanya diwajibkan mendengarkan ceramahnya saja yang membosankan serta tugas-tugas tulis yang terkesan hanya menghabis-habiskan kertas. tapi hari Kamis nanti kepala sekolah yang akan langsung menangani dan mengajarkan pendidikan agama Islam di kelas 11 IPS kami. berbeda dengan Pak Haji Ghofur. yang desas-desusnya kudapat dari kakak kelas kami, mengenai kepribadian dari kharisma mengajar kepala sekolah kami adalah dia seorang yang bijak dan juga tegas. kepala sekolah itu bernama Haji Ghofur, nama yang tak asing bagiku dan pernah kudengar dari seseorang.

Pak Miftah mengantarkan kami berlima keruangan kepala sekolah, yang langsung memberi tahu kepada kepala sekolah tentang masalah apa yang sedang terjadi. "ini Pak mereka berlima nekad tawuran dekat kantin." kami pun disuruh menjelaskan alasan kami berlima mengapa bisa tawuran di lorong kantin. namun tiba-tiba Pak Tua tukang bersih-bersih sekolah datang keruangan kepala sekolah dan menjelaskan kronologi yang sudah terjadi secara rinci, jelas dan padat. bersyukur diriku Pak Tua itu tidak pikun, penjelasannya bisa menjadi alat pembelaan bagiku. "Nak Diman dan yang satunya lagi hanya membelaku" tukasnya, Pak Tua itu lalu menunjuk ketiga Siswa bajingan itu. "mereka bertiga kurang ajar! jadi Nak Diman berbuat begitu." mendengar penjelasan Pak Tua, Haji Ghofur tertawa dan tersenyum memandangiku.

"niat dan tindakanmu baik, tetapi caramu sungguh salah." ucapnya, dengan suara berat. "minta maaflah pada kakak kelasmu."

aku pun turut mengarahkan tangan kananku kearah mereka bertiga, isyarat kalau diriku meminta maaf. tetapi rupanya mereka enggan menjawab tangan kananku.

"Pak! kami tidak mau memaafkan dia. dia sudah menghajar kami seperti orang kesetanan." kata dari salah satu mereka. "kalau mau! gantian kami hajar dia biar lebam-lebam."

"rasa sakit kalian itu tidak sebanding dengan dosa kalian menghina orang tua." timpal dari Pak Haji Ghofur. "bukankah lebih mulia jika memaafkan duluan! lagipula andaikan orang tua kalian yang dihina, lalu bagaimana perasaan kalian melihat orang tua kalian bertiga dihina?"

mereka bertiga hanya terdiam tidak mampu berkata-kata.

"ya sudah toh, kalian mesti minta maaf juga kepada Pak Ramli. kalau tidak diberi maaf, kalian semua akan saya laporkan kepada orang tua kalian dan kami berikan surat pemanggilan sekolah." ucap lagi Pak Haji Ghofur.

"saya juga tidak ridho memaafkan mereka bertiga. sampai mereka bertiga mengaku bersalah dan memaafkan, Nak Diman." tambah Pak Ramli.

suasana semakin tegang, mereka bertiga masih saja angkuh pada pendirian mereka. padahal jelas-jelas mereka yang terlebih dahulu melakukan tindakan yang tak terpuji itu.

"baiklah Pak! kami mengaku bersalah dan berjanji tidak melakukan kesalahan seperti itu lagi, serta mau memaafkan kesalahannya Diman. mungkin kami bertiga juga akan melakukan hal yang sama, seperti yang Diman lakukan. jika melihat orang tua kami diperlakukan tidak pantas seperti itu." ujarnya dari perwakilan diantara mereka bertiga, setelah menunggu beberapa menit hasil dari mereka berdiskusi.

suasana pun sudah mencair dari beberapa menit suasana tegang tadi, dari pihak mereka bertiga akhirnya mau melunak. mengaku bersalah dan mau memaafkan kesalahanku, yang menurutku itu bukanlah salahku tapi balasan atas dosa dari apa yang mereka perbuat terhadap Pak Ramli. tetapi aku tetap bersyukur masalah ini tidak berlarut panjang.

"Alhamdulillah, kalau begitu sekarang kalian bersalaman. dan ridho! itu semua dari hati kalian." kata Pak Haji Ghofur.

kami pun saling bersalaman, mengikuti perkataan kepala sekolah. setelah itu kami diperkenankan memasuki kelas masing-masing. saat berjalan menuju kelas. aku dan Tio, berjalan berdampingan dengan Pak Ramli.

Pak Ramli berbisik kepadaku, "sebelumnya aku berterima kasih padamu, Nak Diman. karena membelaku tadi. tapi lain kali, Nak Diman tak perlu membelaku lagi seperti itu. terutama kalau berurusan dengan mereka bertiga!"

"memangnya mengapa Pak?" tanyaku.

"aku tak mau membuatmu kena masalah seperti tadi. mereka bertiga itu terkenal sadis!" balasnya.

"sudah menjadi sifatku Pak Ramli, bertindak seperti itu." kataku.

"yo wes, kamu harus hati-hati!" ujarnya.

"baik, Pak Ramli" balasku.

aku dan Tio lalu masuk ke kelas, mengikuti pelajaran seperti biasanya, seolah-olah yang tadi terjadi dapat dilupakan seperti angin membawa daun kering dan berharap tidak ada pembalasan di suatu hari nanti.

pukul waktu menunjukkan jam setengah tiga sore, sudah terdengar bunyi bel sekolah yang terakhir. merupakan pertanda waktunya seluruh siswa boleh pulang kerumahnya masing-masing. aku dan Tio pun ikut nimbrung ramai-ramai berjalan keluar kelas dengan siswa lainnya menuju parkiran motor sekolah karena segera ingin cepat-cepat meninggalkan sekolah. diparkiran Tio segera mengeluarkan motornya dari barisan para motor yang terparkir rapih di samping halaman sekolah. kami berdua merasa seperti ada yang mengawasi, lalu kulihat dari gerbang sekolah. terlihat remaja siswa yang perawakannya tak biasa datang berjalan mengarah kami berdua. tinggi badannya kira-kira seratus delapan puluh sentimeter, dengan tubuh tegap, kekar, rambut gondrong, cambang dan bewok yang semakin membuatnya bertambah terlihat gagah ketika sedang berjalan. rupanya aku dan Tio sudah kenal dengan siswa itu. orang itu bernama Effendi, siswa kelas 12 IPS. dia juga berteman dengan tiga orang yang tadi siang kuhajar habis-habisan. dia adalah salah satu remaja yang disegani khususnya di wilayah Kemayoran karena eksistensinya berani melawan gengster-gengster di Jakarta. bahkan ayahnya pun seorang jawara Betawi, pemimpin cabang ormas Betawi di anak cabang Jakarta pusat.

Tio berbisik padaku dengan suaranya yang pelan, "mampus kita! bisa-bisa di bantai nih, sama Bang Fendi. diakan teman satu kelas orang yang tadi siang kau hajar. mungkin dia datang menuntut balas pada kita berdua."

tiba-tiba kedua kakiku menjadi lemas dan gemetar, wajahku mulai pucat. inilah momen pertama kalinya diriku, ragu untuk berkelahi dengan orang. sedikit demi sedikit, desir langkah kakinya mulai terdengar jelas di telingaku. sekarang kami berdua saling berhadap-hadapan dengannya.

"lu berdua gak perlu takut, sama gue!" ucapnya. "gue gak bakal berbuat macem-macem sama lu berdua. gue cuma mau berterima kasih sama lu berdua karena sudah ngasih pelajaran ke teman-teman gue tadi siang."

"memangnya mengapa Bang! kok Abang malah berterima kasih?" tanyaku dengan gemetar.

"gue juga sebenarnya benci sama mereka yang berlaku semena-mena sama orang lain, apalagi bersembunyi dibalik nama gue."

"kenapa gak abang sendiri aja, yang kasih pelajaran ke mereka?" tanyaku lagi.

"sebenarnya sudah lama gue kasih pelajaran ke mereka bertiga, tetapi selalu saja mereka tidak pernah berubah. mungkin orang-orang masih takut kepada mereka, karena mereka bertiga masih teman gue." jawabnya. "lu berdua tenang saja, jika mereka mau membalas bilang saja sama gue. atau katakan saja, kalau lu berdua adalah saudara gue."

"baik Bang Fendi, terima kasih." ucapku.

tak lama kemudian Bang Fendi berjalan pergi meninggalkan kami berdua, dia pergi menuju keramaian kawanannya yang ada di luar gerbang. sepertinya kawanannya sudah lama menunggu Bang Fendi. kakiku masih lemas dan gemetar, tetapi perasaanku sudah lebih tenang. bahkan sekarang rasa percaya diriku sudah datang kembali, aku juga tidak perlu khawatir lagi sama orang-orang yang ingin menggangguku karena Bang Fendi bersedia menjamin keamananku. kata-kata Bang Fendi tadi mengingatkanku pada Quotenya Che Guevara. memang wajahnya hampir mirip, mungkin kalau dia memakai baret orang-orang akan menyangkanya Che hidup lagi.

"io! langsung anterin gue pulang aja, ya." kataku. "sore ini gue gak ikut nongkrong."

"kenapa Man?" tanya Tio. "lu masih takut! sama anak kelasan 12!"

"bukan! sore ini gue mau nganterin nyokap ke rutan Cipinang." jelasku. "Abang gue hari inikan, bebas."

"oh si bang Fathur, ya. Abang pertama lu." ujarnya.

"iya" balasku.

"gak terasa, ya. udah lima tahun berlalu."

Tio menyalakan motor Vespa maticnya, segera mengantarkanku pulang kerumah. kulihat dari kejauhan ibuku sudah menungguku di depan rumah. tampaknya dia sudah lama menunggu, terlihat dari bibirnya yang sudah kering. juga raut wajahnya yang terlihat jelas kelelahan, serta di matanya tampak kerinduan seorang ibu kepada sang anak.

"Man! ayo cepat ganti baju. abangmu pasti sudah lama menunggu kita di sana."

"memangnya kita mau naik apa Bu?"

"udah tenang saja, ibu sudah minta tolong pada Bang Farid untuk nganterin kita ke sana. menggunakan mobil mikroletnya." balas ibu. "sudah sana cepat ganti baju. jangan banyak tanya!" ucapnya lagi.

kami berangkat menuju rutan Cipinang sekitar pukul tiga lewat lima belas menit, sore ini jalanan memang tidak terlalu macet. namun kami sedikit terlambat ketika melintasi stasiun Jatinegara. banyak kendaraan yang ramai berdesak-desakan, mengantre di depan stasiun. mereka juga banyak yang berdatangan berasal dari arah pondok kopi dan Bekasi, biar pun begitu perjalanan kami hampir sampai ke tempat tujuan.

sebenarnya abangku Fathur pernah diciduk dua kali dengan kasus yang sama, cuma waktu itu ibuku berhasil menyuap oknum aparat keamanan sebelum berkas kasus abangku masuk ke jaksaan. lalu penangkapan yang terakhir telah membuat abangku benar-benar mendekam di dalam rumah tahanan Cipinang selama hampir lima tahun, padahal dua teman abangku di hari yang berbeda juga diciduk tetapi entahlah mungkin dengan cara yang sama seperti yang dilakukan ibuku dua orang itu berhasil bebas. sedangkan abangku tidak, itu karena ibuku tidak punya uang yang cukup lagi untuk melakukan cara yang sama. apa yang ibuku lakukan benar-benar membuat keluarga kami terjerat hutang yang banyak. aku bersyukur masih mempunyai kerabat yang kaya dan peduli kepada kami, yaitu tanteku yang bernama Kirana. sehingga aku masih bisa bersekolah sampai hari ini. inilah yang sekarang membuatku percaya dengan asumsi di masyarakat kalau di negeri ini hukum bisa dibeli, padahal waktu aku masih SD menganggap asumsi itu hanyalah sebagai mitos belaka. ternyata apa yang aku rasakan sekarang membuktikan kebenaran itu, bahwa bukan hanya SIM, STNK, atau kendaraan saja yang dapat ditebus ternyata kepala manusia juga dapat ditebus. kejadian waktu itu juga telah membuat harapanku untuk bersekolah sepak bola menjadi gagal, uang simpanan ibuku yang sudah ditabung bertahun-tahun habis digunakan begitu saja. kejadian ini juga membuatku paham bahwa ibuku memang benar-benar menyayangi anak-anaknya, mungkin andaikan aku yang berada di posisi itu. ibuku pasti melakukan apapun untuk membebaskan diriku, tetapi aku juga paham bahwa ibuku orang tua yang sangat ceroboh. rasa sayangnya disalahgunakan oleh anak-anaknya, ibuku selalu memberi apa yang anak-anaknya inginkan bukan apa yang anak-anaknya butuhkan. sehingga gagalnya pendidikan keluarga ini.

pukul empat lewat lima menit kami sudah sampai di depan gerbang rutan Cipinang, kulihat abangku berbaju hitam berpenampilan rapih dengan celana jeans warna abu-abu kebiruan. sekarang tubuhnya menjadi gemuk. berbeda dengan sebelum saat dia dipenjara dahulu, yang kurus seperti anak yang tak terurus. dia melihat kami dan langsung berjalan cepat mengarah mobil mikrolet kami, ibu langsung menyambutnya dengan pelukkan hangat. sedangkan abangku menerimanya dengan tangis, ibu merespon dengan isyarat matanya yang berbinar walaupun terlihat tidak ada air mata yang jatuh keluar dari matanya. aku sangat, yakin ibu sangat cinta pada anak-anaknya. kejadian mengharukan itu terjadi di depan pintu mobil mikrolet dan disaksikan oleh banyak orang-orang yang melintas di sana. abangku menjatuhkan lututnya ke aspal jalanan, kemudian sungkem pada Ibu.

"ampuni! ampuni anakmu ,Bu." ucap abangku, terisak-isak sedih seperti anak kecil. "anakmu ini tidak berguna! sampah masyarakat! hanya menyusahkanmu saja, Bu."

Ibu membangunkan abangku, menghapus semua air mata di sisi pipi kanan dan kirinya. seraya berkata, "Ibu sudah maafkanmu, Nak. masa depanmu untuk menjadi orang baik belum terlambat, sekarang waktunya dirimu memperbaiki kehidupanmu, Nak."

kulihat perasaan abangku sudah mulai tenang, sudah tak memangis lagi. dia menoleh kebelakang, menatap rutan Cipinang untuk yang terakhir kalinya. matanya masih berair, tetapi tak menangis. lalu dia hanya memperhatikan sekitar, kemudian melihat kearahku.

"Man bagaimanapun kabarmu?" tanyanya padaku.

"baik bang"

"tak terasa adikku sudah tumbuh besar! pangling aku! sekarang sudah kelas berapa, Man?" tanyanya lagi.

"sekarang aku sudah kelas 11 SMA, bang!" jawabku yang sedikit gugup karena sudah lama tak terbiasa bicara dengannya.

"wuih hebat! dulu kalau aku gak dipenjara mungkin sudah lulus kuliah." ujarnya.

"Bu, Fariz dan Ayah kemana? dia gak jemput aku?" tanya Bang Fathur, pada Ibu.

"adikmu Fariz sedang sibuk kuliah! udah mau semester 7." jawab Ibu. "kalau bapak moyangmu jangan diharepin! diamah gak bakal ngurusin kita. yang diurusin dia, keluarga yang satunya lagi."

Bang Fathur hanya diam, seperti biasa jika Ibu sudah bicara seperti itu tentang ayah dia malas untuk menanggapinya. begitu pun juga aku, sudah bosan dan takut hanya membuat suasana menjadi bertambah buruk saja. kami pun berangkat meninggalkan rutan Cipinang, dan berharap tidak akan pernah berurusan lagi dengan tempat itu. tapi aku bingung, perjalanan kami tidak mengarah pulang kerumah.

"Bu, kita mau kemana?" tanyaku. "kok nggak mengarah jalan pulang!"

"ya, kita mau ke pantai dulu." jawab Ibu. "biasa kita mau buang baju abangmu yang biasanya dipakai di dalam penjara."

"kenapa, Bu?" tanyaku lagi.

"buang sial, biar abangmu nggak apes lagi." jawab Ibu.

entahlah tradisi yang Ibuku lakukan ini berasal dari mana, budaya dan sukunya sungguh aku tidak mengetahuinya. maksudnya pun aku sangat tidak mengerti. kebiasaan seperti ini seolah-olah sudah melekat di masyarakat, terutama sering terjadi di daerah padat penduduk seperti di daerah kota Jakarta. kadang-kadang sering kutemui di daerah pantai tidak hanya baju yang dibuang begitu, namun juga ada yang disertai dengan kembang tujuh rupa. entahlah lagi-lagi aku banyak tidak tahunya daripada tahunya, tetapi itu juga tidak dilakukan oleh semua orang-orang yang baru keluar penjara, mungkin hanya segelintir orang yang masih percaya dengan tradisi seperti itu.

ketika langit membiru dan hari mulai gelap, setelah adzan Maghrib. lalu kami melanjutkan perjalanan untuk pulang kerumah, dari pantai dengan warna air keruh yang berada di Jakarta Utara. aku juga sudah tampak sangat kelelahan, setelah menjalani hari ini yang cukup berat. mungkin hari ini aku tidak akan keluar malam, aku akan langsung tidur saja. karena besok pagi hari Kamis adalah jam pertamanya mata pelajaran pendidikan agama Islam, yang akan diajarkan langsung sama Pak Haji Ghofur kepala sekolahku. aku tidak mau terlambat atau terkena masalah karena tertidur di kelas, sebab bayaran SPP semester sekolahku cukup mahal. Ibuku akan sangat marah jika aku membuat masalah dengan sekolahan, sudah syukur mau dituruti bersekolah di SMA Luniya Jaya II ini. surgawinya anak-anak malas dan nakal. Bersambung.