satu bulan telah berlalu. kapal jiwa yang bernama hijrah sebuah istilah yang sebelumnya tak pernah kuketahui maknanya dan yang sering orang-orang muslim katakan padaku, mulai berlayar entah mau berlabuh dimana; aku tak tahu ataukah apa ada badai di tengah perjalanan nanti yang akan menghantam aku juga tidak tahu; ataupun apakah akan karam nanti di tengah lautan itu, juga aku tidak tahu apa-apa, sebab kata orang bijak kuno yang berjanggut putih dengan jari telunjuknya yang diarahkan keatas; yang kuketahui adalah aku tidak tahu apa-apa.
apakah begini rasanya hijrah, padahal baru satu bulan, tapi rasanya aku sudah yakin saja jika hijrahku sudah benar baik adanya. padahal belum benar-benar melihat surga tapi entahlah memang rasanya ada yang berbeda dari sebulan yang lalu. hanya baru kali ini dalam seumur hidupku rasanya menjadi muslim yang taat, baru beginikah rasanya seperti baru memeluk Islam saja padahal sudah muslim dari lahir. tapi hanya baru-baru ini saja kurasakan indah sekali begitu adanya. rasanya tenang tanpa harus memikirkan pendapat orang lain, sebab baik benarnya hanya Allah SWT. saja yang tahu. tidak ada satupun manusia yang berhak menentukan nasib orang lain gimana jadinya nanti. tapi sebenarnya aku masih bingung dengan perasaan indah sekali yang kurasakan itu, sebab menurutku indah bukan yang terlihat manis-manis saja karena yang manis-manis terkadang lebih berbahaya daripada racun. orang yang keracunan akan langsung ditangani hingga dia membaik, sedangkan aku membayangkan akan banyak orang yang akan mati secara tersiksa karena terlena kebanyakan makan makanan yang manis-manis. koreng atau borok akan menggerogoti tubuh orang yang mengidap diabetes melitus atau paling tidak menyebabkan kebutaan. dari beberapa yang sudah kuutarakan tadi akan menggambarkan hijrah bukan perkara mudah, bukanlah cinta yang terlihat menye-menye berharap kasih sayang dapat disemai banyak orang walau dengan proses yang menyulitkan atau kengerian yang berlebihan di sinetron-sinetron azab. lebih tepatnya yang akan kuceritakan tentang hidupku paling tidak lebih nyata walau mungkin pembaca menolak setuju dengan apa yang kuceritakan. bahwa pendapat orang-orang terdekatku untuk menerima hijrahku lebih masuk akal dibandingkan yang ada di sinetron azab. maka dari itu perasaan yang indah sekali dapat bermakna pengalaman bukan hanya sesuatu penglihatan saja ketika jika kita analogikan seperti melihat pegunungan yang hijau. memangnya ada apa dengan pengalaman; mengapa mesti pengalaman yang dapat bermakna kata perasaan yang indah sekali. sebab bagiku pengalaman adalah sebuah kegiatan dan perasaan yang belum tentu orang lain dapat rasakan, setiap orang boleh bermimpi tetapi belum tentu berpengalaman. ketika kita melihat pegunungan melalui media digital mungkin perasaan kita akan senang saja dengan melihat ciptaan Allah SWT. tetapi perasaan kita akan jauh menakjubkan jika kita sendiri yang bersusah payah mendaki dan melihatnya secara langsung pegunungan tersebut dari salah satu gunung tertinggi di atas sana. dalam hal yang satu ini aku hanya dapat merasakan pengalamannya saja, namun belum tentu berpengalaman. namanya juga proses hidup, aku sendiri belum tahu bagaimana hidupku akan berakhir. sebab orang yang berpengalaman dalam kehidupan akan bisa memperkirakan bagaimana dia akan mati nanti. ahh baru beberapa bab saja aku sudah berbicara tentang mati aku khawatir pembaca jadi ngeri, kalau begitu maafkanlah aku. kita mulai saja perasaan-perasaan satu bulanku setelah hijrah semoga jalan hidup kita menjadi cerah.
menuju satu Minggu setelah memutuskan untuk hijrah, satu minggu itu tetap berada di koridornya yakni bulan Juni. hatiku dihadapkan pada kekhawatiran yang mendalam yakni apa kata teman-teman jika tahu aku sudah hijrah, ya sebenarnya mengapa harus kuhiraukan toh aku ini yang hijrah. tapi tak semudah kubayangkan aku khawatir jika hijrahku ditertawakan. tapi tak masalah juga ditertawakan, toh juga tak akan buatku merugi juga jika ditertawakan. tetapi ada juga yang lebih membuatku ketakutan daripada sekadar ditertawakan teman-teman, yakni ketika kita memutuskan untuk hijrah dan sekali lagi pernah berbuat maksiat tatkala sudah hijrah. apa kata orang-orang nanti, yang akan ditertawakan bukan aku lagi tapi bisa jadi agamaku. pernah temanku begitu bahkan abangku yang pertama, sampai-sampai aku sendiri yang menertawakan mereka dan mungkin waktu itu aku sudah menjadi sesosok manusia yang berpikiran agnostik. ya tapi itu sudah berlalu yang salah mereka dan sekarang aku berada di posisi yang berbeda dari sebelumnya. satu minggu setelah hijrah, shalatku masih lucu, baju-baju gamis untuk shalat selalu kusembunyikan di tas selempang sekolah kemudian selalu kupilih masjid yang jauh dari rumah hingga tak mungkin ada orang yang kukenal di sana dan ketika ditanya teman-temanku di tengah jalan mau kemana kupergi selalu kujawab ada urusan penting. "dasar Manusia Sok penting!!!" kata teman-temanku. aku tak berbohong pada mereka dan mereka pun tak kubohongi karena shalat bagiku urusan penting. itu juga terjadi jika kalau shalat subuh saja, karena biasanya teman-temanku jam subuh baru pada pulang nongkrong dan waktu libur di rumah cuma shalat Dzuhur dan ashar (hari biasa magrib dan isya shalat di masjid Al-barokah dekat rumah Pak Haji Ghofur karena aku belajar mengaji dengannya) itu juga kalau bertemu dengan orang yang kukenal di sekitar rumah. sisanya aku sering shalat di mushola sekolah, kalau di sekolah aku tak perlu khawatir begitu. sebab biasanya satu jam sebelum adzan Dzuhur di mushola harus sudah terisi penuh dengan siswa dan siswi yang beragama Islam kalau tidak, Pak Ghofur pasti mengadakan inspeksi mendadak di kelas-kelas beserta kekerasan sebagai dera hukuman paling tidak satu jeweran di telinga hingga merah. memang terkesan otoriter dan kejam tapi katanya selama masih di sekolah, baik dan buruk hidup kami sebagai anak-anak muridnya akan menjadi tanggung jawabnya di akhirat nanti. ahhh Pak Ghofur memang lebay tapi dia tetap saja guruku. itu yang terjadi satu Minggu setelah diriku memutuskan untuk berhijrah, setelahnya menuju satu Minggu lagi yakni menandakan menuju dua Minggu setelah diriku memutuskan untuk berhijrah. kuberanikan diri ini untuk menunjukkan jati diriku yang baru, shalatku tak lagi perlu kusembunyikan. aku semakin tak peduli lagi apa kata orang nanti sebab niatku berhijrah karena dalam rangka perbaikan diri, dalam rangka mengenal Allah SWT. yang sebelum-sebelumnya aku merasa jauh padanya padahal dia dekat dengan hamba-hambanya. toh orang-orang lain juga tak ada kaitannya dengan hijrahku, tak bakal juga diriku merugi jika menjadi omongan orang-orang bahkan inilah langkah yang harus kulalui. memangnya aku ini siapa harus pusing-pusing memikirkan omongan orang lain toh aku bukan artis, anak artis pun bukan, apalagi anak pejabat, aku hanya masyarakat sipil biasa mangkanya jangan deh terlalu ribet memikirkan hal yang bukan-bukan.
senin pukul tiga pagi buta, jiwa ragaku sudah rapih terbungkus iman dan juga pakaian gamis bersih warna merah. satu jam sebelumnya aku sudah terbangun lebih dahulu dan bergegas mandi pagi. kali ini Ibuku yang rajin bangun pagi kalah cepat bersiap diri, hari ini dia kalah telak. bahkan ketika Ibu masih mengucek matanya karena rebek, aku sudah bersiap jalan menuju masjid. pagi buta itu juga aku berjalan menuju masjid di dekat rumahku jaraknya memang tak jauh namun harus menyeberangi jalan raya di ujung gang rumahku. saat kulintasi pertigaan gang, dari cabang kanan kulihat teman-teman lamaku ada di sana. mereka nongkrong sampai pagi, mereka Tatang, Sarif,Varel, dan Tio. mereka memang gila pagi-pagi buta masih saja merumpi tak jelas, oh iya lupa aku pernah seperti mereka tak etis berpikiran seperti itu kepada mereka. toh mereka juga punya alasan begitu, nanti juga kalau mereka sadar bahwa yang dilakukannya itu tidak baik mereka akan meninggalkannya, mereka hanya butuh waktu saja dan kalau dibicarakan baik-baik mereka akan sadar.
"ehhh Diman mau kemana lu rapih amat?" tanya Varel.
"iya nih udah lama juga kagak nongkrong bareng. sombong amat" tegur Tatang.
"kagak sombong, cuma ada rutinitas baru aja." balasku "nih gue mau ke masjid. mumpung bangun pagi."
"lah tumben! lu sakit apaan bisa inget ke masjid" sahut Sarif. "biasanya juga lu judi bareng gue".
"husss...jangan begitu Diman udah hijrah, biarin aja". timpal Tio menengahi.
"Alhamdulillah sehat. ya udah gue duluan" balasku "assalamualaikum warahmatullahi wabarakahtu".
"walaikumussalam". jawab Tio dan lainnya, mereka terdiam raut wajahnya tampak kebingungan.
"yahhh...kalo dia beneran hijrah, siapa coba yang mau pasang taruhan balap kalo gue jadi joki-nya" keluh Sarif "kan...cuma Diman yang berani pasang taruhan gede kalo gue jadi joki-nya".
"ngeri gue! kayaknya tuh anak mau meninggal. biasanyakan gitu kalo di film-film. berubahnya tiba-tiba jadi inget tuhan melulu." tukas Tatang.
"ahhh jangan pada ngaco. dia udah dari kemarin-marin begitu". ucap Tio "malahan gue aja pernah diajak belajar ngaji bareng sama dia."
"tunggu aja seminggu lagi. kalo dia gak nongkrong lagi berarti fix Diman hijrah beneran." kata Varel "udah ahhh gue mau pulang. ngantuk banget. gue mau tidur." semuanya pun bubar. pulang ke rumahnya masing-masing.
sedangkan aku terus melangkah maju ke jalan yang lurus melintasi gelap jalan raya yang sepi. sesampainya di masjid yang kulihat hanya ada dua orang yang sedang khusyu berdoa dan yang satunya lagi sedang shalat sunah. persamaan diantara mereka adalah fisiknya yang tak lagi muda, mereka terlihat sangat rentah sekali mungkin keduanya tinggal menunggu ajal. jika salah satu diantara mereka ajalnya dijemput, jasad mereka bisa langsung diumumkan lewat speaker masjid oleh salah satu diantaranya lagi yang masih hidup atau jika keduanya sekaligus ajalnya dijemput, ada aku yang mengumumkan jasad mereka berdua lewat speaker masjid. tapi jangan sampai ajal menjemputku dan jangan berpikiran tentang mati, aku belum siap menerima segala konsekuensinya tapi yang namanya ajal tak bisa diajak kompromi kita hanya mengontrak hidup saja di dunia ini, tak tahu berapa harga sewa hidup di dunia ini yang harus kita bayarkan sebab kita hanya disuruh merawat diri saja dari segala macam godaan setan, tak tahu juga kapan kontrakan kita berakhir diperpanjang pun kita tak mampu. aku masih muda perbandingan umurku sangat jauh darinya, aku datang sepagi ini untuk shalat tahajud di masjid walau memang kata Pak Haji Ghofur lebih baik melaksanakannya di rumah saja, dia merujuk pada sabda Rasulullah Saw. agar senantiasa menghidupi rumah kita dengan shalat dan lantunan ayat suci. tapi kali ini aku hanya mau shalat di masjid dekat rumah saja sebab biasanya abangku suka berisik kalau di rumah, entah apa yang dia lakukan di kamarnya kadang dua temannya yang kubenci selalu datang bertamu. memang gila juga mereka tak ingat waktu kalau bertamu hingga pagi-pagi buta, bahkan setel musik tak kira-kira volumenya. kadang juga rumahku kedatangan orang-orang yang tak pernah kulihat batang hidungnya sama sekali. aku curiga kalau abangku bertindak tolol lagi, aku curiga dia tak jera. apa gak kasihan dia sama Ibu, sekarang aja kerjanya gak jelas. ngomongnya jadi waiter, ngomongnya lagi jaga toko baju, seminggu kemudian ngomongnya jadi tukang parkir. kerjaannya selalu ganti-ganti hampir gak pernah awet, paling lama cuma sebulan. sekarang aja gak kerja, mau jadi apa dia. astaghfirullah tetapi aku tak boleh buruk sangka padanya, boleh kali ini aku berbaik sangka padanya dan memang harus begitu. aku gak boleh membencinya, jangan sampai benci, sebab orang yang benci pada seseorang apa pun yang dia lakukan pasti tak suka. tapi katanya abangku jadi tukang ojek online, dia pinjam motor temannya beserta akun yang disewa perhari mudah-mudahan itu benar dan semoga benar.
doa telah kusampaikan kepada yang maha esa serta ritual pagi yang tak akan pernah kutinggalkan lagi untuk selamanya, sebelum melaksanakan yang wajib kulaksanakan yang sunah terlebih dahulu. sebab kata Pak Ghofur jika melaksanakan yang sunah terlebih dahulu dunia dan seisinya akan tunduk dihadapan kita. padahal dalam doa aku tak menginginkan dunia dan seisinya untuk repot-repot tunduk kepadaku, yang kuingin hanyalah keluarga yang utuh dan bersatu. dalam sujud aku pun menangis hingga kering tak tersisa membayangkan di sepertiga malam ayah berdiri di shaf paling depan memimpin shalat tahajud, aku berada di belakangnya mengikuti gerakan di samping kanan dan kiriku ada kedua abangku, kemudian di shaf paling belakang ada ibu yang terbalut mukena warna putih yang suci. semua hanya bisa kubayangkan dalam sujud yang tak kunjung pernah kurasakan sekalipun. ayah bagaikan pemerintah yang dibenci oleh Ibu sebagai oposisi, sementara Bang Fathur menjadi pemberontak yang radikal, sedangkan Bang Fariz lebih memilih memisahkan diri dari keluarga dia pilih opsi kedua untuk tinggal dengan Tante Kirana, dan aku hanya beranggapan bahwa tak terjadi apa-apa dalam keluarga. itu akan menjadi pelajaran bagiku untuk tidak berburuk sangka kepada yang maha esa. karena yang maha esa sudah tahu mana waktu yang tepat untuk hambanya dapat rasakan, dia tahu betul apa yang kita butuhkan, dia akan ganti seribu kali lipat dari apa yang kita inginkan bahkan dia sudah tahu jauh sebelum kita memohon padanya. hanya saja dia ingin membuktikan kepada kita bahwa kita memang pantas menerima cintanya.
setelah segala ritual pagi yang menjadi urusan penting bagiku telah selesai kukerjakan, aku pulang menuju kerumah langkah demi langkah seperti irama detak jantung dan detik jarum jam dinding berbunyi lagi bunyi itu seperti gerakan langkah kakiku. langit mulai kebiruan dan suara kutilang beradu kicau dengan burung gereja. kulihat kedua teman abangku sedang sarapan pagi di sana dengan nasi kuning di warung Mpok Yuli, tetapi tak kulihat abangku di sana, tak kulihat juga secangkir kopi di sana padahal nikmat jika dikecup saat-saat hangat pagi itu. kulewati mereka tanpa kutegur, wajahku melengos langsung kearah rumah. kudapati dirinya tepat ketika mau keluar dari pintu rumah, kami saling berhadapan, kami saling bertatap muka. Bang Fathur terbelalak melihatku, sedangkan aku heran padanya kenapa dia bisa terbelalak begitu, seperti sedang melihat polisi saja.
"abis dari mana lu Diman?".
"dari masjid Bang".
"tumben amat lu begitu." katanya "Abang juga gak lihat lu keluar rumah!"
"iya mau Istiqomah shalatnya". balasku "mangkanya Diman belajar berangkat pagi-pagi, siapa tahu jadi kebiasaan".
"bagus deh kalo lu sadar". tukasnya "ya asal semoga aja gak mirip bapak moyang lu".
Bang Fathur memang tersenyum namun dari senyumnya itu terlihat sinis, dapat kudengar nada sindiran dari perkataan di dalamnya. padahal seharusnya dia mengaca diri, seharusnya sindiran itu untuk dirinya sendiri agar tak seperti dirinya yang cuma bisa menyusahkan keluarga, memalukan, aib keluarga, tak pantas dia berbicara seperti itu padaku. tak kutanggapi perkataannya yang terakhir itu, aku lebih memilih langsung masuk ke kamar. aku juga lebih baik melakukan rutinitasku yang baru, yang berkah, yakni membaca buku-buku agama maupun sejarah biar pun hari itu sekolah libur karena adanya rapat para guru, aku tetap belajar di rumah. hari-hariku setelah hijrah telah mereformasi diriku seutuhnya, daripada memikirkan yang buruk tentang abangku yang tak tahu diri itu dan reaksinya terhadap reformasi diri yang terjadi padaku bukan hanya itu saja. yang tadi hanya awal dari sikapnya yang tak tahu diri itu, tetapi aku masih menghormatinya walaupun dia yang menyusahkan keluarga bersikap tak tahu diri. Minggu ketiga perubahan yang baik mulai terlihat dan kurasakan dampaknya yang cukup signifikan pada kehidupan sekolahku, padahal baru saja satu bulan tetapi nilai ulangan harian di setiap mata pelajaran melonjak naik. matematika yang awalnya menjadi sosok yang paling tak pernah kukenal dalam pelajaran di sekolah perlahan mulai bersahabat padaku, tiba-tiba saja pythagoras dan Al khawarijmi mau berteman denganku. hanya saja Pak Nugroho seorang guru matematika di sekolahku malu untuk mengakuinya secara langsung kepadaku. dia hanya berani mengakuinya kepada Bu Ningrum, guru BK cantik itu sendiri yang mengungkapkannya secara personal padaku. katanya "kamu nyontek atau tidak, Diman?" dan waktu itu kujawab "tidak Bu, itu perbuatan dosa". sebab banyak guru yang komplain padanya mengenai kemajuan nilaiku, tetapi kepala sekolah Pak Haji Ghofur menanggapinya dengan santai. katanya "ingat, husnuzan ladies and gentleman. kalian harusnya bersyukur, toh itu menandakan metode pembelajaran yang kalian terapkan berhasil". Pak Miftah juga tak kaget mendengar berita kemajuan belajarku sebab orang yang belajar sejarah pasti tak akan jatuh pada lubang yang sama. lambat laun berita kemajuan belajarku dapat diterima oleh para guru di sekolahku, aku pun turut duduk di bangku terdepan bersama Tio. untung dia mau ikut kuajak pindah tempat duduk, hanya saja bukan yang paling depan tetapi bangku yang kedua setelahnya sebab bangku di depanku yang terdepan adalah bangkunya Hisyam dan Tedy. aku juga tak tidur lagi saat pelajaran sedang berlangsung, apa yang guru-guruku sampaikan selalu kurespond dengan tanggap. pada Minggu terakhir dari satu bulan setelah hijrah semuanya telah menerimaku apa adanya, hanya ayah dan juga Bang Fariz saja yang mungkin belum tahu jika aku sudah hijrah. aku tak tahu apa tanggapannya perihal ini. pada Minggu terakhir juga tingkah Bang Fathur mulai menjadi-jadi, buatku semakin kesal saja. dia selalu memasang muka sinis jika melihatku apalagi jika diriku hendak pergi ke masjid ataupun pergi mengaji ke rumah Pak Haji Ghofur. kadang-kadang kudengar dari luar kamarnya dia marah-marah sendiri sembari teriak-teriak gak jelas. kadang juga terdengar bunyi hantaman benda keras dari dalam sana, kalau sudah begitu aku pun tak akan menegurnya. tetapi tetap mengucapkan salam damai jika hendak keluar rumah. aku tak paham mengapa dia aneh begitu kadang juga dia terlihat sok bijak jika kumat marah-marahnya sudah hilang. entah apakah pola tidurnya yang salah atau memang efek samping dari zat kimia yang berbentuk kristal yang dahulu pernah dia hisap dan membuatnya terpuruk seperti sekarang hingga menjadi manusia yang tak berguna. yang pasti cara dia untuk menjalani hidup yang salah, memang sungguh ironi sekali dan yang lebih memilukan dirinya hanya menjadi benalu dalam keluarga.
titimangsa sangat cepat bergulir hingga tak terasa kalau hidup cuma satu kali, manusia banyak yang lalai hingga hidup dimaknai dengan tertawaan. filosofi hidup seperti itu yang pernah kujalani, sampai ada statement; bukankah hidup di dunia hanya senda gurau saja. tak terasa sekarang hidupku sudah jauh berbeda dan mungkinkah itu menandakan sifat dunia yang fana. kini hijrahku sudah melewati waktu hingga berbulan-bulan yang tak seperti sebelumnya yang harus setiap minggunya kuceritakan pengalaman tentang hijrahku, lagipula tak mungkinkan juga setiap bulannya kuceritakan demikian, nanti yang ada ceritaku seperti film di sinetron. malam hari ini aku merasa cukup senang karena tepat dua belas tengah malam ayahku tiba-tiba saja pulang kerumah. padahal aku tak keluar kamar untuk melihatnya, tapi cukup dengar dari dalam kamar saja jika terdengar ibuku marah-marah pasti tandanya ayah pulang. memang wajar jika ibu sampai marah-marah begitu, bagaimana tidak berbulan-bulan lamanya ayah tidak pulang padahal dia bukan nahkoda atau pilot. tetapi baru kali ini saja ayah pulang sampai berbulan lamanya, alasannya pun aku tak tahu dan memang tak mau tahu karena aku sendiri malas sekali mendengar mereka bertengkar. lebih baik aku tidur agar jam tiga pagi-pagi buta aku bisa bangun tepat waktu. setelah berwudhu, tak lupa lampu kamar kumatikan dan dalam sekejap aku tertidur dengan pulas setelah berdoa.
aku terbangun, lalu kuraih handphone di atas meja yang letaknya berada di samping kanan kasur. tak kudengar alarm yang telah kusetel untuk jam tiga pagi, apakah aku telat bangun, tetapi ternyata memang alarm-nya yang belum berbunyi. kulihat waktu menunjukkan jam dua pagi, ternyata memang masih sangat pagi. aku yang terlanjur terbangun dari tidur kemudian aku memutuskan untuk mandi, setelahnya tak akan kusia-siakan waktu senggang untuk mengaji di ruang depan. kali ini mungkin aku akan shalat tahajud di rumah karena tak ada orang-orang asing yaitu tamu-tamu abangku yang biasanya berkunjung kerumah, ataupun dua orang teman abangku itu tak kulihat batang hidungnya sejak dari kemarin. tampaknya mereka takut kalau ada ayah di rumah, begitu juga dengan abangku pasti gak bakal berani macam-macam di rumah kalau ada ayah. ayat suci sengaja kulantunkan di kegelapan jam dua pagi, sedang saat itu malam semakin hening. tiba-tiba salah satu pintu kamar berbunyi, tanda ada yang menggerakkan ada yang keluar dari sana. ya, ayah keluar dari pintu kamarnya yang sunyi itu setelah semalam bertengkar hebat dengan ibu. berbusana baju kokoh dengan kain sarung kotak-kotak sebagai bawahannya, tidak lupa peci songkoknya rapih terpakai di kepalanya. akhirnya ayah bergabung dalam perhelatan yang tak pernah direncanakan sebelumnya. aku rindu padanya kali ini ayah mendengar suara lantunan ayat suci dariku, aku membaca surah Al Kahfi walau sedikit masih terbata-bata membacanya. ayah dengan sendirinya membantu memperjelas lantunan ayat suci. tiba-tiba salah satu pintu kamar berbunyi lagi kali ini suaranya tak pelan tetapi sedikit agak kasar, "braaakkk". aku terdiam memberhentikan lantunan ayat suci, begitu pun dengan ayah. suara agak kasar itu berasal dari kamar Bang Fathur, pintunya juga terbuka dia keluar dari sana berjalan cepat menuju kedepan teras rumah. dia juga tidak melihat kami, tanpa basa basi dia melewati kami begitu saja dengan wajah sinisnya.
"sekarang sudah jam tiga lewat. coba kamu ajak abangmu biar ikut shalat tahajud bersama."
"baik, yah."
aku berdiri dari duduk berjalan ke teras depan, aku harap dia tidak kumat dari biasanya.
"Bang, ayok kita shalat tahajud bersama."
"lu aja sana! kalau gue mau shalat juga gak perlu dikasih tahu." katanya "gue bukan anak kecil, jadi gak perlu disuruh-suruh. kayak lu pada udah benar aja hidupnya".
"Abang ada masalah apa sih?" tanyaku "dari kemarin ngomongnya sinis mulu, kalau Diman ada salah kasih tahu Bang, biar Diman perbaiki".
"ahhh...banyak bacot lu. lu emangnya gak inget gue diciduk gara-gara lu".
"itu kan udah lama, Bang. itu juga gak disengaja."
"iya!!! gara-gara lu tolol. ceroboh!!! lupa kunci pintu rumah." katanya dengan nada yang meninggi, urat dilehernya sampai terlihat menonjol. "kalau dikuncikan seenggaknya gue tahu ada polisi dan bisa kabur".
ayah lalu menghampiri kami karena mendengar perbincangan kami yang sudah tak ramah lagi, "kalau gak mau diajak shalat gak usah marah-marah, tinggal bilang gak mau aja sampai ribut".
ibu juga keluar dari kamar, tetapi dia tidak berbicara sama sekali. tapi dari raut wajahnya ibu memberikan isyarat kepada bang Fathur agar jangan berisik.
"udah deh jadi rame kayak gini." Bang Fathur pun pergi masuk kembali ke dalam kamarnya, disusul dengan ibu yang kembali ke kamarnya. ayah memang terlihat tidak senang, tetapi ketika melihatku raut wajahnya terlihat agak baikan.
memang aneh abangku itu, kurasa syarafnya ada yang rusak. kenapa baru-baru ini saja dia mempersoalkan kejadian lima tahun yang lalu. bukan salahku juga kan dia jadi narapidana narkotika, tetapi kenapa malah dia yang menyalahkan diriku. aku hanya ingin hidup tenang, aku juga bukan kriminil yang harus selalu waspada akan adanya polisi. seharusnya dia tahu konsekuensinya, memangnya dia mau jadi apa sih. sekelas raja narkotika Pablo Escobar saja mati ditembak polisi gara-gara dikhianati temannya sendiri karena narkotika. apalagi dia penjual kelas teri, tapi bercita-cita seakan-akan dirinya kebal terhadap hukum.
pintu kamar Bang Fathur masih tertutup rapat sejak dari aku berangkat sekolah hingga aku pulang sekolah, bahkan sampai pulang shalat Jumat pintu kamar Bang Fathur masih tertutup rapat. tak ada suara-suara aneh juga seperti kemarin dari luar, sekarang hening mungkin saja dia sedang tidur pulas. bukannya aku tak mau membangunkannya untuk berangkat shalat Jumat, tapi aku khawatir dia salah paham lagi. mungkin nanti kalau dia sudah tak kumat lagi akan kubicarakan baik-baik dengannya.
setelah makan siang di rumah bersama ayah, aku berpamitan padanya, kalau aku ingin pergi mengaji kerumah guruku. jam setengah tiga siang aku pergi berangkat berjalan kaki menuju ke pangkalan ojek yang jaraknya hampir berdekatan dengan pasar Jiung, aku ke sana untuk mencari Pak Tohang agar dapat menggunakan jasa ojeknya secara gratis sebab katanya gratis jika aku mau pergi belajar mengaji di rumah Pak Haji Ghofur. sungguh mulia si miskin itu, lumayan juga bagiku paling tidak aku sudah membantunya dalam bersedekah. sesampainya di sana tak kudapati Pak Tohang di sana, kata tukang bensin Pak Tohang sedang mengantar orderan dari bos percetakan. kalau begitu aku memutuskan untuk naik angkot dengan nomor 37, kudapati angkot dengan sepi penumpang. sedih juga kupandangi raut wajah si Abang supir angkot. bibirnya kering pecah-pecah atau mungkin dia sedang sariawan, namun keringat deras mengalir dari pelipis dan kepala. dari gelagatnya aku tahu ada setoran yang harus dikejar, dari gelagatnya itu juga aku tahu ada lambung anggota keluarga yang harus terisi. aku turun dari angkot di jalan sunter-kemayoran, sebelumnya kubayarkan lima ribu perak kepada supir angkot itu dan wajahnya terlihat senang ketika kubayarkan begitu. sederhananya kesenangan bagi supir angkot itu. dari sana aku jalan sendirian di hari yang cukup panas, kulewati gedung sekolahku terus berjalan melewatinya hingga bertemu pertigaan jalan raya. dari sana perjalanan masih terasa cukup jauh, tapi semangatku belum juga layu walau panas mendera hingga ubun-ubun kepala. kupilih cabang jalan di sebelah kiri pertigaan dari sana komplek perumahan Pak Haji Ghofur sudah terlihat di ujung yang jauh sana. perjalanan kuterhenti ketika kulihat toko miras yang ada di sebelah kanan jalan, toko miras itu dikerumuni banyak massa yang tampaknya tidak ramah dengan toko miras itu. "bakar! bakar! bakar! bakar!" pekik teriakan para massa yang sudah membawa balik kayu dan batu. "woiii keluar lu c***!" teriakan keras dari salah satu remaja. dari dalam toko miras yang sudah ditutup pagar besi terlihat di sana orang tua peranakan Tionghoa sedang mengintip dari celah pagar besi. tampaknya dia sedang ketakutan, sepertinya ada masalah besar diantara dia dengan kerumunan massa yang sedang marah itu. ketika kudekati aku baru sadar kerumunan massa itu ternyata sekumpulan remaja tanggung sepertiku. gerakan massa yang marah itu tertahan oleh lelaki tua bergamis hijau dengan peci songkoknya yang sangat kukenal, dia membela toko miras itu seorang diri dengan sangat vocal menggunakan pendekatan yang persuasif. melihatnya aku ingin sekali tergerak membantunya, sebab aku yakin apa yang dia bela pasti sebuah keadilan. tiba-tiba kerumunan massa pecah membubarkan diri, terdengar suara sirine mobil polisi. mobil polisi itu memakirkan mobilnya di depan toko miras itu, aku pun menyingkirkan diri dari sana ketepi yang berseberangan dari jalan, aku tak mau lagi berurusan dengan aparat. barulah orang tua misterius peranakan Tionghoa itu keluar dari tokonya, dia berbicara akrab dengan Pak Haji Ghofur yang tadi sudah mencegah kerusuhan di tokonya. aku bingung mengapa Pak Ghofur berani membela, padahal toko tersebut berdagang minuman keras. aneh sekali rasanya ulama seperti dia berlaku seperti itu, ada apakah gerangan! dia sungguh buatku bertanya-tanya sedemikian rupa di dalam hati. polisi sepertinya sedang memeriksa kelengkapan perizinan, sedangkan Pak Ghofur berpamitan dan pergi dari sana. aku berlari dengan kencang menyusulnya, "assalamualaikum warahmatullahi wabarakahtu". salamku terengah-engah "Pak Ghofur tunggu!"
"walaikumussalam warahmatullahi wabarakahtu". jawabnya "ehhh Diman kamu sudah datang rupanya."
"saya mau sekalian shalat ashar di masjid Al-barokah, Pak."
"ya sudah kita langsung saja ke masjid, kebetulan sedikit lagi waktu ashar".
kami berjalan bersama, tak lupa kutanyakan perihal kerumunan massa tadi.
"Pak! tadi sebenarnya ada masalah apa sampai-sampai polisi datang?" tanyaku "dan mengapa Pak Ghofur membela pedagang miras itu!"
"oh yang tadi!" ucapnya "begini Diman, kamu jangan salah paham dahulu. pedagang miras itu sebenarnya temanku sejak masih SMP dahulu, kita masih saling menjaga komunikasi karena toko miras orang tuanya yang tak jauh dari rumahku. menjadi pedagang miras memang bukan cita-citanya, tetapi itu warisan keluarganya. dia tahu betul kepribadianku jadinya dia tahu menjaga jarak pertemanan diantara kita. dia itu walau non muslim setidaknya memegang prinsip yang sama kuatnya dengan nilai Islam. dia sangat menghargaiku sebagai muslim bahkan ke semua muslim lainnya. kamu tahu gak kalau masalah yang tadi terjadi gara-gara dia gak mau menjual miras ke orang yang beragama Islam, apalagi kalau belum cukup umur. semenjak orang tuanya meninggal dia mengubah sistem penjualan miras kepada masyarakat. jadi kalau ada yang mau beli harus memperlihatkan KTP dahulu, dia bilang juga meskipun semenjak sistem penjualan dia ubah begitu, tetapi dia bersyukur. penghasilannya justru tidak pernah berkurang. nah giliran tadi siang ada bocah yang sok jagoan beli miras, waktu dinasihati malah marah-marah sampai panggil geng-nya. kebetulan dia telpon saya saking paniknya, kusuruh juga telpon polisi. toko miras-nya juga lengkap dengan perizinan, jadi dia gak perlu takut, lagipula dia tak salah. intinya sebagai muslim kita harus adil bahkan kepada yang tidak seagama, bukankah Islam penuh cinta. mangkanya hakikat cinta itu tak berkelamin, tak mempunyai pikiran, apalagi beragama. sangat jelas kita harus bisa membuktikan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin, jangan kau keluarkan dari bibir saja tapi coba buktikan!"
"oh jadi begitu ceritanya, berarti bijak sekali teman Bapak, ya".
"saya selalu berdoa untuk dirinya, semoga diberi hidayah. ya, Allah pasti punya cara terbaik untuk menjawab doa hambanya".
suara adzan ashar berkumandang, kami tetap meneruskan perjalanan walau melewati depan rumah Pak Ghofur. kulihat kumpulan anak-anak kecil bergembira bercanda ria di tangga masjid, mereka tertawa hingga memasuki batas suci masjid Al-barokah. aku dan Pak Ghofur menyusul berjalan perlahan dari belakang, sesampainya di dalam masjid kami mendapati kumpulan anak-anak kecil yang tadi sedang dimaki-maki oleh seorang marbot masjid setempat.
"eh Tarjo jangan kau maki, anak-anak".
"abisnya anak-anak bercanda terus di masjid, Pak Haji".
"wajarlah namanya toh anak-anak, mestilah suka bercanda. kan kamu bisa nasihati mereka baik-baik, pasti mereka mau dengar. biarlah mereka bahagia". tukas Pak Haji Ghofur "justru yang harus kamu khawatiri bukan mereka. ingat sekarang lagi musim caleg, itu yang mestinya kau waspadai. dibalik senyum para caleg yang mampir ke masjid-masjid, hati-hati ada udang dibalik batu, Jo!!!"
kami berdua pun berwudhu, sedang marbot yang tadi bersedia menemani kumpulan anak-anak kecil. seperti biasa Pak Ghofur memimpin menjadi imam pada shaf terdepan, sedang aku berada shaf yang pertama. selepas shalat ashar kami menunggu waktu jam lima sore sembari mengecup secangkir kopi, Pak Ghofur dengan kopi hitam aceh favoritnya yang khas dari seduhan langsung tangan Bu Hajjah Minah. sedangkan aku kopi susu sachet biasa dengan seduhan dari tangan sendiri. bukannya aku tak mau dibuatkan, bukannya aku tak mau mencicip rasanya kopi favorit Pak Haji Ghofur. sumpah keluarga Pak Haji Ghofur sungguh sangat tahu adab memperlakukan seorang tamu, hanya saja aku sendiri yang tak mau diperlakukan sebagai seorang tamu, tetapi aku ingin diperlakukan sebagai seorang anak angkatnya. dan mereka pun tak masalah, tak merasa keberatan juga, kulihat justru Pak Haji Ghofur dan Bu Hajjah Minah sangat senang melihatku di sini. semuanya sudah jauh berbeda ketika diriku sering-sering belajar di sini, Pak Ghofur bangga melihat kemajuan yang kumiliki. hari ini aku belajar seperti biasanya, sekarang materi yang dipelajari hanya kedalaman tajwid dan hafalan surah-surah pendek. lalu terkadang Pak Ghofur memberikan ceramah Sirah Nabawiyah-nya secara personal untukku. Pak Ghofur juga berkeinginan suatu hari nanti dapat mengajakku membedah kitab Minhajul Muslim yang sudah ada terjemahannya versi bahasa Indonesia, katanya agar pengetahuan agama yang kumiliki tak hanya bersifat subyektif. entahlah kitab apa itu, aku juga belum tahu bentuknya seperti apa. yang terpenting hari ini aku bisa makan malam sebagaimana keluarga yang utuh, bagiku Pak Ghofur tak hanya seperti guru, tetapi seorang ayah, bahkan seperti seorang kakek, begitu pun Bu Hajjah Minah sudah seperti Ibu, tetapi juga seperti seorang nenek. pukul delapan lewat sepuluh menit, aku pulang menggunakan ojek online yang serba hijau seperti biasanya. aku turun di jalan raya yang di depannya gang menuju rumahku, dari kejauhan tampak kelihatan keramaian orang bergerombol berantakan seperti di pasar. di depan rumahku dan di warung nasi kuning Mpok Yuli mereka seperti membuat forum yang sedang berdiskusi. ada yang aneh! perasaanku tak enak. ada yang janggal, sepertinya aku tahu perasaan yang tak enak ini. seperti sudah mengenalnya sejak lama, sebuah perasaan yang tak ingin kuingat dalam kenangan. aku berjalan cepat menuju rumah, gerakan langkah kakiku sangat mantap. di pertigaan jalan aku dihadang oleh Tio, dia meraih tanganku dan menariknya hingga ke sisi cabang jalan di sebelah kanan.
"jangan pulang dulu!!!" bisiknya meyakinkan "abang lu, Diman!!!"
"ya, ada apa io?"
"pasti lu gak bakal senang mendengarnya".
"kenapa dia?"
"diciduk polisi!!!"
"haaa...yang benar lu io".
"benar, rumah lu sudah dikepung". katanya "Abang lu udah dipegang".
"terus, ada gak barang buktinya?"
"belum tahu kalau yang itu". jelasnya "yang pasti rumah lu masih rame polisi".
"gimana Ibu gue?" tanyaku lagi "gak tega gue lihatnya begini lagi".
"tenang Ibu lu udah ada tante Kirana yang temani, dia juga gak kenapa-kenapa". katanya "tunggu sebentar sampai polisi bubar. pasti gue tahu lu gak bakal senang ditanya-tanya, ya kan!"
kutunggu di pertigaan gang sampai Bang Fathur dibawa polisi, tak lama mereka berjalan melewati kami. kulihat wajah Bang Fathur yang tertunduk lesuh sangat sedih, tapi aku sudah tak peduli lagi dengan dia. yang kupedulikan sekarang adalah Ibu, bagaimana perasaannya dikhianati anak sendiri untuk ketiga kalinya. Bang Fathur sudah benar-benar hilang ditelan jalan raya, setelah itu giliran aku bergegas menuju rumah. di depan rumahku terlihat Ibu yang sedang murung dan tampak bingung, sedangkan di sebelah kanannya ada tanteku. Ibu tidak menangis, dia memang hebat tak seperti orang tua kebanyakan. aku tahu hatinya hancur, pasti ibu merasa menjadi orang tua yang gagal. lalu dimana ayah? kenapa ayah tak berada di samping ibu saat-saat seperti ini. seharusnya yang ada di sebelahnya bukan tante Kirana, tetapi ayah. ahhh bodo amat tentang ayah, yang terpenting jangan sampai ibu stress gara-gara Bang Fathur.