pagi ini sungguh pagi yang paling tenang bagiku, karena tidurku yang cukup dan nyeyak dari biasanya. tidak bergadang adalah alasannya. sehingga pagi hari ini aku bisa terbangun di pagi-pagi buta. tetapi tetap saja tidak ikut berdiri melaksanakan shalat subuh sebagaimana seorang muslim sejati, berbagai penyebab seperti racun malas yang enggan mau belajar shalat, hingga keimananku yang hanya sebatas aksara yang terpaksa tertera di status kartu pengenal saja, menjadikanku pribadi yang hidup seperti ini. beragama karena formalitas, beragama karena tidak mau dicap sebagai pelanggar sila pertama dari Pancasila. padahal belum tentu becus dalam menjalankannya.
pagi yang buta ini tidak kudengar suara lantunan ayat suci indah yang biasanya keluar dari tenggorokan ayahku, sebuah isyarat pertanda ayahku tidak pulang lagi. padahal sudah hampir seminggu dan aku mulai rindu pada suaranya, apalagi ketika sedang mengaji. suaranya lebih merdu dari suara pengajian yang ada di speaker-speaker masjid atau suara ustad di televisi.
sekarang masih jam lima pagi, waktunya diriku untuk mandi, kemudian menyeruput kopi serta tidak lupa sarapan nasi kuning Mpok Yuli yang warungnya berhadapan tepat di depan rumahku. ibuku yang sudah menyiapkan segalanya untukku, seperti menyeduh kopi dan membeli nasi kuning ketika diriku masih terlelap di ranjang nikmat. maklum ibu harus bangun lebih pagi karena dia juga seorang pedagang. ibu harus bangun lebih pagi dari seekor ayam jago manapun yang biasanya memiliki tugas membangunkan orang-orang, kalau tidak dilakukannya mana mungkin ibuku bisa berjualan dan membenahi keluarga. hari ini aku sungguh beruntung sebab secangkir kopi dan nasi kuningku yang masih terasa hangat di lidah, biasanya kumakan saat-saat sudah dingin. begitulah ibuku wanita yang rajin bangun pagi, setiap hari jam tiga pagi sudah bangun menyiapkan segalanya seorang diri. sedangkan biasanya diriku jam segitu baru pulang kerumah sehabis nongkrong bersama teman-teman, tidur sedapatnya, syukur-syukur jam enam pagi sudah bangun, itu juga dengan tergesa-gesa, mandi juga tergesa-gesa, berpakaian pun biasanya berantakan dengan rambut yang basah dan masih belum disisir. baru kali ini setengah enam pagi aku sudah siap dan rapih untuk pergi berangkat ke sekolah. dan aku sangat yakin hari ini Tio tak akan berangkat sekolah. karena takut terlambat dan tidak mau berurusan dengan Pak Haji Ghofur, karena yang kutahu tadi malam dia bergadang nonton balap liar di daerah gunung Sahari sampai pagi. aku putuskan hari ini, akan memakai jasa ojek Pak Tohang. kulihat di depan rumah hanya ada abangku dan dua orang temannya yang sedang asyik bersantap sarapan bersama, di warung nasi kuning milik Mpok Yuli.
"Man, kemari!" panggil abangku, dari arah warung Mpok Yuli.
aku pun berjalan menghampirinya, "iya, bang ada apa?" tanyaku.
"kamu mau berangkat sekolah?"
"iya, bang."
"sudah sarapan?"
"sudah bang."
"ya sudah, Abang aja yang antar kamu ke sekolah. biar Abang antar pake motor teman Abang, ya!" dia gunakan kendaraan roda dua. motor bebek warna merah tanpa spion, yang sedari tadi bersandar di samping warung Mpok Yuli. "ayok, Man. naik!"
kemudian aku naik di belakang motor, berboncengan menuju sekolahku yang berjarak hampir lima kilometer. "baik bang."
abangku memang sampah masyarakat yang hampir tidak dapat digunakan lagi, jangan berharap orang seperti dia dapat bermanfaat bagi bangsa apalagi agama, bagi dirinya sendiri saja dia khianat. itu terjadi ketika dia menjadi pengangguran setelah diciduk untuk pertama kalinya atas kasus penyalahgunaan narkoba. sejak saat itu dia hanya bisa merengek meminta-minta uang pada ibu, atau menjual segala barang di rumah yang bisa dijualnya. saat penangkapan kedua dan bebas dari penjara pun aku masih curiga padanya, walau kemarin sungkem hingga nangis-nangis di depan ibu. tetap saja aku masih curiga padanya, terutama melihatnya pagi ini. saat kutahu dia masih bergaul dengan dua orang itu, temannya yang tadi sarapan nasi kuning di warung Mpok Yuli. apalagi motor yang sedang kunaiki ini, motor yang pernah kuingat biasanya menjadi langganan diciduknya polisi. aku khawatir rasa sayang Ibu padanya, hanya menjadi alat perbudakan perdagangan setan. tetapi entahlah apa yang nanti dia lakukan, semoga itu hanyalah prasangkaku yang tidak benar.
perjalanan kami hanya memakan waktu lima belas menit, sampai di depan gerbang kulihat waktu di jam dinding pos penjagaan sekolah menunjukkan pukul enam kurang lima menit.
sampai-sampai babeh satpam heran melihatku datang diawal waktu, "tumben lu Diman! dateng pagi-pagi."
"iya, nih Beh. pengen jadi murid teladan." candaku. Babeh tertawa semringah dengan candaanku itu. hingga kumisnya terlihat tertarik keatas, lalu melanjutkan membaca koran yang ditemani kopi hitam.
gerbang memang sudah terbuka lebar, tetapi penghuninya masih terlihat sedikit. kulangkahkan kakiku memasuki kelas, hanya ada satu siswa penunggu kelas yang rajin datang kesekolah pagi-pagi sekali. namanya Hisyam murid teladan yang cukup pandai, dia juga ketua kelasku. jasa-jasanya sangat berharga bagi teman-teman di kelas, dia selalu menjadi tempat bertanya atau mencontek, atau menjadi teman kelompok tugas yang sangat baik, yaitu menjadi budak tulis bagi anggota-anggota kelompoknya. hanya diriku yang tidak pernah merasakan jasanya, maka dari itu hanya diriku yang nilainya di bawah rata-rata. walau begitu tetap saja teman-teman di kelas selalu lancang padanya menjuluki dirinya dengan sebutan anaknya Pak Ramli atau anaknya pinguin, tukang bersih-bersih sekolah yang selalu datangnya pagi-pagi buta.
waktu terus berlalu, suara bel sekolah yang pertama berbunyi pada pukul setengah tujuh pagi. pertanda kelas akan memulai pelajaran. sedangkan gerbang akan tertutup rapat-rapat, tak akan ada siswa yang dapat bisa masuk lagi kesekolah. tetapi hanya siswa yang sering terlambat, yang tahu rahasia bagaimana caranya lolos masuk kesekolah walau terlambat. seperti diriku dan Tio, rahasia ini diturunkan secara turun temurun dari kakak kelas sebelum-sebelumnya. caranya mudah sekali, yaitu 1. beli rokok tiga batang untuk satu kepala siswa atau empat sachet kopi hitam lalu berikanlah pada babeh satpam, 2. ingat berikanlah ketika di depan gerbang sedang keadaan sepi dari guru atau kepala sekolah, 3. jika banyak siswa yang terlambat, itu lebih baik karena bisa patungan. biasanya Babeh kasih diskon jika banyak siswa yang terlambat. 4. ingat jika ketahuan jangan pernah seret Babeh, bilang saja khilaf atau pura-pura sebenarnya sudah masuk dari tadi. secara ajaib dengan sendirinya Babeh Satpam akan membukakan pintu gerbang dan menyuruh kita yang terlambat agar segera masuk ke kelas masing-masing. kegiatan yang kami lakukan sebenarnya tidak hanya diterapkan di sekolah. tetapi banyak sekali instansi-instansi bahkan pemerintah sekalipun di negeri ini yang seringkali mempraktikkan dengan cara yang hampir sama dengan kami, hanya bentuk dan kuantitas keuntungannya saja yang berbeda.
kuintip dari jendela kaca paling belakang kelas, yang langsung menghadap pintu depan ruangan kepala sekolah. pintu ruangan kepala sekolah terlihat mulai bergerak. keluar dari sana lelaki tua bersorban dengan peci songkoknya warna hitam, serta gamis warna hijau, lelaki tua kurus yang keturunan Arab itu berjalan mengarah ke kelas kami. anak-anak pun berbisik, "sssttt! Pak Ghofur datang." kemudian kelas menjadi hening, bangku-bangku yang berantakan secara ajaib menjadi rapih. sampah-sampah kertas disembunyikan, siswa yang lain merapihkan seragamnya.
"assalamualaikum warahmatullahi wabarakahtu." suara salam terdengar, Pak Ghofur memasuki kelas.
"walaikumussalam warahmatullahi wabarakahtu." bunyi jawaban salam serentak dari siswa-siswi di dalam kelas.
seperti biasanya kami sebelum memulai pelajaran, kami turut melakukan ritual doa sebelum pelajaran dimulai. kemudian Pak Ghofur mengabsensi presensi siswa yang hadir, dia memang guru sekaligus kepala sekolah yang peduli dan juga tegas kepada anak murid-muridnya. yang tidak masuk karena sakit pasti dia jenguk, dan yang tidak masuk dengan alasan yang tidak jelas pasti akan kena hukuman. pernah sekali ada siswa yang melawan dan tak mau mengerjakan hukumannya. mengahadapi itu Pak Ghofur dapat mengatasinya dengan santai, yaitu memanggil wali atau orang tuanya. lalu mengembalikan murid tersebut kepada orang tua atau walinya, dan mengatakan "anak anda kami kembalikan! ajari dulu anak anda adab yang baik kepada orang lain. kami beri waktu seminggu anak anda belajar adab di rumah, jika tidak ada perubahan dan tidak mau mengakui kesalahannya atau tidak menjalankan hukuman. terpaksa saya katakan maaf! maaf sekali! kami tidak butuh murid yang pintar, tetapi kami ingin menghasilkan murid yang berkualitas dan beradab baik serta jujur." begitulah, dia peduli dan tegas. kharismanya membuat siswa-siswi di sekolah segan padanya sekaligus cinta.
baru ketika pelajaran akan benar-benar dimulai siswa dan siswi, yang beragama non-muslim diperbolehkan didalam kelas atau juga diperbolehkan meninggalkan kelas. hanya ada lima murid di kelas kami yang beragama non-muslim, dua perempuan dan tiga laki-laki. biasanya hanya anak perempuan yang memilih meninggalkan kelas dan pergi ke perpustakaan atau kekantin, sedangkan tiga siswa laki-laki lebih memilih berada di dalam kelas untuk ikut berdiskusi. selanjutnya kami dituntun oleh Pak Ghofur untuk membaca kitab suci Al-Qur'an bersama-sama, aku dan beberapa siswa hanya mengikuti gerakan bibir teman-teman kami yang lancar dan sudah bisa membaca Al-Qur'an. sedangkan aku hanya bisa kumat-kamit seperti Mbah dukun yang sedang membaca mantra. entah surah apa yang sedang kami baca, tetapi yang kudengar kami berhenti di surah al-anbiya ayat 107.
Pak Ghofur memberikan kontrak belajar kepada kami, kami pun mendengarkannya dengan takzim. yang isinya beberapa peraturan dan ketentuan belajar di dalam kelas untuk kami taati. kemudian Pak Ghofur memberikan pengantarnya, dia menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang Rahma. penjelasannya kira-kira seperti ini disampaikannya, "agama Islam adalah agama yang menebar cinta dan kasih kepada siapapun, termasuk alam dan isinya. agama Islam juga adalah agama yang benar, maka dari itu kita wajib menyampaikan kebenaran kepada sesama manusia. perbuatan itu adalah cinta, karena kita peduli pada sesama dan tak mau manusia tersebut mengambil jalan yang salah. tetapi juga jangan dengan memaksanya, karena Islam merangkul mengajaknya dengan cara yang baik. bukan mencekik atau memaksa. ya, toh kalau orang yang kita ajak berislam tidak mau. kita masih bisa berjabat tangan, bermuamalah saling menjaga hubungan sosial. atau bisa kita sebut namanya berdakwah, mengajak orang berbuat baik."
selanjutnya Pak Ghofur mengajak kami semua yang ada di kelas, untuk masuk kedalam pembahasan materi. materi hari ini yang dibawakan oleh Pak Ghofur adalah iman dan taqwa, seringkali Pak Ghofur menyebutnya dengan kata Tauhid. pertama-tama Pak Ghofur membacakan surah Al-Ikhlas, kami mendengarkannya dengan takzim. dia membahas satu demi satu ayat, yang barusan saja dia baca. Pak Ghofur sungguh menghayati penjelasan tafsir, berusaha meyakini kami hakikat tuhan yang maha esa. tuhan yang benar, tuhan yang layak disembah, sifat tuhan yang maha bijaksana, pengetahuan dari Tuhan yang maha tahu. tiba waktunya kami untuk berdiskusi, seluruh siswa dan siswi diizinkan untuk bertanya. jika tidak ada yang bertanya, pasti kami diberi tugas harian. diantara barisan kelas siswa dan siswi, kami saling bersiasat untuk mengulur waktu agar hari ini kami tidak diberi tugas. disitulah peran teman-teman kami yang kritis tetapi sedikit atheis menyumbangkan kemampuannya untuk menyalurkan pertanyaan yang dapat menolong kami dari rantai tugas pelajaran pendidikan agama Islam, waktu memang tinggal hanya beberapa menit akan berakhir. tetapi kami tidak boleh meremehkan waktu yang berdetak setiap detiknya, kami memang malas jika bertanya di pelajaran pendidikan agama Islam. alasannya pasti jawaban, dijawabnya dengan dogmatis.
Umar mengangkat tangannya keatas, dia adalah siswa yang duduknya berada di barisan kedua dari tempat kedua terdepan. "izin bertanya, Pak Ghofur?"
"iya silahkan Umar, saudara yang duduk di baris kedua." balasnya. "tanyakan apa yang kamu ingin tanyakan, waktu bapak tinggal sedikit!"
"Pak Ghofur, mohon jelaskan kepada kami tentang kebenaran keberadaan alam akhirat, jika benar tuhan yang ciptakan? jawablah dengan penjelasan logika bukan yang bersifat dogma agama. agar tauhid yang kami rasakan menjadi kuat !" tanya Umar. seolah-olah kelas kami seakan seperti menjadi tempat ceramahnya ustadz Dr. Zakir Naik, ustad dari India yang videonya sering muncul di halaman media sosial dengan perdebatannya menghadapi orang-orang atheis ataupun orang yang menganut di luar agama Islam.
"baik! saya akan menjawab pertanyaan saudara yang duduk di baris kedua tadi." balasnya. "saudara bertanya padaku, hakikat keberadaan alam akhirat dan dijelaskan secara logika. lalu coba pertanyaan yang tadi kukembalikan menjadi sebuah pertanyaan hipotesis. apakah menurut anda malam itu ada?"
Umar lalu menjawab, "Ya, malam ada."
"apakah sekarang kita bisa merasakan malam atau tunjukkanlah kepada kami di mana malam sekarang?"
Umar pun menjawab lagi, "kita tidak bisa merasakannya sekarang tetapi malam memang benar ada, kita bisa merasakannya nanti jika waktu sudah melewati senja dan matahari sudah berada di penghujung barat." jawabnya. "saya memang tidak bisa menunjukkannya sekarang secara langsung, tetapi untuk sekarang malam sedang berada di belahan bumi lainnya."
"lalu apa hikmah dari pertanyaan-pertanyaan yang tadi kuberikan padamu!" ujarnya kepada Umar.
Umar sejenak hanya terdiam seperti patung dan air mukanya menunjukkan dirinya sedang kebingungan. "bukankah dirimu tadi yang memintanya dijelaskan secara logis. inilah hikmah yang kau dapat, bahwa alam akhirat akan benar-benar langsung kamu rasakan secara empiris atau dirasakan oleh indera jika kamu sendiri yang merasakannya nanti ketika dirimu sudah mati. tetapi apakah bekal untuk menuju alam akhirat yang kita punya sudah cukup?" ucap Pak Ghofur. "saya memang bukan Rasul yang dapat melihat dan merasakan secara langsung yang ghaib sebagaimana Rasulullah Saw. rasakan melalui perantara malaikat Jibril. tetapi saya percaya apa yang di bawakannya bukanlah suatu dongeng atau kebohongan semata. melalui mukjizatnya, yaitu Al-Qur'an. dengan Al-Qur'an tepatnya pada surah al-imran ayat 190-191 kita dapat memahami kebenaran Tuhan yang maha esa, seperti melalui hikmah dari peristiwa terjadinya siang dan malam. dengan akal sehat yang kita miliki, kita dapat mencerna pengetahuan secara rasional bahkan yang belum kita dapat rasakan dari indera secara langsung dan teknologi canggih pun. cobalah mulai hari ini kau renungkan kembali, peristiwa terjadinya siang dan malam. di balik hikmahnya terdapat tanda-tanda kebesaran Allah SWT. lalu tanyakan pada dirimu sendiri, apakah bekal yang kita miliki sudah cukup untuk menghadapi alam akhirat nanti?"
tiba-tiba Pak Ghofur mengacungkan jari telunjuknya mengarah kepadaku, "Diman coba kau bacakan surahnya dan artinya."
"maaf Pak, saya gak bisa baca Qur'an." kataku tersipu malu.
kendati Pak Ghofur menggelengkan kepalanya, isyarat dirinya kecewa dan malu. mendengar siswanya seorang muslim yang sudah baligh tetapi masih tidak bisa membaca Al-Qur'an, padahal kitab suci yang wajib menjadi pedoman hidup. "coba dengar! mau sampai kapan kamu begini. persiapan apa yang sudah kamu siapkan untuk akhirat nanti. gak muda, gak tua bisa saja tiba-tiba mati duluan. kalau sudah tiba masanya, baru kita menyesal! baru percaya adanya kehidupan setelah mati! baru kita ngemis-ngemis kepada Allah SWT. minta untuk dikembalikan kedunia." ujarnya. "jika masih ada di kelas ini yang belum bisa membaca Al-Qur'an. kalian bisa datang belajar gratis kerumah bapak. yang beralamatkan di jalan danau hijau, nomor tiga, RT kosong lima, dan RW kosong sembilan. gak perlu malu datang saja setiap hari jam lima sore, insyaallah saya akan ada waktu untuk mengajar."
nasihat itu kuterima dengan lapang dada, tetapi tadi itu sangat menggoncang batinku. tidak pernah sekalipun ada nasihat yang kuterima seperti apa yang disampaikan Pak Haji Ghofur tadi, itu cukup menusuk sekaligus memberikan beban pikiran. jika alam akhirat ada, lalu bagaimana nasibku ini sekarang. akankah aku hanya menjadi figuran semata di kehidupan yang panjang ini, atau hanya sebagai contoh manusia yang durhaka kepada Tuhannya. aku tahu Tuhan yang benar adalah tuhan yang tidak pendendam, sehingga siapa saja bisa dicintainya. tidak dapat dipaksa atau diancam oleh siapapun, tidak membutuhkan tetapi dialah yang dibutuhkan. aku mulai merenung seperti merenungnya para filsuf, sekarang malahan nafsu makanku mulai hilang. terkadang marasa sangat ketakutan seperti tahanan yang besok lusa mau dihukum tembak mati. diriku sadar memang hidupku selalu merasa ada yang kurang, selalu ada yang menjanggal, selalu ada saja yang tak puas di hati. itupun aku tak tahu sebabnya, terkadang merasa kesal sendiri, mau marah itupun bingung mau kulampiaskan kemana. apakah karena selama ini diriku jauh dari Tuhan, padahal dia bisa saja dekat denganku. memang kuakui dikala mendengarkan suara lantunan ayat suci, hatiku merasa tenang, merasa tidak ada beban, merasa hidup tidak sesulit dipikirkan. ini bukanlah perasaan yang palsu, tetapi apakah diriku sanggup menerima kebenaran yang nyata ini. haruskah diriku kembali padanya, kembali seperti anak kecil yang lugu tanpa dosa. apakah aku bisa! apakah ini adalah hidayah, apakah ini cinta dari Tuhan yang maha esa.
sepulang sekolah hari ini sepertinya diriku akan terlambat pulang kerumah lagi seperti biasanya. bukan lagi karena nongkrong bersama teman-teman. tetapi memang sebelum bel pulang sekolah, Tio mengirim pesan singkat Via HPnya kepadaku kalau dirinya akan menjemputku di depan gerbang agar kami bisa nongkrong seperti biasanya. tetapi sepulang sekolah ini kubalas pesan singkatnya, agar dia tidak menjemputku sepulang sekolah ini. aku melarangnya karena ada urusan sebentar yang harus kuurus sendiri. diam-diam sepulang sekolah kutemui Pak Ghofur di ruangannya, aku utarakan maksudku tanpa basa-basi. sebuah keputusan yang mungkin paling langka dalam seumur hidupku, tetapi akan mengubah nasib dan juga masa depanku nantinya. maksud kedatanganku sore itu adalah bahwa aku bersedia belajar mengaji di rumahnya setiap pulang sekolah. mungkin hanya Sabtu dan Minggu saja hari yang tak akan kuhadiri. setelah menyelesaikan urusanku, aku pulang dengan berjalan kaki dari sekolahan sampai rumah. sepanjang jalan diriku hanya merenungkan keputusan apa yang telah kuputuskan. yang kulakukan hanya menendang-nendang batu di sepanjang jalan yang kutemui, memelas meminta untuk dikasihi. cahaya senja hampir berakhir di ujung barat, suara adzan terdengar bermekaran indah saling bersahut sahutan. terlihat orang-orang keluar dengan berpakaian rapih putih bersih berjalan menuju masjid yang ada di jalan utan panjang, langit juga mulai membiru kini giliran hewan-hewan kelelawar kecil keluar dari sarangnya untuk mencari nafkah. kini hatiku yang tertarik untuk mengikuti orang-orang itu menuju masjid berkubah warna emas itu. mungkin ini adalah shalat pertamaku yang paling tulus dari sepanjang perjalanan hidupku, shalat yang tidak formalitas, shalat yang tidak ingin dilihat orang lain karena takut dianggap tidak bertuhan. shalat yang hanya menginginkan ketenangan jiwa sebagai sebuah kebutuhan hidup, entahlah shalatku ini dapat diterima atau tidak oleh tuhan. tetapi pernah kudengar dari orang beriman yang pernah mengatakan begini "bahwa shalat seseorang yang diterima oleh Allah SWT. memiliki tandanya, yaitu akan mencegah seseorang itu dari perbuatan yang keji dan mungkar." semoga shalatku ini dapat menjauhkan diriku dari perbuatan yang keji dan juga mungkar. malam ini aku tak akan keluar nongkrong seperti biasanya, malam ini diriku turut hanyut tenggelam dalam kesunyian di remang-remang kamar. mengurung diri sendiri di dalam kamar adalah cara yang tepat agar mengusir suasana hati yang sedang bimbang atas pilihan yang sudah diputuskan. esok hari adalah hari Jumat, hari yang merupakan perayaan seperti lebaran bagi umat muslim. besok juga sekolah biasanya pulang cepat, dan aku ingin esok cepat jumpa agar diriku bisa belajar agama secara langsung di rumahnya Pak Ghofur.
sekarang hari sudah berganti menjadi esok, dan sekarang hari Jumat. waktu telah menunjukkan pukul empat sore. sepulang sekolah tadi, setelah diantar pulang oleh Tio. kira-kira pukul setengah dua petang siang, aku sempatkan diriku mampir ke rumah Pak Tohang. aku memohon untuk memintanya agar jam empat sore ini dia mau mengantarkanku kerumahnya Pak Haji Ghofur. Pak Tohang pun mau dan senang mendengar ceritaku, yang telah mengetahui bahwa aku ingin belajar mengaji dengan Pak Haji Ghofur. Pak Tohang juga menyampaikan nasihat kepadaku. bahwa diriku artinya sedang berhijrah menjadi orang yang lebih baik lagi dan itu adalah hidayah yang sangat berharga, yang tak sembarang orang bisa mendapatkannya. kalau kata Pak Tohang, "nggak bisa dibeli pakai uang! pakai harga diri pun gak akan bisa!" dia juga berharap padaku, agar diriku Istiqomah atas keputusan yang telah kuambil. sebenarnya tadi aku juga mengajak Tio untuk ikut belajar mengaji bersamaku. tetapi setelah mendengar ajakkanku dia terkejut lalu tertawa dan berkata dengan perkataan yang kuingat kira-kira seperti ini, "gue sih malu, Man. udah gede masa belum bisa ngaji! tapi nanti aja dah! kalau gue udah mau taubat." biarpun begitu pernyataan Tio itu tidak membuatku memutuskan hubungan pertemanan kita, tetapi mungkin akan mengurangi pergaulanku dengan Tio. padahal belajar mengajiku ini, juga merupakan yang pertama kali dalam seumur hidupku tanpa dipaksa oleh siapa pun. Ibuku dan ayahku bahkan tak pernah mampu merayuku agar diriku mau belajar mengaji. memang aku pernah belajar mengaji sewaktu diriku berumur lima tahun. tetapi itu tak berlangsung lama, aku yang masih kecil selalu saja berbohong dan membolos setiap hendak berangkat belajar mengaji. sebab masa kecilku dihabiskan untuk bermain dan bermain, selayaknya dunia anak-anak yang menyenangkan. uang yang ibuku dan ayahku berikan aku pakai untuk bermain game di warnet seharian. guru mengaji yang galak adalah penyebabnya. aku sangat malas sekali menghadapi guru yang seperti itu. padahal agama mengajarkan kita untuk menebar benih-benih kasih, tetapi dia menyampaikan dengan galak agar berharap nanti muridnya mudah memahami. kenyataannya murid malah segan, dan aku adalah salah satu bunga api yang telah ditanamnya. dan memang pernah sekali perbuatanku ketahuan oleh ibuku, ibu sangat gusar. semenjak ketahuan aku tidak pernah lagi diperhatikannya. mau belajar mengaji pun syukur, kalau tidak tak apa-apa juga. itu juga bukan sepenuhnya salahku, itu terjadi karena kian hari pertengkaran antara ibu dan ayah yang tak pernah usai. sampai-sampai buah hatinya sendiri, tidak pernah lagi diperhatikannya. padahal waktu itu aku masih kecil, masih sangat membutuhkan bimbingan kedua orang tua. masih rentan dengan godaan, masih belum mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, masih terlalu dini untuk memahami masalah orang dewasa. jadilah aku anak yang begini, menjadi anak yang begitu bebas memilih jalan hidup yang dipilih. tetapi hari ini aku yakin dengan apa yang telah kupilih, sebab tuhan tak pernah salah menempatkan cintanya. aku sangat yakin, perasaan yang kurasakan bukan berasal dari pengetahuan liar yang datang begitu saja. kendati berasal dari intuisi sejati, rangkaian rencana Tuhan yang maha pengasih.
kumantapkan hati lalu kulangkahkan kakiku dengan mantap berjalan keluar rumah secara perlahan, di depan rumahku sudah ada Pak Tohang yang terlihat sudah siap berangkat mengantarku. kami pun berangkat menuju rumah Pak Haji Ghofur dengan motor bututnya, jarak tempat antara rumahku dengan rumah Pak Haji Ghofur kira-kira enam kilometer. perjalanan kami juga lancar tak ada macet di daerah rumah Pak Haji Ghofur, sehingga aku dan Pak Tohang tidak datang terlambat. kami sudah tiba di depan sebuah rumah yang paling minimalis diantara deretan rumah-rumah besar, rumah itu berwarna hijau dengan halamannya yang tampak asri karena ditanami tanaman hias warna-warni.
"Pak yang ini rumahnya?" tanyaku dengan telunjuk jari tangan kanan mengarah kerumah yang ada di depan kami.
"iya, betul yang ini Nak, Diman." jelasnya. "sudah sana! silahkan masuk Nak, Diman. hari ini ongkosnya gratis."
"beneran nih, Pak!"
"beneran Nak, Diman."
"oke, terima kasih Pak Tohang."
"dengan senang hati. Nak, Diman." balasnya. "saya sih sebenarnya mau sekali jika besok-besok kalau Nak Diman mau diantar belajar mengaji gak usah bayar aja, alias gratis."
"waduh jangan Pak Tohang! jangan! saya jadi gak enak."
"tidak apa-apa Nak, Diman. biar jadi amal baikku nanti." kata Pak Tohang yang masih terduduk di motor bututnya. "kelak jika Nak Diman berhasil belajar mengajinya, pahalanya juga mengalir ke diriku."
"ya! mau gimana lagi. saya sih merasa gak enak aja, tapi kalau alasannya begitu. saya juga gak enak menolak maksud baik Bapak."
" ya sudah terima saja Nak, Diman." balasnya, dengan sangat sopan. "kalau begitu saya pulang dahulu. saya mau ngojek lagi." ucapnya lagi.
"apa Pak Tohang tidak mau mampir dahulu. lagi pula Bapak jugakan sudah lama tak bertemu Haji Ghofur." ujarku. Pak Tohang terlihat hanya diam membisu seperti patung, lalu bergerak melengos pada pandangannya yang mengarah ke rumah hijau itu. tatapannya sama seperti ketika pertama kali diriku diantarnya ke sekolah, yaitu matanya yang berbinar seperti seolah-olah menyimpan sebuah perasaan mendalam atau sebuah perasaan bersalah yang tak kunjung dia ungkapkan. mungkin bisa jadi dendam kesumat, mungkin bisa jadi rindu.
"tidak! tidak bisa Nak, Diman. saya mau jemput penumpang langganan. aku khawatir terlambat menjemputnya." balasnya. Pak Tohang meninggalkanku seorang diri, dia pun melaju dengan motor bututnya dengan cepat.
kini tinggal aku sendiri, kulangkahkan kaki memasuki halaman depan rumah hijau itu. "assalamualaikum" salamku, lalu kuketuk pintu yang berbahan kayu jati di depanku dengan ketukan tiga kali. "assalamualaikum, Permisi! Pak Ghofur!"
dari dalam rumah kudengar suara balasan salamku, "walaikumussalam warahmatullahi wabarakahtu." balasnya. "Alhamdulillah, sudah saya duga, pasti kamu datang juga. Nak Diman."
"iya Pak, saya baru saja datang."
"ya sudah, sekarang silahkan masuk. anggap rumah sendiri." ucapnya. aku pun dipersilankan masuk olehnya, aku diantarnya keruang tamu. di ruang tamu sudah tersedia permadani yang indah dengan corak timur tengah, papan tulis spidol dan juga segelas air mineral. Pak Ghofur lalu meninggalkanku sebentar menuju keruangan perpustakaan mini miliknya sendiri yang berada di sisi kanan ruang tamu. sedangkan di depan ruangan perpustakaan pribadi terdapat sebuah kamar, yang terdengar dari luar suara lantunan ayat suci Al-Quran. suara itu mengalun halus, sepertinya suara itu berasal dari perempuan yang sudah berumur seperti Pak Ghofur. kemudian tak lama Pak Ghofur datang kembali dengan membawa beberapa buku yang dibawanya dari perpustakaan pribadinya.
"selain buku panduan membaca Al-Qur'an, kamu juga nanti baca juga nih buku panduan sholat menurut tuntunan sunah nabi dan makna keutamaannya." kata Pak Ghofur, dia menyodorkan dua buku yang menjadikan referensi untukku. "kalau sekarang mari kita mulai dari menghafal huruf Hijaiyah dan tanda bacanya dahulu. kalau kamu cepat menangkap belajarnya, insyaallah nanti sebelum Maghrib sebentar saja, saya akan tunjukkan tata cara sholat menurut tuntunan Nabi Muhammad Saw. atau bisa kita lanjutkan nanti selepas isya, sisanya biar kamu baca-baca aja bukunya di rumah, YA." aku dan Pak Ghofur duduk di permadani yang telah di sediakan sedari tadi.
"baik Pak, saya akan berusaha belajar lebih giat." jawabku dengan semangat. Pak Ghofur sangat senang melihat semangat belajarku. tiba-tiba aku tertegun, teringat akan sesuatu yang sebenarnya sedari tadi menjanggal hati.
"maaf Pak Ghofur, boleh saya menanyakan sesuatu sama bapak?" tanyaku.
"boleh Diman. mau tanya apa kau padaku!"
"ini tentang tetanggaku! tukang ojek yang tadi mengantarku kemari."
"kenapa memangnya dengan dia!"
"dia mengenal bapak, dia juga mengagumi bapak!" ucapku dengan serius tetapi masih bingung. "katanya dia alumni angkatan 98, namanya Tohang."
Pak Ghofur mulai mengingat-ingat terlihat dari raut wajahnya seperti alis dan juga kedua matanya melirih keatas, serta jari telunjuk tangan kanannya sembari memegang dagu. "oh iya, saya ingat sekarang." katanya, tetapi sekarang air mukanya menjadi kaku. "lalu ada apa dengan dia, Diman?"
"dia mengagumi bapak, tapi kalau sudah membicarakan nama bapak ekspresi wajahnya berubah seperti seseorang yang sedang menyimpan sebuah perasaan mendalam." jawabku. "jadi mirip orang yang sedang galau saja, Pak."
"hmmm....gimana ya, menjelaskannya!" ucapnya yang berusaha menjelaskan padaku. "mudah-mudahan jika kuceritakan tentang kisahnya padamu, semoga kamu bisa mengambil hikmahnya."
"ceritakanlah padaku Pak. sebentar saja!"
"sebenarnya dia dahulu anak orang kaya raya, bapaknya punya banyak pabrik gula di Jawa timur. Tohang juga anak satu-satunya, ibunya sudah meninggal sejak Tohang masih bayi. bapaknya itu selalu manjakan dia, jadilah Tohang hidup semaunya dia saja. seolah-olah semua masalah yang dia buat bisa di selesaikan dengan uang bapaknya. pergaulannya juga bebas! hidupnya cuma mau senang-senang saja, nggak mau berjuang! cuma bisa mengandalkan uang bapaknya saja. tapi memang sama teman-temannya dia suka berbagi, royal banget!" ujarnya yang berusaha menyampaikan dengan tenang. "seringkali buat masalah di sekolah, dari ngerokok di kelas, bolos sekolah, kabur jam pelajaran, kurang ajar dengan guru, tidak mau mendengarkan apa kata guru-gurunya. hingga guru-gurunya masa bodoh dengan dia. sampai saat dia kuhukum, tetapi dia tak mau menggubris peringatanku. bapaknya saya panggil ke sekolah dengan surat panggilan, lalu saya sampaikan kalau Tohang tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. marah sekali bapaknya dengan kelakuan anaknya sendiri, saat saya beri tahu catatan keluhan dari guru-guru. tapi untungnya Tohang mengaku salah dan mau mengerjakan hukuman yang saya berikan. tetapi tetap saja dia tidak pernah benar-benar mau berubah. baru waktu dia naik kelas 12 pada tahun 98, pabrik gula yang dimiliki bapaknya satu persatu bangkrut dalam sekejap bapaknya jatuh miskin sampai aset dan rumahnya pun disita oleh Bank karena hutang untuk membayar pesangon para pekerjanya. teman-teman Tohang seakan menjauhkan dirinya, biaya perbulan sekolahnya hanya menjadi hutang untuknya. semenjak itu dia tidak pernah lagi masuk ke sekolah. kira-kira seminggu dia tidak masuk sekolah. lalu saya putuskan berkunjung kerumahnya, rumah barunya yang hampir mirip disebut gubuk. di sana sangat sederhana, hampir tidak ada barang-barang selain tumpukan pakaian yang berserakan dimana-mana. dari sana saya berjanji akan membiayai hidupnya termasuk biaya sekolah sampai dia bisa mencari uang sendiri. semenjak saat itu dia menjadi orang yang alim! menjadi orang yang paling Zuhud sebagai seorang muslim. namun dia selalu saja merasa bersalah dengan saya. setelah lulus dan bekerja dia tak pernah mau lagi berkunjung kerumah saya, mungkin malu! mungkin merasa tak punya muka lagi dihadapan saya." kini wajah Pak Ghofur terlihat muram, mungkin diriku hampir merusak suasana belajar.
"waduh maaf Pak! saya jadi merusak suasana."
"ahhh...tak apa-apa. biar menjadi pelajaran untukmu juga." balasnya. "sekarang kita mulai saja belajar mengajinya."
kami pun memulai belajar mengajinya, dengan hati-hati Pak Ghofur menerangkan secara perlahan membaca huruf Hijaiyah. dan aku mendengarkannya dengan takzim, secara perlahan sudah mengerti dan memahami apa yang disampaikan Pak Ghofur. kemampuan menghafalku memang tidak terlalu buruk, itu karena pikiranku yang masih bersih dari tontonan yang binal. aku memang anak yang nakal tetapi kenakalan remajaku cukup suka berkelahi dan nongkrong malam saja. aku juga dikit demi sedikit sudah bisa mengikuti teknik membaca yang diajarkannya, baru beberapa waktu Pak Ghofur sudah memuji hasil usaha belajarku. inilah guru mengaji yang sangat kuharapkan. setelah belajar mengaji, seperti apa yang sudah Pak Ghofur sampaikan padaku tadi. dia tak lupa mengajarkanku tata cara shalat menurut tuntunan Nabi Muhammad Saw. sebelum Maghrib, sekali lagi aku memperhatikan dengan takzim.
waktu Maghrib telah tiba, suara adzan berkumandang dan suara mengaji yang sedari tadi terdengar dari dalam kamar berhenti. dari dalam kamar benar-benar keluar wanita tua dengan membawakan sajadah yang sering kulihat dibawa-bawa Pak Ghofur di sekolahan, dia adalah Bu Haji Minah istri dari Pak Haji Ghofur. dia tersenyum padaku dan segera menyerahkan sajadah tersebut kepada Pak Ghofur. aku bersama Pak Ghofur kemudian berangkat pergi menuju masjid Al-barokah. sebuah masjid yang berada tak jauh dari rumah Pak Haji Ghofur, kami berjalan kaki berdua melewati perempatan jalan yang jaraknya 1000 meter dari rumah Pak Haji Ghofur. senang sekali rasanya bisa berjalan bersama Pak Haji Ghofur, banyak masyarakat sekitar yang menyapa Pak Ghofur. begitu banyak yang kenal dengannya, bahkan anak-anak kecil di sana sangat hormat padanya saling berebut tangan kanan Pak Haji Ghofur untuk dicium. masyarakat sekitar sana sering memanggil Pak Haji Ghofur dengan sebutan "Pak Ustadz."
kini mataku tertuju pada masjid Al-barokah yang memiliki dua lantai, dengan perpaduan warna serba hijau dan putih. memang sebelumnya aku dan Pak Ghofur sudah mengambil air wudhu dirumahnya, sehingga kami langsung memasuki tempat utama di dalam masjid. di dalam sana Pak Ghofur sudah ditunggu oleh banyak jamaah, para jamaah pun berlomba-lomba merayu Pak Ghofur untuk menjadi imam. dari sini aku sudah tahu kalau Pak Haji Ghofur bukanlah orang biasa, dia sangat begitu dihormati dan disenangi. padahal dia bukan pejabat, kaya raya juga tidak, gubernur juga bukan, apalagi presiden. dia hanya manusia sederhana tetapi mempunyai hidup dengan penuh makna, sangat wajar jika dia sangat dibutuhkan para jamaah. selepas shalat Maghrib, tidak lupa kami dan para jamaah menunaikan shalat sunah rawatib. aneh sekali, tidak ada satu pun dari para jamaah yang beranjak keluar dari masjid. tidak seperti dengan masjid-masjid yang pernah kunjungi. Pak Ghofur berdiri dari tempat sajadahnya yang ia tadi duduki sembari berdoa dan memuji Tuhan. sekarang kutahu maksud yang akan diperbuatnya, Pak Ghofur hendak berceramah. ramai-ramai para jamaah menuju shaf yang paling depan, Pak Ghofur pun memulai ceramahnya. lagi dan lagi para jamaah mendengarkan dengan takzim, bahkan kuperhatikan di sekeliling tidak ada satu pun jamaah yang sibuk melakukan sesuatu semua fokus dengan apa yang ada di depan. malam ini Pak Ghofur berceramah dengan materi muamalah, yaitu hukum jual-beli dan riba. Pak Ghofur menjelaskan dengan singkat, ringan dan padat. hingga ceramahnya berhenti tepat waktu, yaitu ketika bunyi alarm masjid berbunyi pertanda bahwa sudah waktunya adzan isya.
setelah shalat isya kami turut kembali ke rumah Pak Haji Ghofur, kulihat di ruang tamu permadani indah dan papan spidol sudah berganti sajian makan malam yang spesial. di sana sudah tersedia opor ayam, telur mata sapi, dan sayur bayam bening.
"Nak Diman mari makan bersama dahulu." ucap Bu Haji Minah dengan ramah.
"waduh jadi ngerpotin nih." balasku.
"rezeki ini namanya, Diman!" timpal Pak Ghofur. "sedap sekali rupanya, opor ayam kesukaanku."
Bu Haji Minah mengambilkanku sebuah piring, juga menyendok beberapa gumpalan nasi. "ini nasinya biar Ibu ambilkan Nak Diman, lauknya pilih saja. jangan sungkan!"
"terima kasih, Bu Minah." ucapku. "kita cuma makan bertiga saja nih?"
Bu Haji Minah menoleh menatap ke samping, menatap tepat ke arah mata Pak Haji Ghofur. sedangkan Pak Haji Ghofur membalas tatapan itu sehingga mereka menjadi saling pandang, Bu Haji Minah lalu menghadapkan wajahnya kembali padaku dengan tersenyum. "iya Nak Diman. kalau tiga tahun yang lalu ada anak kami namanya Kartika, sekarang dia sudah tinggal dengan suaminya." balas Bu Haji Minah. "biasanya Sabtu dan Ahad saja mereka berkunjung kemari bersama cucuku. biasanya Kartika senang sekali mengajak cucuku ikut mengajar anak-anak kecil di masjid Al-barokah sana. kapan-kapan Nak Diman datang saja kemari setiap Sabtu dan Ahad, di masjid Al-barokah selalu ramai dengan kegiatan remaja masjidnya. Bapak sendiri yang membimbing mereka."
malam ini adalah malam pengalamanku yang paling mengesankan, aku merasa seperti mempunyai keluarga yang utuh kembali. sudah tidak ingat kapan terakhir kali bisa makan malam bersama-sama dengan suasana keluarga yang seperti ini. bahkan keluarga asliku sangat miris sekali, terkadang aku sangat kasihan dengan diriku sendiri bahkan tak tega mengasihani diri sendiri. ibuku sibuk berdagang di pinggir jalan, ayahku jarang pulang karena jaga malam, abangku yang pertama waktu itu mendekam di dalam penjara hampir lima tahun lamanya, sedangkan abangku yang kedua merantau ke rumah tanteku. sedangkan aku gentayangan malam-malam, yang penting dalam hidupku cukup diberi uang makan dan uang jajan. yang lebih parahnya lagi jika ibu dan ayah berada tepat satu rumah, bukannya kasih sayang yang kudapat. malah makian yang kulihat, rumah seperti ajang lomba debat padahal mereka berdua bukan kandidat calon pejabat. segalanya berantakan, segalanya terasa menjadi abu-abu, tak tahu ini salah siapa. tetapi ada yang bilang padaku masalah keluargaku ini adalah salah setan yang bernama Dasim. Untung saja dia tidak terlihat, andaikan dia bisa kulihat pasti sejak lama kucekik. tetapi untuk menghadapi dia bukanlah dengan emosi, tetapi dengan iman dan takwa.
sebelum aku pulang, Pak Haji Ghofur mengajakku untuk berkunjung melihat koleksi buku-bukunya di perpustakaan pribadinya. aku sungguh tidak bisa menolak, aku juga sungguh penasaran. di dalam perpustakaan ruangannya yang tidak terlalu besar, sempit banyak rak buku bersandar sejajar dengan rapih. buku-buku banyak tersusun rapih, setiap baris rak buku memiliki tema yang menjelaskan buku-buku tersebut mempunyai bidang kajian. seperti aku yang dituntun oleh Pak Ghofur menuju rak buku yang besar dengan tema sosial, "Diman! saya tahu kamu punya minat belajar di bidang sejarah." ucapnya. "nilaimu bagus di pelajaran sejarah, saya sendiri yang melihat di rapormu."
"Alhamdulillah, Pak. tapi gak sebanding dengan pelajaran yang lain." balasku.
"tidak apa-apa, Diman. itu lebih baik daripada tidak berminat di bidang apapun." ujar Pak Ghofur. "cobalah kau ambil buku-buku sejarah yang ada di sini, bawalah satu atau dua. di sini juga ada novel sejarah karya Buya Hamka, Pram, Mochtar Lubis, dan novelis lainnya. pasti kau suka!"
"baik Pak." kataku, tanganku lalu bergerak memilah dan memilih sebuah buku novel sejarah karyanya Pram yang berjudul bumi manusia. "yang ini saja Pak."
"wuih bukunya Pram." sahut Pak Ghofur. "bawalah pulang, kapan-kapan saja kembalikan. saya sudah baca bukunya."
setelah itu Pak Ghofur mengantarku keluar kedepan jalan rumahnya, sebelumnya aku sudah berpamitan dengan Bu Haji Minah. di depan sana sudah ada seorang ojek online lengkap dengan atribut warna hijau dari helm, jaket, celana, mungkin kolor, motor, bahkan sepatu serba warna hijau. yang tadi sudah kupesan untuk mengantarku pulang, saat-saat sebelum keluar dari perpustakaan pribadi Pak Haji Ghofur. aku pulang tetapi perjalanan yang kupesan mengarah tempat lain, tempat yang tak jauh dari rumah. lebih tepatnya di jalan raya dekat rumahku, jalan raya yang pinggir jalannya berdiri sebuah warung kopi mungil berbentuk gerobak kaleng silver. itu adalah warung Ibuku, terketuk pintu hati di dalam jiwaku untuk berkunjung ke sana. Ibuku memang sangat salah mendirikan warung di sana, mendirikan warung di atas saluran air. katanya penyebab banjir, selain itu mengurangi keindahan tata kelola kota. melihatnya aku juga tak tega, kalau siang pasti ibu kena panas dan debu jalanan bisa jadi ikan asin yang kering juga bau, kalau malam selalu tertusuk angin malam pasti rentan masuk angin, belum lagi gigitan gila nyamuk comberan pasti rentan terkena malaria, dan belum lagi sangat berpotensi dengan bahaya kecelakaan maut di jalan-jalan seperti yang di ceritakan orang-orang berita. kulihat malam ini ibuku berteman baik dengan kucing-kucing jalanan, mereka tampak mesrah saling mengasihi. ibu memberikan makanan ke kucing-kucing jalanan itu dan kucing-kucing jalanan itu setia menunggu malam bersamanya. harmonis sekali seperti keluarga manusia pada umumnya. mungkin itu sebabnya ibu sering memberiku nasihat seperti ini, "kucing aja nurut kalau di kasih makan, mau menghormati! masa kamu manusia yang katanya mahkluk sempurna, dikasih makan juga tapi gak mau dengerin orang tua. paling nggakkan jangan bikin susah." kudekati ibu selangkah demi selangkah, kucing-kucing jalanan itu berlarian menyingkir tak tentu arah. kabur dariku seperti melihat anjing tetangga. padahal niatku baik ingin bertemu ibuku sendiri, bukan ibu mereka.
"assalamualaikum warahmatullahi wabarakahtu, Bu." salamku yang kuperhalus sendiri di depan ibuku.
"walaikumussalam, Nak." jawab salam Ibu. "tumben sekali kamu kemari, biasanya juga kamu kelayapan nongkrong-nongkrong gak jelas sampe pagi."
"nggak Bu. bukankah aku sudah berpamitan pada ibu, kalau sore tadi aku mau belajar mengaji ke Pak Haji Ghofur." jelasku dengan sopan.
"ya sudah, lantas ada apa kamu kemari. mau minta uang lagi?" tanya ibu dengan nada yang mulai meninggi.
"aku mau bantu ibu jaga warung." balasku dengan mantap.
"haaa... hebat sekali gurumu! baru juga sehari belajar mengajinya, sudah benar otakmu!" kata ibu dengan matanya yang terbelalak.
"jadi gimana, Bu. apa aku boleh membantu ibu." balasku lagi.
"jangan, Nak. mending kamu pulang saja. tidur! biar besok bisa bangun pagi lagi, nggak telat dari biasanya." tukas ibu.
"setidaknya biarlah anakmu ini berbakti pada ibu. mencuci satu mangkuk, dua mangkuk, atau gelas-gelas kotor."
"tak usah! sudah ibu bersihkan semuanya. pulang saja kamu, Nak. tugasmu belajar! kamu belajar yang benar saja itu sudah ibu anggap berbakti." jelas ibu dengan sorot matanya yang tajam padaku. "besok-besok kalau mau belajar mengaji lagi ajak abangmu, biar otaknya bener seperti dirimu yang sekarang."
aku turut patuh mengikuti perintah Ibu, tak lupa sungkem menundukkan kepala di punggung tangan kanannya menandakan rendahnya derajatku dihadapannya. lalu pulang kerumah untuk tidur, tak lupa kuikuti saran Pak Haji Ghofur untuk berwudhu sebelum tidur serta berdoa dan membaca surah seperti ayat kursi tapi yang lainnya tak kuikuti semuanya karena kebanyakan. itu kulakukan karena katanya Sunnah nabi. tapi jujur saja baru rebahan menghadap samping kanan pegal-pegal di punggung belakang mulai tak terasa, rasanya ingin langsung saja terlelap di ranjang. tenang tanpa beban, seperti tak ada yang ingin dipikirkan saja. terakhir kali kulihat jam di dinding pukul sepuluh malam, lalu kupejamkan mata dengan teduh tak lama kemudian diriku benar-benar tak sadarkan diri. Bersambung.