"Apa katamu? Kelly sudah bertunangan dengan kepala sekolah?" tanya Gio dengan wajah pucat pasi. Dia sangat terkejut mendengar berita kalau pujaan hatinya yang selama ini dia elu-elukan ternyata telah benar-benar sukses mematahkan hatinya.
Dia yang selama ini selalu berusaha merangkai kembali potongan hatinya setiap Kelly menolaknya cintanya.
Tapi mendengar kalau sang pujaan hatinya itu bertunangan dengan seseorang yang jelas-jelas tidak bisa di ajak bersaing, membuat hatinya patah dan hancur berkeping-keping dan kali ini dia sudah tidak bisa merangkainya kembali.
Meskipun demikian, Gio sebenarnya tidak percaya dan masih berharap kalau semua berita yang sudah menghebohkan warga sekolah adalah hanya hoax belaka. Tapi setelah mendengar sendiri kebenarannya dari sang Kepala sekolah pada saat pidatonya di upacara bendera, semua harapannya seketika menguap tak tersisa.
Hatinya begitu sakit, dia sangat mencintai Kelly dan selama ini dia terus berusaha tanpa lelah untuk mendekatinya, meskipun Kelly terus saja menolaknya. Itu Karena dia percaya kalau suatu saat pasti Kelly akan luluh dan menerimanya.
Gio terlihat duduk termenung memandangi rumput hijau yang terhampar luas di hadapannya. Sudah 3 jam lamanya dia hanya duduk seperti itu. Meskipun sudah seminggu pemberitaan tentang pertunangan Kelly sudah berlalu dan seluruh sekolah sudah kembali tenang seperti sedia kala, Gio masih saja seperti tak berjiwa.
Dia juga sudah seminggu tidak ke sekolah, ponselnya sengaja di matikan sehingga semua temannya di sekolah dan rekannya dalam ajang perlombaan olahraga menjadi bingung dan ikut terkena imbasnya. Gio juga dia tidak pernah ingin berlama-lama di rumah karena dia tidak mau bertemu dengan siapa pun.
Pikirannya kosong dan setiap hari dia hanya datang ke taman favoritnya sambil duduk terdiam. Hatinya masih terpukul.
"Kelly, kau benar-benar telah membuat hatiku lenyap dari ragaku sendiri. Teganya kau menyakitiku." Gumannya lirih, pikirannya menerawang terbang bersama angannya yang hampa.
Tapi sebuah sentuhan di bahunya mengembalikannya pada kenyataan kalau dia masih berada di atas bumi dan masih bernapas. Gio lalu menoleh dengan lemah dan melihat ayahnya tersenyum lembut ke arahnya.
"Sampai kapan kau akan tenggelam seperti ini, Nak? Ayo bangkitlah dan hadapi kenyataan. Cinta yang kau tujukan untuk Kelly kau bisa alihkan kepada orang lain suatu saat nanti. Tapi hal pertama yang harus kau lakukan adalah berdamai dengan perasaanmu, mengerti?" jelas pria tegap berkulit putih dan bermata hazel itu meyakinkan putra semata wayangnya.
Selama ini Gio adalah tipe anak yang optimis dan cerdas dia adalah putra kebanggaannya. Dia adalah satu-satunya pewaris seluruh kekayaannya. Gio adalah anak yang sangat berbakti. Dia tidak pernah membuat orang tuanya kesusahan. Selain itu, Gio juga berprestasi di sekolah bukan cuma si bidang akademik tapi juga di berbagai cabang olah raga. Dia adalah pujaan dan kebanggaan sekolah. Kedua orang tuanya sangat menyayangi Gio.
Tapi berita yang menciptakan luka tak berdarah di hati Gio menimbulkan perubahan besar dalam hidupnya yang selama ini begitu teratur dan menyenangkan. Dia seolah berubah menjadi orang lain. Sehingga semua orang terdekatnya menjadi sangat khawatir.
"Gio akan berusaha ayah, tapi untuk sekarang sepertinya Gio belum sanggup." Jawabnya dengan pasrah. Dia lalu mengedarkan pandangannya ke arah hamparan rumput hijau yang sangat indah.
"Gio, kesedihan yang berlarut tidak akan membawa perubahan apa pun, kau tahu hal itu, kan? Kau seperti ini malah hanya akan merugikan dirimu sendiri. Dan Ayah tidak mau itu terjadi. Apakah kau tidak kasihan dengan ibumu yang setiap hari bersedih hanya karena menghawatirkanmu?" Ayah Gio mencoba membujuknya lagi dengan menggunakan nama ibunya. Biasanya Gio paling tidak tega kalau menyangkut ibunya. Gio sangat menyayangi ibunya. Dan benar saja, setelah mendengar ucapan ayahnya, wajah hampa Gio seketika berubah cemas. Semenjak kesedihannya itu, dia memang tidak pernah lagi menyapa siapa pun termasuk ibunya. Dia tidak pernah lagi bercengkerama dengan ibunya seperti yang biasa mereka lakukan.
"Apakah ibu baik-baik saja?" tanya Gio khawatir.
"Tidak ada yang baik-baik saja semenjak kau seperti ini, Gio. Semua mencemaskanmu. Ibumu, ayah, teman-temanmu bahkan guru-gurumu di sekolah. Pulanglah Nak." Bujuk ayahnya.
Gio kemudian menghela napas dalam lalu berdiri dan tersenyum getir kearah ayahnya. Mereka kemudian berjalan menuju mobil.
"Ayah, kenapa ada mobil lain di halaman." Tanya Gio setelah melihat sebuah mobil merah terparkir di halaman rumahnya.
"Kamu turun dulu." Sahut ayahnya. Gio lalu turun dari mobil dan menatap mobil itu sekilas sebelum masuk ke dalam rumah. Ketika pintu terbuka, dia melihat seorang wanita berjilbab sedang berdiri memunggunginya sambil menatap foto keluarga Gio yang terpajang rapi di dinding.
"Miss Diana?!" ucapnya heran. Kenapa guru bahasa inggrisnya itu tiba-tiba datang ke rumah? Ya, apalagi kalau bukan ingin membujuknya ikut dalam kompetisi bahasa inggris. Pasti ayah sengaja menjemputnya untuk bertemu Miss Diana. Moodnya seketika berubah tidak baik, Gio menjadi sedikit kesal dengan kedatangan gurunya itu. Diana berbalik ke arahnya dengan senyum ramahnya yang sangat cantik. Gio hanya mendengus kesal.
"Selamat sore, Gio." Sapa Diana.
"Sore, maaf tapi untuk apa Miss datang kemari? Kalau untuk meminta saya ikut kompetisi, saya tidak bisa." Ucap Gio menolak. Dia benar-benar tidak ingin mengikuti lomba apa pun, terlebih dengan kondisinya yang sangat tidak mendukung seperti sekarang.
Ayah Gio masuk dan menyapa Diana. "Selamat sore Bu Diana. Silakan ngobrol dengan Gio, saya tinggal dulu. Permisi." Ucap Ayah Gio kemudian berlalu meninggalkan mereka. Diana hanya mengangguk hormat.
"Apa kita bisa bicara lebih santai? Ke taman misalnya, bagaimana?" ucap Diana berusaha membujuk Gio yang terlihat tidak suka dengan kedatangannya. Tapi dia harus tetap berusaha membuat siswanya itu bisa kembali ke jati dirinya seperti sedia kala.
Sudah cukup Gio larut dalam kesedihan cinta ala remaja yang nantinya akan merusak masa depannya. Apalagi anak seperti Gio, sangat di sayangkan kalau dia terus bersikap acuh tak acuh dan merugikan dirinya sendiri hanya karena cinta. Tugas dari wakil kepala sekolah untuknya ini harus dia laksanakan dengan hasil yang baik.
Gio terlihat berpikir lalu akhirnya melangkah mendahului Diana menuju ke taman belakang rumahnya. Diana lalu mengikut langkah Gio sembari menatap sekeliling, tampak pohon hias dan bunga-bunga indah yang sedang bermekaran. Diana sangat menikmati keindahan yang ada di depan matanya itu, sejenak dia melupakan beban hidupnya dan meresapi ketenangan hatinya untuk sesaat.
Gio yang tanpa sengaja melihat Diana berdiri tersenyum sambil menikmati pemandangan hanya menatap gurunya itu dalam diam. Dalam lubuk hatinya, dia mengakui kecantikan Diana yang terpancar sangat indah. Wajah oval merona yang hanya di hiasi polesan sederhana, matanya yang bulat dan bulu mata lentik, mampu menenggelamkan siapa saja yang menatapnya. Hidung yang mungil dan mancung serta bibir seperti ceri yang tidak pernah dipolesi lipstik tapi tetap indah dengan warna pink alaminya. Sungguh perpaduan keindahan alami seorang wanita. Apalagi dengan tubuhnya yang sedikit mungil, sehingga Diana tidak ubahnya seperti anak remaja SMA meski umurnya sudah mencapai 23 tahun. Sehingga tanpa sengaja bibir Gio tersenyum. Suaminya pasti sangat beruntung memilikinya. Tidak seperti dirinya yang cinta pertamanya harus berakhir tragis menyakitkan.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan berhenti di bawah sebuah pohon yang sejuk dan rindang.
"Jadi apa yang membuat Miss Diana susah payah datang ke sini." Tanya Gio kemudian sambil sesekali melempari danau dengan kerikil kecil. Diana tersenyum sebelum menatap Gio dengan serius.
"Miss tahu kalau kamu saat ini tidak akan mau melakukan hal apa pun atau peduli terhadap apa pun. Tapi kedatangan Miss kesini bukan untuk memintamu melakukan sesuatu, tetapi ingin membuat suatu kesepakatan. Jadi, jika kau nanti menyetujuinya berarti kamu menerima tantangan yang nantinya Miss berikan.
Aturannya begini, jika kau menang dalam tantangan ini, kau bebas melakukan apa pun sepuasmu tanpa ada gangguan karena Miss yang akan melindungimu di sekolah. Tapi, jika Miss yang menang, kamu harus selalu mengikuti ucapanku. Bagaimana? Apa sudah terdengar adil?" Jelas Diana dengan senyum misteriusnya. Gio menjadi penasaran.
"Kesepakatan apa itu, Miss?"