"Tantangan ini sangat mudah, saya hanya memintamu untuk kembali ke sekolah dan mengikuti pelajaran seperti biasa selama satu minggu. Dan jika hari berikutnya setelah tantangan berakhir kau tidak ingin lagi kesekolah, maka saya akan menuruti keinginanmu. Tapi, jika ternyata kau masih saja kesekolah itu artinya saya yang menang." Jelas Diana sambil memperhatikan mimik wajah Gio yang terlihat memikirkan ucapannya barusan.
Gio lalu menatap Diana dengan pandangan tidak suka.
"Bilang saja terus terang, kalau Miss ingin saya ke sekolah. Saya sudah bilang kalau saya masih butuh waktu dan belum siap untuk bersekolah. Kenapa sih semua orang harus bersikap egois dan mengabaikan perasaan saya? Sekali lagi Saya tegaskan kepada Miss Diana, saya akan ke sekolah kalau saya menginginkannya. Dan Keputusan saya sudah final." Tegasnya sambil berniat meninggalkan Diana.
"Ternyata kau punya sisi pengecut juga ya, saya pikir kau adalah siswa yang cerdas. Tapi membedakan tantangan dengan permintaan saja, kau tidak bisa." Pancing Diana. Dia sengaja memprovokasi pikiran Gio agar jiwa penantangnya bangkit. Dan seperti Diana usaha berhasil.
"Miss jangan asal bicara ya, saya tidak seperti itu. Baiklah, saya menerima tantangan Miss Diana. Saya pastikan kalau Miss tidak akan pernah mengganggu lagi." Jawab Gio dengan penuh tekad. Dia tidak terima di remehkan seperti itu, dia akan membuktikan kalau tantangan itu akan berakhir dalam seminggu dan guru yang ada di hadapannya ini tidak akan datang untuk mengganggunya lagi.
"Jadi seperti itu pikiranmu tentang gurumu sendiri, Gio? Miss tidak menyangka." Ucap Diana berpura-pura kecewa mendengar ucapan Gio.
"Bukan begitu, Miss. Saya masih menghormati Miss Diana sebagai seorang guru seperti saya menghormati orang tua saya. Tapi saya tidak suka jika seseorang memaksa saya untuk melakukan sesuatu di luar kemauan saya. Kita akan lihat, Miss akan kalah dalam tantangan itu." Jelas Gio serius. Diana tersenyum puas mendengar ucapan Gio, paling tidak semangat Gio untuk tidak ingin kalah sudah kembali sedikit demi sedikit.
"Kita lihat saja nanti." Sahut Diana dengan senyum manisnya. Dia kemudian berjalan menghampiri danau buatan yang dipenuhi bunga-bunga yang tumbuh liar di sekitarnya. Diana, lalu duduk dan memetik setangkai bunga kecil yang cantik. Gio memperhatikan Diana yang seolah hanyut dalam pikirannya sendiri, entah apa yang berkecamuk dalam pikiran wanita cantik yang ada di hadapannya itu. Tapi Gio merasa, Diana memiliki masalah sendiri dalam hidupnya. Lama mereka terdiam, sampai Diana menoleh ke arahnya sambil tersenyum manis seperti biasa.
"Kau tahu, Gio. Hidupmu itu sangat sempurna. Kau di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangimu. Kau adalah kebanggaan orang tuamu, masa depan mereka, kehormatan mereka. Kau sangat beruntung hidup dengan semua kasih sayang itu. Jadi Miss berharap, apa yang sudah kamu capai sampai saat ini, akan berlanjut sampai kau betul-betul siap untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
Kau juga seharusnya bersyukur, karena sangat banyak orang di luar sana yang bahkan untuk mendapatkan sedikit saja kasih sayang dari orang terdekat mereka sangat sulit." Tutur Diana sambil memandangi air danau yang begitu tenang menenteramkan.
"Apakah Miss sedang membicarakan masalah sendiri? Maaf kalau saya lancang, tapi saya melihat kalau Miss sedang ada masalah. Apa itu benar?" tanya Gio, entah kenapa dirinya seakan ingin mengetahui sesuatu yang tersembunyi di balik senyum Diana. Gio merasa senyum itu penuh dengan keterpaksaan. Sampai-sampai dia malah melupakan masalahnya sendiri untuk sejenak.
Diana kembali menatap Gio.
"Semua manusia pasti punya masalah dalam hidupnya. Anggap saja apa yang baru saja saya utarakan itu adalah bahan perbandingan untukmu supaya lebih mensyukuri apa yang sudah kau nikmati dan tidak menyia-nyiakannya." Jelas Diana, kali ini wajahnya berubah suram. Tapi, dia buru-buru menghilangkannya dengan senyuman. Gio masih sempat melihat wajah suram itu, tapi dia hanya bisa terdiam. Lagi pula, apa yang bisa dia lakukan? Bukankah tujuan Diana mengunjunginya untuk membuat kesepakatan?
"Baiklah, saya pulang dulu. Kelihatannya kamu juga tidak suka Miss berlama-lama berada di sini. Ingat, tantangan berlaku mulai hari senin besok" Ucap Diana kemudian berjalan meninggalkan Gio yang masih termenung menatap punggungnya hingga menghilang.
"Miss, apa pun masalahmu semoga cepat selesai." Lirihnya sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
Gio memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya. Tapi dia berpapasan dengan ibunya yang juga melangkah buru-buru menuju dapur. Tanpa aba-aba Gio langsung memeluk ibunya dengan erat.
"Gio kangen sama ibu" ucapnya pelan. Ibunya pun membalas pelukan hangat putranya dengan penuh kasih sayang.
"Ibu juga sangat merindukan putra ibu. Sudah lama Gio tidak mengajak ibu main game." Ucap Dara dengan memasang wajah protes. Gio lantas tersenyum kecil, dia lalu melepaskan pelukannya dan menatap ibunya dengan serius.
"Mulai besok sehabis pulang sekolah, Gio akan menyempatkan waktu bermain dengan ibu. Bagaimana?" balas Gio menawarkan. Dara tersenyum senang, dia sangat bahagia melihat wajah optimis putranya lagi. Selama seminggu ini, wajah itu tidak pernah ada dan itu membuatnya sangat sedih. Tapi sekarang, entah keajaiban dari mana, Gio tiba-tiba saja mau ke sekolah dan keceriaan putranya itu berangsur muncul kembali.
"Benarkah!?" tanya Dara tidak percaya. Mata coklatnya yang indah terlihat berbinar, meski usianya yang sudah memasuki angka 40, dia masih seperti wanita yang masih berumur 30an. Apalagi dengan rutinnya dia menjaga tubuh dengan olah raga dan makan makanan yang sehat, bentuk tubuhnya masih sangat indah.
"Iya, ibu Dara yang cantik." Goda Gio kepada ibunya. Sedangkan Dara hanya tersenyum bahagia melihat perubahan putranya.
Pagi harinya, Gio sudah terlihat sangat segar dan tampan dengan seragam sekolahnya. Postur tubuhnya yang tinggi tegap serta kulitnya yang putih seakan melengkapi kesempurnaan bentuk fisiknya yang indah. Wajah yang rupawan dengan manik mata berwarna hazel dan dilengkapi alis yang tebal, hidung mancung serta rahang yang terbentuk sempurna di wajahnya menjadikannya seperti model majalah fashion pria yang sangat tampan dan melelehkan hati setiap wanita yang melihatnya.
Senyuman di bibirnya yang sedikit tebal dan merah menggoda tampak sangat indah. Dan jika dia tidak berpakaian seragam sekolah, orang-orang tidak akan percaya kalau Gio masih remaja 18 tahun yang masih duduk di bangku kelas tiga 3 SMA.
Setelah menghabiskan sarapannya, dia lalu meminta izin kepada ibunya sebelum memasuki mobil yang sudah sejak tadi menunggunya. Dia menghela napas panjang, di dalam hatinya dia bertekad akan melupakan semua kesedihan hatinya dan memulai langkah awal dengan penuh semangat. 'Kita akan lihat siapa yang akan menuruti siapa, Miss Diana' gumannya dalam hati sebelum meminta sopir untuk melajukan mobil.
Sesampainya di sekolah, semua orang tersenyum kearahnya seperti biasa, dia pun membalas senyum mereka. Dia kemudian berjalan melewati koridor menuju kelasnya. Diam-diam matanya mencari keberadaan seseorang, tapi dia tidak menemukan siapa-siapa. Hanya tampak beberapa siswa Saja yang berpapasan dengannya tersenyum dan menyapanya.
Meskipun masih belum ramai tapi semangat hari Senin sudah menyelimuti seluruh sekolah, sehingga dia pun berjalan dengan pasti menuju kelasnya sebelum berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara bendera.
Tidak seperti biasa, kelasnya tampak hening dengan pintu tertutup rapat. 'Apa orang-orang sudah berkumpul di lapangan, ya?' tanyanya dalam hati. Gio kemudian membuka pintu kelas dan masuk ke dalamnya. Tapi tiba-tiba...
"SURPRISE....!!!!"