"Bodo amat lah, yang penting rencana Venus sama Zara mulai berhasil." Venus tersenyum licik seperti orang jahat di drama-drama azab Indosiar.
Venus tersenyum bahagia ketika sadar bahwa rencana yang Zara buat lalu ia lakukan cukup bahkan bisa dibilang sangat berhasil. Buktinya saja Aldrich sampai menghubungi Venus hingga berkali-kali. Apakah ini tandanya Aldrich suka? Atau mungkin Aldrich berubah pikiran? Belum tentu, karena ini hanya permulaan saja. Bukan akhir dari rasa Aldrich.
"Eh bentar, tapi kalau Aldrich cuma gabut karena nggak ada kerjaan gimana?" Venus mulai berfikir tak karuan.
"Eh tapi emangnya di kerja apa?" Sisi kebodohan dari otak Venus kembali terlihat disini.
"Ah udahlah! Mau kerja kuli kek, kerja toko kek, atau kerja jadi CEO sekalipun, Venus tetap suka sama Aldrich," ujar Venus sembari menunjukan binar kebahagiaan di kedua matanya.
Venus memanglah anak yang tidak pernah memandang orang dari apa yang dia punya seperti pekerjaan, harta, derajat, atau posisi. Vensu adalah seorang gadis yang lebih menyukai orang dengan hidup apa adanya. Dalam pertemanan contohnya. Venus bahkan tidak pernah melihat atau menengok hanya untuk memastikan apakah mereka dari kalangan Venus atau bukan.
"Cinta kan nggak mandang fisik. Tapi kalau fisik bagus, terus sikap bagus kan juga lebih bagus. Hehehehe." Vebua tertawa renyah karena perkataannya sendiri.
Sering ponsel Venus berbunyi sangat keras. Venus segera mengambil ponsel itu dan membuka layar handphonenya. Venus segera mengangkat telfon itu ketika dia tahu bahwa yang menghubungi dirinya adalah Zara.
" Hallo? Apa Zara?"
"Gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ya lo gimana? Sehat?
"Ya sehat lah Zar. Emang kenapa sih? Langsung ajalah kalau mau ngomong."
"Lo lupa ya?"
"Lupa apalagi ya Tuhan!"
"Amnesia bener lo Ven!"
"Astaghfirullah jahatnya anda Arnovea Navriel Genoveva."
"Lo sih lupaan jadi orang."
"Emang ada apa sih Zar? Nggak paham tahu dari tadi."
"Lo lupa kalau besok itu hari terakhir lo ngerjain rencana gue."
"Oh iya lupa. Bagus lah kalau gitu, jadi Venus nggak tahan-tahan lagi deh kalau mau ketemu sama Aldrich. Apagi kalau Aldrich nanti telfon Venus."
"Sinting lo lama-lama ya Ven. Lo tuh gimana sih? Lo pengen nggak pacaran sama Aldrich?"
"Nggak!"
"Terus kalau enggak nagapin lo ganggu hidup dia?"
"Siap sih yang gangg? Venus nggak mau pacaran sama Aldrich tapi Venus pengen nikah sama Aldrich."
"Masih lama bocah. Nggak usah mikir kesana dulu, gue kasihan sama otak lo. Nanti tambah beban di otak lo lagi terus kalau isinya brojol gimana?"
"Bisa emang?"
"Gue rasa sekarang gue udah mulai nggak percaya kalau lo pinter deh Ven?"
"Lah kenapa emang?"
"Semakin hari gue rasa otak lo isinya tetap cuma ganti bab doang deh."
"Ngelawaknya lucu banget sih Zar!"
"Siapa sih yang ngelawak? Gue bukan Nunung atau Sule ya, jadi gue bukan pelawak."
"Venus nggak bilang kau Zara Nunung atau Sule kok."
"Suka-suka lo deh Ven, capek gue debat sama lo. Mending gue debat atau demo di depan gedung DPR dah daripada debat sama lo. Lebih berkelas tahu nggak."
"Bukannya udah selesai ya demo nya? Atau ada lagi?"
"Udah pikir aja sendiri, byee Venusya Geova Kyle."
Zara mematikan sambungan secara sepihak. Venus tampak mengerucutkan bibirnya karena Zara memutuskan sambungan itu sepihak tanpa ada persetujuan dari dirinya.
"Eh tapi besok terakhir ngerjain tugas Zara. Harusnya Venus bersyukur ya, tapi kok nggak ada rasa senang-senangnya sih?" Venus binhung dengan perasaannya sendiri saat ini.
"Waitt... Wait.... Wait....! Tapi kayaknya apa yang dibilang Zara berhasil deh. Buktinya kemarin aja Aldrich telfon Venus terus, nggak kayak biasanya. Ah bodo lah, yang penting berusaha dulu. Mau nanti hasilnya gimana itu dipikr akhir aja," ujar Venus lalu mengambil buku diary biasa ia gunakan untuk menuliskan sesuatu yang menurutnya istimewa.
Bagiku, kita adalah sepasang manusia yang berpijak di bumi namun dengan perasaan yang berbeda.
~Venusya Geova Kyle~
10-12-2020
"Semua itu hanya bagaikan, bukan berarti kenyataan. Masih ada hari esok buat Venus berjuang," ujar Venus dengan nada penuh puitis.
"Bagus banget sih kalau gitu? Udah pantes deh kayaknya Venus jadi tukang puitis gitu." Venus me afap dirinya bangga di depan kaca yang menjulur dari atas ke bawah.
"Bangga banget deh Aldrich pasti kalau punya pasangan kayak Venus. Udah cantik, baik, bisa puisi, piner lagi. Udah sempurna deh." Venus memjui dirinya sendiri sembari tersenyum tak jelas di depan kaca besar itu.
"Eh kan nggak boleh sombong. Nanti kalau sama Tuhan diambil gimana? Terus siapa dong yang bikin Aldrich ketawa lagi kalau bukan Venus? Tapi Aldrich nggak pernah ketawa deh," ujar Venus yang hanya orang-orang pintar saja yang tahu.
**********
Sinar pagi menembus ruangan gadis itu. Hingga sang pemilik kamar itupun yang menyadari mentari mulai masuk akhirnya terbangun dari alam mimpinya. Menampilkan wajah sosok gadis yang begitu cantik dan polos tanpa polesan riasan sedikitpun.
"Pagi matahari, pagi dunia," sapa Venus pada mereka yang tidak akan pernah bisa menjawab sapanya.
"Eh Aldrich kalau habis bangun ngapain ya? Pasti wajahnya lucu banget deh, apalagi kalau tidur," ujar Venus sehabis membuka matanya dan mengumpulkan nyawanya.
"Ssttt, apaan sih Venus! Nggak boleh mikir kayak gitu, nggak boleh!" Venus menyadarkan pikirannya sendiri.
"VENUS CEPAT BANGUN! MANDI! TERUS LANGSUNG TURUN SARAPAN!" Suara teriakan dari sang kakak menggema ke seluruh kamar Venus hingga membuat gadis itu menutup kedua telinganya dengan jarinya.
"Subhanallah suaranya merdu banget sih," sindir Venus yang padahal adalah untuk mengejek sang kakak karena suara yang begitu nyaring melebihi emak-emak komplek.
Venus segera bangkit dari atas kasur dan memakai sandal kamar lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi. Tak berselang lama akhirnya Venus keluar dari kamar mandi dan duduk di depan meja riasnya. Meja rias Venus sangat simple. Hanya ada bedak, parfum, lip balm, dan sisir. Itu sangat sederhana bagi perempuan seperti Venus. Dirinya memang tak terlalu suka dengan berbagai macam make up. Bahkan dirinya tidak begitu tahu berbagai macam make up wajah.
"Ok, selesai!" Venus meletakan sisir yang tadi ia gunakan untuk menguncir rambutnya yang terurai indah bak Rapunzel.
"Nggak usah dandan udah cantik," ujar Mars dari ambang pintu.
"Siapa sih yang dandan. Orang Venus cuma sisirin rambut doang kok," jawab Venus menengok ke arah Mars.
"Eh tapi btw, lo cewek apa bukan sih?"
"Cewek lah, emang Venus apaan. Emang kenapa sih kalau Venus cewek?"
"Setahu kakak kalau cewek itu pasti banyak make up deh di meja riasnya. Ini kok nggak ada satupun make up di meja kamu. Cuma ada bedak, minyak wangi, sisir, sama lip balm doang. Nggak mampu beli ya?"
"Siapa juga yang nggak mampu? Nih ya Venus kasih tahu, Venus tuh nggak usah ada riasan wajah juga udah cantik. Venus dilahirkan untuk menjadi bidadari di dunia ini," jawab Venus sangat percaya diri sampai membuat Mars sedikit tersenyum geli.
"Buka matanya dulu, mimpi jangan terlalu lama, nggak baik," sindir Mars lalu berlari kecil menuju ruang tengah atau meja makan.
Venus menyusul sang kakak yang sudah berada di meja makan dulu sebelum dirinya. Hari ini menu makan mereka adalah nasi goreng seafood dan jus jeruk. Menu yang sangat simple namun tetap saja mewah.
"Mah hari ini Venus pulangnya agak terlambat. Soalnya nanti ada rapat OSIS di sekolah, dan Venus nggak bisa ninggalin rapat itu." Venus berkata sembari mengambil nasi goreng yang ada di atas piringnya.
"Iya mamah paham kok sayang. Tapi kamu jangan malam-malam ya kalau pulang, nggak baik cewek pulang malam-malam." Pesan Hera pada gadisnya ini.
"Yaudah kalau gitu Venus pamit dulu, kak Mars udah nunggu di depan soalnya." Venus berpamitan kepada Hera.
Mars memang lebih dulu selesai dibanding Venus. Setelah itu Mars langsung mengambil mobil di garasi dan menunggu Venus di depan rumah seperti biasa.
Venus segera bergegas keluar menuju dimana Mars berada. Venus segera masuk ke dalam mobil dan Mars juga segera melajukan mobilnya agar sang adik tidak terlambat sekolah.
"Heh cewek!"
"Apaan sih kak, geli tahu,"
"Ya kenapa emang? Kan emang cewek. Kalau kakak panggil banci baru boleh protes."
"Udahlah Venus geli dengernya. Ada apa emang?"
"Lagi deket sama orang ya?"
"Iya, kenapa emang?"
"Siapa?"
"Kakak."
"Beneran lah Ven, masa kakak sih."
"Ya kan Venus bener, Venus emang lagi deket kan sama kakak. Kalau nggak percaya Venus ukur deh pakai penggaris," ujar Venus mengeluarkan penggaris lalu mengukur jarak dirinya dengan sang kakak.
"Tuh cuma 40cm aja, kan deket."
Mars hanya bisa menarik napas dan mengelus dadanya atas tingkah laku adik satunya ini.
"Hmm,"
"Kak Mars kali yang deket sama orang," ujar Venus menggoda sang kakak.
"Enak aja kamu, nggak ya," jawab Mars sewot.
"Yaudah sih jawab nya biasa aja, nggaj usah ngeggas kali." Venus memalingkan wajah kesal.
Kini mobil hitam berisi dua orang manusia itu berhenti di seberang jalan agak jauh dari bangunan sekolah itu. Salah satu penumpang dari mobil itu keluar sembari membawa tas ransel di salah satu pundaknya.
"Kak, Venus masuk dulu," ujar Venus pamit pada sang kakak lalu segera menyebrang jalan menuju ke arah bangunan SMA itu.
Venus berjalan perlahan menyeberang jalan dan tak lupa dia juga menengok ke arah kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada motor atau mobil atau kendaraan lain yang melintas. Setelah menengok ke kanan dan kiri namun tidak ada kendaraan yang lewat, Venus segera melewati jalan raya tersebut dengan sedikit berlari.
"Pagi pak," sapa Venus pada satpam yang menjaga SMA yang ia gunakan sebagai tempat menuntut ilmu.
"Pagi bidadari," jawab pak satpam itu.
"Bapak bisa aja. Venus masuk dulu ya pak, permisi," ucap Venus lalu berjalan melenggang pergi memasuki area sekolah dan berjalan di sepanjang koridor sekolah.
"Ishhh ada ya ternyata perempuan cantik kayak Venus gitu," ujar satpam itu memuji kecantikan Venus.
Venus berjalan melewati setiap kelas yang terjajar rapi di sepanjang koridor sekolah. Wajahnya dingin namun tetap memancarkan aura ramah dan hangat. Gadis dengan seribu keunikan, serta gadis dengan aura malaikat.
"Ven!" Terdengar suara perempuan memanggil nama Venus dengan cukup kencang.
Venus pun yang mendengar hal itu segera berhenti dan tak melanjutkan perjalanan menuju kelas. Venus berbalik badan dan menemukan gadis dengan rambut dikuncir satu di belakang.
"Isssh dipanggil-panggil nggak dengar. Capek tahu," ringis Zara dengan mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal.
"Ngapain sih Zar pakai lari-lari kayak gitu? Kan bisa jalan kaki aja," ucap Venus kepada Zara karena melihat Zara sangat kelelahan.
"Lo sih dipanggil nggak dengar, ya gimana gue nggak lari-lari," jawab Zara yang masih mengatur nafasnya yang mulai teratur.
"Ada apa emang?"
"Lo nggak inget?"
"Inget apaan?" Venus tak mengerti dengan perkataan yang Zara ucapkan.
"Sumpah ya lo, udah gue teriakin nggak denger, gue lari lo malah diem aja, terus sekarang lo nggak inget? Sumpah ya lo keterlaluan tahu nggak!" Zara sedikit kesal karena Venus bahkan tak inget sedikitpun tentang hari ini.
"Apa sih Zar? Yang jelas dong," Venus memasang wajah serius karena ia sama sekali tak mengerti dengan ucapan Zara.
"Ini hari terakhir lo buat ngejauhin Aldrich. Terus setelah itu lo bakal tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Zara menjelaskan secara rinci kepada Venus dengan sangat teliti tanpa ada satu kata yang tertinggal.
"Oh iya, ya syukurlah kalau gitu. Jadi Venus nggak perlu lagi tuh jauhin Aldrich," sahut Venus sangat bahagia.
"Udah mulai tuh sisi lainnya. Aqalnya aja diem kayak Frozen, pas dengar nama 'Aldrich' aja tiba-tiba langsung berubah, dasar cewek labil!" Zara memutarkan bola matanya melihat tingkah labil Venus terhadap laki-laki itu.
"Yaudah kalau gitu, ke kelas yuk!" Venus menarik tangan Zara sampai membuat gadis itu terkejut dan tak bisa menyeimbangi langkah Venus.
Kedua gadis itu berlari kecil menuju kelas sembari memperlihatkan wajahnya yang begitu bersinar bak matahari.
"Sumpah ya tuh cewek udah lewat lah kalau dibanding sama bidadari," lirih Leo melihat Zara dan Venus yang tengah berlari kecil.
"Matanya masih pagi mohon jangan membuat dosa! Hidup masih panjang, jangan dihabiskan membuat dosa wahai manusia," sindir Brian yang melihat Leo terus memuji dan melihat Venus dan Zara tanpa mengedipkan mata.
"Apaan sih iri banget jadi orang. Punya mata sendiri-sendiri yang terserah dong. Situ kalau matanya nggak mau digunakan mending donorin aja ke orang yang membutuhkan," sahut Leo tak terima disindir oleh Brian.
"Pagi-pagi jangan buat darah gue naik. Gue masih pengen sehat," sahut Titan.
"Ekhemmm....." Suara itu membuat mereka terkejut sampai terdiam. Mereka yang tadinya bahagia melihat Venus dan Zara bak bidadari, kini hanya diam tanpa berkata sedikitpun.
"Nah lo mati nggak, Raja Firaun marah noh. Hancur nih galaksi Bima sakti kalau sampai Raja Firaun marah," lirih Leo menyenggol bahu Brian.
"Diem lo, jangan ngajak gue buat dosa karena gibah lo," ujar Brian menyenggol bahu Leo.
"Ngapain berdua disitu?"
"Lihatin Venus sama Zara." Leo tak sengaja mengucapkan kata itu yang langsung dibalas cubitan hangat dari Brian.
"Maksud Leo kita disini cuma mau lihat-lihat bunga, lihat pemandangan indah disini doang kok Al. Nggak lebih, ya kan Le?" Brian langsung menyahut pembicaraan itu sehingga Al tak curiga.
"I-iya betul, itu maksud gue," sahut Leo setuju dengan omongan Brian.
"Masuk!" Suara berat nan tatapan bak elang itu langsung membuat mereka masuk dan ngirit berlari ke dalam kelas.
"Dasar cowok mata jelalatan," ujar Aldrich lalu masuk mengikuti mereka bertiga.
Zara dna Venus yang tadi sempat berlari kecil menuju kelas pun akhirnya sampai. Mereka berdua duduk di kursi mereka masing-masing.
"Kenapa sih Ven matanya gitu? Nggak suka sama gue?" Zara menatapa Venus karena sejak tadi Venus menatapnya dengan tatapan membunuh.
Zara mendorong wajah Venus menjauhi wajahnya. Jujur Zara bisa suka jika lama-lama menatap Venus seperti ini.
"Mata lo nggak usah gitu! Gue tahu mata lo bagus, tapi nggak usah gitu," ujar Zara melihat ke arah awan-awan atap.
"Emang Zara yakin kalau ini bakal berhasil?" Tiba-tiba saja Venus berbicara berbisik yang membuat Zara sedikit terkejut dan mundur.
"Ishhh nggak usah bisik-bisik gitu dong, kan jadinya kayak gimana gitu," ujar Zara memundurkan tubuhnya.
"Berhasil nggak?" Venus menyakinkan Zara untuk menjawab pertanyaan.
"Ya mana gue tahu. Kalau berhasil ya Alhamdulillah, kalau nggak yaudah. Namanya juga usaha, nggak selamanya bakal berhasil," ujar Zara menatap arah lain.
"Terus kenapa dulu Zara yakin banget kalau bakal berhasil? Kenapa coba?" Venus memajukan wajahnya menatap Zara dengan intens.
Zara mendorong wajah Venus menjauhi dirinya." Ya namanya berharap pasti semua juga yang baik-baik lah Ven. Masa iya gue berharap nggak berhasil, yakali aja lo,"
"Iya juga sih, cuma kan kayak gimana gitu," Venus menatap arah lain.
"Gimana apanya sih? Lo jadi manusia hidup tanpa keribetan bisa nggak? Ngomong yang jelas, jangan buat gue jadi manusia terbodoh yang mau denger kata-kata lo ya," ujar Zara karena Venus mulai berbicara tak jelas.
"Tunggu dulu deh Zar, bukannya tadi pas kita jalan kayaknya ada Aldrich drh," ujar Venus melihat arah atas sembari mengingat-ingat apa yang tadi dirinya lihat.
"Mana gue tahu, lo aja tadi narik-narik tangan gue kayak gitu," Zara mengelus-elus tangannya yang sedikit merah karena cekalan yang cukup kuat dari Venus.
"Tapi kok dia lihat Zara ya, bukan lihat Venus,"
"Suka kali sama gue. Gue kan cantik, pinter, nggak sombong. Namanya jatuh cinta kan bisa sama siapa aja," jawab Zara yang langsung membuat Venus melihat Zara dengan tatapan murka.
"Mulutnya tolong dijaga ya," ujar Venus sangat ramah.
"Ya kan siapa tahu aja sih Ven, lagian gue juga nggak suka sama Aldrich. Dih boro-boro gue suka, mau lihat aja enggak. Udah dingin, nggak ada sifat kayak manusia gitu, yakali gue suka," sahut Zara.
Kringggg..........!!!!!