Karen memasuki sebuah gudang, tempat kerjanya mulai dari sekarang.
Dia mengelilingi pandangan. Gudang itu adalah gudang kain yang akan dikirim setiap harinya ke pabrik pakaian. Tugas Karen hanya memastikan stok yang ada di sana setiap hari.
Mungkin awalnya akan terdengar mudah. Namun ketika usia kandungannya sudah mulai tua. Pasti dia akan kesusahan.
"Wah, kau lagi?" Seorang lelaki masuk ke dalam gudang tersebut. Dia adalah leader yang ada di sana, yang nantinya akan bekerja dengan Karen.
Karen melirik name tag yang ada di dada sebelah kiri lelaki itu. Rafka, wajah itu ia temui kemarin.
"Iya, mohon bantuanya," kata Karen.
"Tentu saja. Mari masuk dulu dan berkenalan dengan yang lainnya." Rafka mengajak Karen masuk.
Karyawan yang tadinya duduk, ada yang masih bermain ponsel bahkan sedang mengobrol langsung membentuk lingkaran untuk rapat kecil pagi ini.
Rafka membuka rapat, dia memperkenalkan Karen yang akan bekerja di sana mulai hari ini.
"Meski masih muda, aku harap kalian bersikap baik dan sopan ya, bantu Karen jika ada kesulitan. Dan ingat, wanita tidak boleh mengangkat barang berat, apalagi yang ada di rak paling atas," kata Rafka.
Karen melirik Rafka. Lelaki itu tampak sangat baik dan perhatian. Dia juga sangat bijak, meski ia tahu pasti umurnya tidak jauh darinya.
"Baik Pak!"
Dan dia dipanggil bapak oleh karyawan yang lain. Karen tersenyum.
"Hari ini ada stok kain yang akan masuk, jadi pastikan barang barangnya dicek dulu ya. Baru setelah itu serahkan datanya pada Karen."
"Baik Pak!"
Lalu Rafael menoleh ke arah Karen. "Pekerjaannya tidak berat, hanya saja di sini berdebu makanya banyak perempuan yang mengundurkan diri setelah mendapatkan pekerjaan berAC," tutur Rafka sambil membawa Karen naik ke lantai atas.
Di sana ada ruangan kecil. Tak ada AC melainkan kipas besar yang seperti angin putting beliung. Jika tidak hati hati maka kertas kertas dokumen akan bertebaran.
"Ini mejamu, dan di sana mejaku. Aku akan jarang ada di sini, tapi kamu bisa menghubungiku lewat ini." Rafka memberikan sebuah HT pada Rafka. Rafka juga memberitahukan pada Karen bagaimana cara menggunakannya.
"Aku harap kamu betah ya, soalnya pusing juga kalau harus mengajari karyawan baru setiap tiga bulan sekali," kekeh Rafka. Ada lesung pipinya yang muncul ketika dia tersenyum.
Inginnya juga begitu, tapi kalau perut Karen membesar mana mungkin dia bisa bekerja di sana lebih lama.
"Aku akan turun, kalau ada apa apa kamu bisa bertanya padaku. Ini adalah dokumen yang akan kamu isi hari ini. Kalau sudah selesai bisa dicetak, dan antarkan ke kantor. Nanti aku akan mengantarkanmu."
"Baik, terima kasih," jawab Karen. Ia melihat Rafka kemudian keluar ruangan dengan tergesa gesa. Apa dia mulai sibuk meski masih pagi?
Dari dalam kantor, Karen dapat melihat seluruh isi gudang di sana dari atas. Karena kacanya bening, karyawan yang ada di bawah pun dapat melihat Karen dari sana.
Karen melihat ponselnya. Masih sepi, kenapa Rafael tak bisa dihubungi?
**
Makan siang untuk pertama kalinya di kantin. Karen makan sendirian karena dia tidak memiliki teman di sana.
Ia mengelilingi pandangan, rupanya seragam yang bekerja di kantor dan gudang itu berbeda. Karen menelan ludahnya, karena melihat baju seragam itu memiliki kelompoknya sendiri.
Bingung harus duduk di mana, karena seragam yang mirip dengannya kebanyakan adalah lelaki.
Namun matanya mengarah pada sosok Rafka yang duduk dengan wanita yang bekerja di kantor. Bisa dilihat dari seragam berwarna hitam. Sementara Rafka berwarna abu abu seperti dirinya.
Mereka berdua bercanda bahkan tertawa, sepertinya sedang membicarakan hal yang lucu.
"Wah, Rafka memang beruntung ya, mendapatkan wanita seperti Aliya. Cantik, anak pemilik perusahaan ini dan—"
"Rafka kan tampan, wajar lah dia mendapatkan Aliya."
"Jadi kamu pikir aku yang seperti umbi umbian tidak cocok dengan Aliya?"
Kedua lelaki yang berasal dari gudang itu duduk, Karen ikut duduk di sana. Dan mencuri dengar.
Oh ternyata dia adalah kekasih Rafka. Pantas saja wanita itu menyukai Rafka, karena Rafka itu baik dan murah senyum.
Karen tadi sempat berpikir jika Rafka sangat baik padanya karena sesuatu. Dan hal itu sontak membuatnya malu.
"Aliya yang mengutarakan perasaannya pada Rafka waktu itu."
"Serius?"
"Kan sempat ditolak karena Rafka sadar diri."
"Tapi Aliya tidak mau, lagi pula. Kenapa Aliya harus dengan Rafka sementara dia bisa mendapatkan lelaki yang lebih?"
"Cinta itu buta bro."
Karen tersenyum getir. Sama halnya cintanya pada Rafael juga sudah membutakannya. Dia tergila-gila dengan lelaki itu sampai dia harus merelakan keperawanannya demi Rafael.
Mendadak, lambungnya merasakan sebuah gejolak yang tak bisa ia tahan. Semakin naik, dia membungkam mulut namun sepertinya tak bisa membantunya sama sekali.
Hingga akhirnya Karen membawa kembali nampan itu dan meletakannya di bar kantin. Ia berlari dan masuk ke toilet.
Dia memuntahkan cairan bening. Ia mual mual lagi.
Rasa lapar yang ia rasakan sudah tidak terasa lagi, ia merasa lebih mual dari biasanya.
Ia meremat perutnya kemudian meneteskan air matanya tanpa sadar. Bukan menangis, tapi memang efek setelah muntah.
**
Rafka sudah ada di dalam ruangan ketika Karen menaiki tangga. Dia melihat roti selai dan susu pisang di sana.
"Aku dengar tadi kamu tidak makan, aku membawakan roti. Agar kamu tidak sakit," kata Rafka.
"Terima kasih."
"Apa kamu sakit? Pasti karena belum terbiasa di sini ya?"
Kenapa dia baik sekali? Apakah dia akan bersikap baik pada tiap wanita?
"Tidak, sepertinya saya hanya masuk angin."
"Oh, mau aku ambilkan obat?"
Obat? Tidak, karena itu tidak baik untuk janinnya.
"Uhmm, itu bisakah saya meminta minyak angin atau apapun itu, sepertinya saya lebih membutuhkan itu."
Rafka berdiri kemudian bergerak ke kotak obat yang ada di dalam ruangan tersebut. Kemudian mengambil minyak angin yang diinginkan Karen.
"Ini, nanti kalau sudah selesai letakan saja di sana." Rafka menunjuk kotak obat tersebut.
"Baik."
Karyawan lain muncul, dan memberikan dokumen pada Karen. Ia harus menginputnya hari ini juga.
"Ada jadwal lembur, Pak?" tanya karyawan itu.
"Butuh dua orang ya, ada barang yang akan datang lagi soalnya. Cari siapa saja yang mau."
"Siap."
"Karen, kamu—bisa lembur?"
"Sampai jam berapa, Pak?"
"Jam tujuh kok, dua jam, setengah jam nanti makan malam di kantin."
"Bisa," jawab Karen. Mana mungkin dia menolak suruhan lembur padahal dia masih baru?
"Kalau begitu lembur ya, mohon bantuannya. Aku juga nanti di sini kok. Mengawasi mereka yang lembur," kata Rafka melirik ke arah karyawan dengan senyumnya yang manis.
"Sepertinya kami yang harus mengawasi bapak deh, karena pasti Bu Aliya akan menemani bapak di sini."
Tunggu dulu—jadi nanti Aliya akan ada di sana selama dua jam?