Namara berjalan sambil mengamati keadaan di sekitar. Ada beberapa rumah yang dibangun dari batu atau tanah liat dengan ukuran kecil. Tinggi rumah-rumah itu kelihatannya tidak lebih dari dua meter.
Namara mengernyitkan dahinya. Rumah itu sedikit tidak biasa untuk seseorang yang jarang menjelajah seperti dia. Rasa penasaran dan keheranan menggelayuti pikirannya.
Udara di sana terasa begitu lembab dan dingin. Jika dilihat dari dedaunan yang basah sepertinya belum lama ini baru saja turun hujan.
Langkah kaki Eros terasa begitu cepat, Namara tidak bisa mengimbanginya. Jalanan di sana gelap dan dia tidak memiliki kemampuan melihat sesuatu dalam kegelapan.
Ini tengah malam. Namara tidak melihat siapa pun di sana. Jujur saja dia merasa sedikit takut. Bukan pada hantu, dia tidak percaya hal mistis seperti itu. Dia hanya takut ada orang jahat atau binatang buas.
Dengan cepat dia berlari menyusul Eros. "Tuan, tunggu!"
"Ssttt …." Eros menatap tajam pada Namara. "Jangan membuat keributan."
Namara hanya mengangguk. Dia tidak bisa melihat ekspresi Eros, tetapi sorot matanya yang tajam terasa seakan menembus jiwa. Ah, terserahlah.
Setelah berjalan beberapa saat lagi akhirnya Namara berhenti di depan sebuah rumah. Seperti kebanyakan, rumah itu juga dibangun dari tanah liat. Atapnya terbuat dari jerami kering. Kemudian terdapat pula bola lampu sihir yang dipasang di dinding.
"T—tuan …, sebenarnya di mana ini?" Namara bertanya. Dia sudah tidak tahan ingin mengetahui tempat terpencil yang asing itu.
"Kau tidak akan tahu," balas Eros tanpa menoleh. Pria itu berjalan mendekati pintu rumah yang tingginya tidak lebih dari pundaknya.
Apa tempat ini adalah tempat tinggal para manusia kerdil? Namara tidak tahu.
Eros mengetuk pintu sebanyak tiga ketukan. Tak selang lama pintu pun terbuka menampilkan sosok si pemilik rumah.
Namara terkejut melihat orang itu. Benar, itu adalah pria paruh baya. Namun, tingginya memang tidak seperti tinggi manusia pada umumnya. Haruskah dia menyebutnya manusia kerdil?
Ah, meskipun pria itu pendek, tetapi penampilannya tidak buruk. Itu masih sama seperti manusia normal.
Setelah melihat Eros, pria pendek itu langsung membungkuk. Ada sorot keterkejutan di matanya. Mungkin mereka kenalan lama, pikir Namara.
"Dardanos," sapa pria itu.
"Hmm. Aku perlu menginap sampai besok," kata Eros.
Kening Namara menjadi semakin berkerut. Jika seperti ini terus mungkin wajahnya akan cepat keriput.
Bagaimanapun juga dia memang merasa heran. Kenapa pria itu memanggil Eros dengan nama Dardanos? Atau mungkin itu identitas samaran?
Pria itu menatap Eros sambil mempertimbangkan. Beberapa saat kemudian dia mengangguk setuju. "Masuklah."
Namara merasa sedikit tidak percaya. Rumah itu terlihat kecil dan mungil. Belum lagi tinggi bangunannya yang seperti itu. Bagaimana mungkin Eros bisa memilih tempat itu untuk menginap? Apa rumah itu bisa menampung mereka?
Eros menatap Namara yang hanya diam di tempat. Dia mendengkus. "Jika kau tetap di sana mungkin besok hanya tulang-tulangmu yang tersisa."
"Apa … maksud Tuan?" tanya Namara yang tidak mengerti maksud Eros.
Pada saat itulah tiba-tiba dia mendengar suara geraman binatang. Meskipun itu cukup jauh, suaranya terdengar buas dan menakutkan. "Apa itu?"
Eros tidak menjawab, sebaliknya dia berjalan masuk ke rumah. Pria pendek itu menatap Namara dengan serius. "Nona, cepat masuk. Tidak baik berada di luar malam-malam."
Dengan cepat Namara berlari masuk. Dia merasa suasana tempat pedesaan itu sedikit aneh. Mungkin ada hal-hal tersembunyi yang belum dia ketahui.
Pintu pun segera ditutup. Namara terkejut setelah melihat betapa sempitnya rumah itu. Hanya ada satu set meja dan kursi yang tertata di sana.
Namun, dia juga melihat tangga yang menurun, kemungkinan mengarah ke ruang bawah tanah. Pantas saja rumah itu kecil dan mungil. Rupanya pria pendek itu memiliki ruang bawah tanah. Mungkin rumah-rumah lain pun demikian.
"Aku akan menyiapkan tempat dulu di bawah. Kalian bisa menunggu di sini," kata si pria pendek.
Eros mengangguk lalu duduk di salah satu kursi. Dia menatap Namara yang masih tampak kebingungan. Akhirnya dia berkata, "Duduklah."
Namara duduk. "Ini adalah desa Pdenderia. Kau tidak akan menemukannya di siang hari. Di peta pun tidak akan bisa ditemukan," terang Eros.
Desa Pdenderia berada di luar wilayah klan Sayap Hitam. Sebenarnya mereka sudah meninggalkan wilayah klan Sayap Hitam sejak lama. Pdenderia berada di wilayah lepas yang berarti tidak berada di bawah daerah kekuasaan apa pun.
Di benua Saint Kingglen ini memang terdapat beberapa wilayah yang tidak bisa dikuasai oleh klan mana pun. Tentunya ada alasan tersendiri di baliknya.
"Kenapa tidak bisa ditemukan di siang hari?" tanya Namara. "Dan kenapa tidak ada di dalam peta?"
Eros menggeleng. "Tidak ada yang tahu. Desa Pdenderia akan menghilang begitu saja. Hanya ketika malam hari seseorang bisa melihat dan memasukinya."
Namara merasa semakin heran. Ternyata ada tempat yang ajaib seperti itu. "Lalu suara yang tadi, apa itu? Kurasa ada banyak binatang buas di sini."
"Ya, kau benar," timpal Eros. Di desa Pdenderia berkeliaran banyak binatang buas yang terbilang kuat. Orang asing harus lebih berhati-hati seandainya secara tidak sengaja masuk ke desa.
"Tunggu." Namara menatap Eros ragu. "Jika di siang hari desa ini tidak bisa ditemukan, apa kita masih bisa keluar?"
"Tentu saja. Kau pikir kita akan terkurung di sini?"
Namara menghela napas. Dia mengamati tangga ruang bawah tanah yang masih kosong. Akhirnya dia kembali bertanya, "Penduduk di sini … apa semuanya seperti itu?"
"Namanya adalah Thris. Penduduk di sini memang berasal dari kaum Geus."
"Kaum Geus?" Lagi-lagi kening Namara berkerut. Dia baru mendengar nama itu.
"Bodoh," Eros mengejek. Dia tidak tahu ternyata pengetahuan Namara begitu sedikit. Apa wanita itu sebelumnya tinggal di pedalaman? Kenapa kaum Geus saja tidak tahu?
"Kaum Geus adalah kaum bertubuh pendek. Sepanjang sejarah manusia tertinggi di kaum Geus hanya sekitar 5 kaki," ucap Eros.
Namara merasa takjub mendengar informasi ini. Ternyata ada kaum seperti itu di benua Saint Kingglen. Mungkin masih ada kaum-kaum lain yang tidak dia ketahui.
Akhirnya ada gunanya juga dia pergi mengikuti Eros. Setidaknya pria itu memberinya pengetahuan yang tidak dia dapatkan di tempat lain.
Pada saat itu akhirnya Namara melihat Thris yang kembali muncul. Pria itu memegang sapu lidi berukuran kecil yang ditenteng.
"Tempat tidurmu sudah siap," kata Thris. Dia menatap Eros dan Namara secara bergantian. "Namun, hanya ada satu tempat tidur," imbuhnya.
Namara menatap Eros. Dia ingin mendengar pendapatnya. Kemudian pria itu berdiri sambil berkata, "Bukan masalah. Terima kasih atas bantuanmu, Thris."
"Bagaimana denganku?" Namara menatap mereka berdua. Oh, dia tidak mungkin terjaga semalaman. Dia hanya manusia biasa yang butuh makan, minum dan juga tidur.
Eros berdecih. Kemudian dia menarik Namara turun ke ruang bawah tanah. "Sepertinya kau lupa apa statusmu."
Namara hanya meringis. Oke, dia ingat. Dia adalah budak seks. Jadi, mereka akan … tidur bersama.