"Nona Yena! Apakah anda ada di dalam? Yang Mulia memanggil! Tolong segera keluar sekarang juga." Seorang lelaki dengan pakaian kaos—pada kerahnya terdapat tali yang di ikat layaknya pita—dan celana di bawah lutut, tampak mengetuk pintu rumah panggung beralaskan kayu. Dia memanggil perempuan bernama Yena. Berharap mendapat respons dari sang pemilik rumah.
"Ada apa?"
Si lelaki terperanjat ketika berbalik. Seseorang yang dicarinya berada di luar. Dirinya segera membungkuk. "Ma-maafkan saya. Saya pikir Nona ada di dalam."
Namanya Yena. Pembawaannya santai, sangat tampak jelas dari caranya berpakaian dan mengikat rambut. Kulitnya berwarna putih langsat dengan hidung mancung dan pipi tirus. Karena sedang tidak dalam keadaan bertugas, Yena hanya mengenakan setelan sehari-hari—kaos pendek dan celana panjang. Rambutnya yang panjang sepinggang, ia ikat tunggal tanpa aksesoris.
"Ya ya, tidak perlu sesopan itu. Bilang saja ada apa kau kemari?"
"Be-begini, Nona ... Yang Mulia ... beliau bilang ada tugas penting untuk Anda. Sebaiknya Nona Yena segera menemui beliau."
Alis Yena mencuat. Penasaran dengan tugas apa yang akan diberikan. Seulas senyum terpatri jelas di bibirnya. "Baiklah. Sampaikan pada Yang Mulia Firan, saya akan segera menemuinya."
Lelaki tersebut membungkuk sekali lagi seraya berkata, "Terima kasih Nona, secepatnya akan saya sampaikan."
Kemudian pelayan itu pamit setelah menyampaikan pesan penting dari Yang Mulia Firan. Menyisakan Yena dengan pemikiran liarnya.
"Sepertinya ... tugas yang sangat menarik," gumam Yena. Seringai muncul begitu saja dari sudut bibir.
🍂🍂🍂
Hari ini, dalam perjalanan menuju Istana Kerajaan Altair, Yena mengenakan pakaian yang ditenun menjadi baju berlengan panjang. Ia memakai kaos putih sebagai penutup perut rampingnya dengan celana panjang berkerut di ujung—berwarna coklat tua. Ditaksir harga satu pasang pakaian tersebut setara dengan harga tiga ekor unta. Sedangkan rambutnya yang hitam panjang, diikat seperti ekor kuda.
Ikat rambut yang dipakai Yena terbuat dari tumbuhan langka yang dikeringkan. Tumbuhan tersebut hanya muncul di daerah Hutan Terlarang. Yena membelinya dari seorang penyamun[1] yang singgah di kota. Penyamun itu bilang, ikat rambut tersebut akan awet serta tidak mudah rusak meski si pemakai mengalami aktivitas ekstrim layaknya pekerjaan yang sering Yena lakukan teruntuk Raja Teragungnya Yang Mulia Firan.
Tentu saja si penyamun sangat mengenal Yena. Seorang wanita yang begitu dielu-elukan oleh seluruh penduduk kota. Terlihat jelas dari kedua bilah pedang melengkung seperti celurit raksasa, bertengger sempurna di belakang tubuhnya. Pedang itu bernama Pedang Legendaris Er'dura, hanya orang-orang terpilih yang bisa memilikinya, bahkan seseorang yang berkuasa sekalipun tidak mampu menaklukan kehendak Er'dura yang memiliki otaknya sendiri.
Itu sebabnya Raja Firan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ketika mengetahui bahwa Er'dura memilih Yena sebagai pemiliknya, Raja Firan segera memberi gelar kehormatan kepada Yena, menjadikannya Pengawal Pribadi Raja. Dengan sumpah setianya yang berbunyi:
⑅ Siapapun yang berani melukai Yang Mulia, orang itu akan menjadi musuh abadiku.
⑅ Aku bersedia menggadaikan nyawa untuk keselamatan Yang Mulia.
⑅ Aku tidak akan pernah berkhianat kepada Yang Mulia. Jika aku berkhianat, maka Yang Mulia berhak atas kepalaku.
Dengan tiga sumpah yang mengikat tersebut, diharapkan persentase Yena untuk berkhianat mendekati nol. Dengan begitu Raja Firan tidak perlu khawatir atas kemungkinan pengkhianatan yang akan Yena lakukan.
Berjalan cukup jauh, melewati pemukiman para penduduk, Yena akhirnya sampai di depan gerbang Istana Kerajaan Altair. Dua pengawal penjaga gerbang membungkuk hormat sambil membukakan pintu. Yena membalas dengan tersenyum tipis. Istana Altair sungguh megah, kubah-kubah emas berdiri kokoh di atas sana. Di sekeliling istana tertanam tumbuhan-tumbuhan tropis, ada pula yang di tanam dalam pot. Ah, ada pun air mancur memancar deras di tengah-tengah istana, menambah kesan elegan dan mewah dalam satu waktu. Karena kondisi yang masih pagi, Yena memilih berkunjung ke tempat pelatihan prajurit terlebih dahulu. Yena berpijak pada lantai batu hingga sampai di sana.
"Hormat Nona Yena! Selamat pagi!" seru seorang Wakil Panglima. Dirinya menunduk diikuti para calon prajurit serentak.
Yena sekadar tersenyum demi menghargai para calon agar bertambah semangatnya. Dan benar saja, setelah Yena melewati kumpulan pemuda tersebut. Mereka langsung bersorak karena salam sapanya diterima dengan baik oleh Yena. Di mata calon prajurit, Yena layaknya oase yang jarang sekali ditemukan. Karena perempuan tidak mungkin berlalu lalang ketika mereka sudah memutuskan untuk menjadi Prajurit Kerajaan Altair. Maka untuk sekarang Yenalah yang tercantik bagi mereka. Sosoknya yang tangguh berhasil meluluh lantahkan hati sebagian calon prajurit. Tentunya banyak pula yang tertolak dan patah hatinya karena Yena.
Yena sampai tepat di depan Pintu Singgasana Raja. Dua pengawal berjaga di kedua sisi pintu. Yena menghirup udara yang berada di sekitar kemudian membuangnya, hingga dirinya siap menghadap Sang Raja.
Kedua tangan membuka pintu raksasa bermotif daun itu. Pandangan Yena tertuju pada empat manusia di depan. Di sisi kanan, ada Penasihat Raja bernama Zain, lalu Panglima Perang Eden berada di sisi kiri Raja. Sementara Raja Firan duduk pada kursi kebesarannya bersama Nyonya Leah di pangkuannya.
Yena melangkah menuju singgasana yang terbentang luas, karpet kuning emas berenda menghiasi lantai. Ia berlutut dengan posisi kaki di tekuk sejajar. "Hamba memberi hormat kepada Yang Mulia Firan."
"Berdirilah, ada hal penting yang ingin kami bahas denganmu, tentang Pembunuh Gurun Pasir. Kau sudah mendengar rumornya?"
Yena lekas berdiri namun dirinya tampak sungkan karena yang ada di hadapan bukanlah orang sembarangan.
"Saya sudah mendengarnya Yang Mulia," jawab Yena dengan sopan.
Penasehat Zain tampak membisikkan sesuatu kepada Raja Firan dengan pandangan tidak lepas dari Yena. Hal itu membuat Yena sedikit gusar.
"Jadi menurutmu, bagaimana dengan adanya rumor tersebut? Assassin[2] seperti apa yang berani membunuh para petinggi kerajaan?" tanya Raja Firan.
Yena berpikir keras dari semua aspek yang dia ketahui. Tidak mungkin seorang assassin biasa mau menerima tugas tanpa melihat siapa korbannya. Baru kali ini, ada yang berani mengambil tugas membunuh para Petinggi Kerajaan Altair. Sepengetahuannya para assassin tidak berani dengan orang-orang yang berlindung dibalik nama kerajaan ini. Berkat pengaruh kepemimpinan Raja Firan, beliau berhasil menundukkan sebagian kerajaan yang berada di daerah timur.
Yena memantapkan hati. Inilah yang ia pikirkan sejak tadi. "Yang Mulia, Assassin biasa tidak mungkin berani mengambil tugas membunuh para petinggi. Karena risikonya cukup tinggi. Satu-satunya yang mampu melakukan tugas sebesar ini adalah seorang assassin khusus. Mungkin ada orang yang mengutusnya untuk membunuh para petinggi kerajaan."
Raja berpikir, mempertimbangkan pendapat Yena, cukup masuk akal baginya. Namun, tidak lantas membuatnya percaya begitu saja.
"Apakah kau bisa mempertanggungjawabkan ucapanmu?"
Yena menunduk dalam, keraguan Sang Raja mempengaruhi kepercayaan dirinya. "Saya akan berusaha sebaik mungkin Yang Mulia."
"Bagus, carilah informasi apapun tentang pembunuh itu. Sebelum semua jelas, jangan pernah kembali kemari. Andai kata kau pulang tanpa membawa apapun, akan kupastikan keluargamu bermalam di dalam jeruji besi. Kau mengerti?"
"Saya mengerti Yang Mulia."
🍂🍂🍂
Siang hari di pasar kota, matahari hampir berada di atas kepala. Riuh dari para pedagang dan pembeli saling bersahutan semakin membuat udara di sekitar menjadi pengap. Meski begitu, Yena sudah terbiasa dengan suasana pasar yang seperti ini.
"Paman, roti gandumnya tiga bungkus satu dirham, ya?" tanya Yena, memulai ilmu tawar-menawar yang diwariskan dari orang tua.
"Aduh, saya akan miskin jika Nona menawarnya serendah itu," sergah si paman pedagang dengan tampang memelas, berharap belas kasih dari Yena. Pakaiannya tampak sudah usang dengan jahitan di sana-sini.
Yena menghembuskan napas kasar, memalingkan wajah ketika hati kecilnya mulai terenyuh. Lagi-lagi ia tidak mampu mempraktekan warisan keluarga yang satu ini. Bagaimana sanggup ia menawar, jika dengan binar memelas si paman saja, sudah membuatnya mengibarkan bendera putih.
"Ya sudah kalau begitu. Langsung bungkus roti gandum dan telur gulungnya, lalu kacang gurun dan kurma sekarung kecil. Jadi, semuanya berapa?"
Si paman terlihat sumringah, rencana curangnya menaikan harga barang dagangan berjalan lancar. Dengan begitu, dirinya kembali meraih keuntungan yang besar dari Yena.
Tentu saja Yena tahu dengan sadar, bahwa dirinya sedang dicurangi. Namun, rasa kasihnya terhadap penjual kecil membuatnya tidak tega untuk protes. Biarlah Yena sedikit merugi, lagi pula ia tidak akan kehabisan uang. Di samping kirinya, mendadak muncul seorang bocah berusia enam tahun. Bocah itu berusaha mencolek gunung rempah-rempah yang ada di depan matanya, barang dagangan si paman.
"Heh, jangan! Tidak boleh usil!" Larang si paman dengan lantang sambil mengibas-ibaskan lengannya di antara tumpukan rempah. Seketika si bocah langsung menciut. Dirinya bersembunyi di balik kaki Yena.
Setelah membayar semua belanjaan dengan tambahan-tambahan sedikit karena Yena lupa membeli untuk bekalnya sendiri. Sekarung sedang hasil belanja, Yena berikan pada si bocah. Dirinya berjongkok untuk mensejajarkan tubuh.
"Adam, bawa ini. Berikan pada Ibu. Ini makanan untuk persediaan selama satu bulan. Ingat! Langsung pulang jangan mampir kemana-mana, mengerti?" Yena menangkup pipi Adam yang merupakan adiknya. Ia melakukan hal itu agar Adam mendengar dengan serius perintahnya.
"Baik Nona, Adam janji akan langsung pulang."
Garis melengkung itu muncul di bawah hidung. Tak sadar Yena mengusak pucuk kepala adiknya penuh bangga. "Bagus, anak pintar."
Adam melambaikan tangannya ceria. Ia berlari sambil membawa karung yang diberikan Yena. Dirinya langsung pulang ke rumah persis seperti apa yang diperintahkan. Dalam hati, Yena bersyukur masih memiliki keluarga. Ibu dan Adam, dua orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Ia berjanji tidak akan membuat mereka sengsara.
——————
Ket.
[1] Perampok
[2] Pembunuh bayaran.