Yena menatap hening ke buku di genggamannya. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya sepanjang perjalanan. Bahkan Sameer yang duduk di sampingnya terasa seperti angin lalu—tak berwujud, tak bersuara.
“Setelah ini, apa yang akan Nona lakukan?” tanya Sameer, memecah keheningan yang menggantung seperti kabut dingin.
Yena menoleh pelan. Sorot matanya menyinggung pada buku, lalu kembali menatap Sameer. “Mungkin... menyelesaikan bacaan ini,” gumamnya, seulas senyum menghiasi bibirnya. “Kalau kau, pasti banyak tugas menanti.”
Sameer mengangguk sopan. “Begitulah adanya. Saya akan kembali bekerja seperti biasa.”
“Bagus. Jangan sampai pekerjaanmu terbengkalai.”
“Terima kasih, Nona. Saya pamit.”
Dengan satu bungkuk hormat, Sameer berbalik dan melangkah pergi, suaranya menghilang di antara deru jalanan Denvail yang sibuk.
Yena mengalihkan tatapannya kembali ke buku. Sampulnya tua, penuh debu, dan terukir simbol-simbol yang tak dikenalnya. Rasanya seperti memegang benda terlarang. Ada sesuatu dalam buku itu—sesuatu yang tak nyaman.
Setibanya di penginapan, ia menaiki tangga tanpa menyapa resepsionis. Sesampainya di kamar, ia langsung duduk di depan meja bundar kayu. Dengan jari-jari pelan, ia membuka lembar demi lembar buku itu.
Aksara-aksara asing menari di hadapannya. Simbol-simbolnya seolah hidup, bergerak perlahan seperti ular di padang pasir.
“Aku menyerah,” desahnya. “Bahasanya terlalu aneh. Apa ini... sihir?”
Frustrasi mulai menekan dadanya, namun keinginannya untuk memahami tak mau menyerah. Sampai akhirnya—suara gaduh dari luar membuatnya bangkit waspada. Ia bergegas ke jendela, mengintip.
Dan... matanya melebar.
Eden.
Si bengis itu berdiri di lobi penginapan, dikelilingi kegaduhan. Apa yang ia lakukan di Denvail? Bukankah seharusnya dia sedang mengawal Menteri Agung?
Tanpa pikir panjang, Yena meninggalkan buku di meja dan melesat keluar kamar.
---
Lobi penginapan.
Pemilik penginapan tampak gemetar saat kerah bajunya ditarik kasar oleh pria tinggi bersurai merah.
“Ma-maaf, Tuan... Anda harus memesan kamar dulu. Kami tidak bisa membiarkan Anda masuk begitu saja,” ucapnya gugup.
Eden menyipitkan mata. Tangannya semakin erat menggenggam kerah si pemilik.
“Katakan itu sekali lagi,” desisnya. “Aku bisa mematahkan lehermu kalau kau terus menghalangi. Di mana Yena?”
“T-Tuan, tolong—”
“Baiklah. Pilihanmu buruk.”
Si pemilik terangkat. Lehernya hampir saja—
“EDEN!!”
Teriakan Yena menggema dari anak tangga. Eden menghentikan aksinya... lalu melempar lelaki itu ke tembok. Suara tubuh membentur keras terdengar sebelum si pemilik terkapar, tak sadarkan diri.
“Kau masih saja sebar-bar itu?!” bentak Yena. Ia memeriksa napas korban. “Masih hidup...”
“Harusnya kau biarkan saja,” gumam Eden dingin.
Yena berdiri dan mendekatinya dengan mata menyala. Tangannya terangkat, hendak menampar, tapi Eden dengan santai menangkap pergelangannya.
“Fokus. Ada tugas penting dari Yang Mulia,” ujarnya sambil menyeringai.
Yena menghempaskan tangannya. “Kau kasar sekali! Aku ‘kan cuma bercanda!”
“Jelas-jelas kau kesal.”
Yena menoleh, menyembunyikan ekspresinya. Ia benci—benci—bagaimana Eden selalu tahu isi kepalanya.
“Lupakan. Ayo bicara di luar,” tukasnya.
---
Di luar penginapan.
“Tugas apa?” tanya Yena.
“Almeer,” jawab Eden. “Sudah mati. Dipenggal. Kasusnya mirip dengan pembunuhan sebelumnya.”
Yena membeku.
Dia baru saja mencurigai seseorang di bar semalam. Seorang pria bermasker dan berturban... Tapi jika benar orang itu si Pembunuh Gurun, bagaimana bisa dia membunuh Almeer di Denvail dalam waktu begitu singkat?
“Ada apa?” tanya Eden, melihat sorot mata Yena yang berubah.
“Aku rasa... aku bertemu dengannya tadi malam,” lirihnya.
Eden terdiam. “Yang benar saja?”
“Aku tidak yakin. Tapi... pria itu mencurigakan. Dan... bukan manusia biasa bisa bergerak secepat itu.”
Eden mengangguk pelan. “Berarti masuk akal kenapa aku diperintah menjemputmu. Yang Mulia ingin bertemu. Beliau sedang dalam perjalanan ke Mitri bersama Syamsir . Di kota tersebut, sudah ada Menteri Perpajakan.”
“Di Mitri?” dahi Yena berkerut. “Itu kota paling miskin... untuk apa ke sana? Apalagi Menteri Perpajakan ada di sana juga.”
“Untuk menagih pajak,” jawab Eden datar.
“APA?!” Yena menatapnya dengan syok. “Di kota semiskin itu?!”
“Iya. Memangnya kenapa?”
Yena terdiam, jemarinya mengepal. Ia bisa membayangkan wajah-wajah kelaparan itu... dipaksa membayar demi kerajaan yang mereka tak percaya.
“Lupakan rasa ibamu,” cibir Eden. “Kita harus segera pergi.”
Ia berjalan ke kudanya, melepaskan tali ikat dan menepuk pelan leher hewan itu sebelum mengulurkan tangan ke Yena.
“Tidak usah,” tolaknya. “Kudaku di dekat Bar Bafett. Aku menyusul.”
Eden mengangguk. “Kutunggu di luar gerbang.”
Setelah ia pergi, Yena menatap kudanya yang tengah merumput tenang. Ia mengusap surai binatang itu, pelan... pikirannya bergolak. Entah kenapa, ia merasa... jika pria bermasker itu bukan orang jahat—ia mungkin akan mengikuti jejaknya.
---
Kota Mitri.
Sore mulai turun, membalut kota dalam bayang-bayang kelelahan.
Seorang pria bermasker memasuki rumah reot dari kayu lapuk. Pintu reyot didorong hingga bergemeretak. Bau apek dan darah tua menyeruak begitu ia masuk.
Di dalam, tubuh renta terbujur lemah di atas tikar sobek. Seorang kakek, kurus tinggal tulang. Matanya melirik samar... lalu melambai lemah.
Si pria mendekat. Ia jongkok di samping tubuh itu, maskernya ia turunkan pelan hingga sebatas dagu. Rahangnya tegas, tak berkedut sedikit pun.
“Tu-Tuan... makan... saya... tidak tahan lagi...” suara itu hampir tak terdengar. Kakek itu... tinggal menunggu ajal.
Dengan lembut, si pria mengusap kepala kakek itu. Menenangkannya... sebelum akhirnya—
Srek.
Kepala si kakek terpenggal. Darah menetes, namun tak banyak. Tak ada asap hitam, tak ada aura kebencian. Hanya kematian yang tenang.
“Kepala ini... tak berguna,” bisiknya. “Tapi semoga engkau tenang.”
Ia membungkuk hormat... lalu berjalan keluar.
Maskernya kembali naik menutupi wajah. Langkahnya tenang, syal hitam melambai diterpa angin sore.
Dan sore itu... seseorang lagi akan kehilangan kepalanya.
BERSAMBUNG