Chereads / ADURA / Chapter 12 - Bab 11 — Kristal Biru

Chapter 12 - Bab 11 — Kristal Biru

"Syamsir, beri mereka dua kantung dirham," titah Eden sambil melipat tangan di dada.

Dengan langkah santai, Syamsir maju ke meja taruhan dan menyimpan dua kantung dirham di sana. Ia sempat mengacungkan jempol pada Eden dengan senyum khasnya yang menyebalkan.

“Bagus, ayo segera mulai…,” ucap Eden. Ia menanggalkan jubah, menggulung tuniknya hingga lengan-lengannya yang berotot terlihat, lalu menatap Hazard dengan sorot penuh percaya diri.

Si pembawa acara tampak gugup mendekati Eden. “Tu… Tuan Panglima, apakah Anda yakin? Pemuda ini sudah mengalahkan banyak sekali penantang.”

Eden hanya menepuk pundaknya ringan, “Kau terlalu memujinya. Atau mungkin, kau sudah melupakan kemampuanku?”

“Ti-tidak! Tentu tidak, Panglima! Anda adalah Ksatria terhebat di Altair!”

“Terlalu banyak bicara,” sela Hazard datar. Ia duduk sambil menyilangkan tangan, tak sedikit pun menggubris Eden.

Eden menatap Hazard sejenak sebelum akhirnya duduk. Lengan keduanya saling menggenggam dalam posisi siap adu panco. Warga mulai bersorak, suasana pasar makin ramai. Debu-debu naik ke udara karena kerumunan yang semakin padat.

Yena berdiri tak jauh dari keramaian. Dadanya terasa sesak oleh rasa khawatir yang tak jelas. Ia tahu Eden kuat, tapi pemuda asing itu… terlalu tenang.

“Baiklah, permainan akan segera dimulai!” ujar si pembawa acara, lalu menggenggam kepalan tangan mereka.

“Bersiap… MULAI!”

Kedua tangan seketika saling dorong. Otot-otot menegang, urat di leher Eden muncul jelas. Namun, Hazard… hanya diam. Tak sedikit pun tampak memaksa.

Eden mulai heran. Semakin ia menekan, semakin Hazard terlihat tak terpengaruh. Tapi tiba-tiba saja, tangan Hazard tumbang. Seketika. Tak terduga.

“Ah, sayang sekali saya kalah,” ucap Hazard dengan nada santai, seolah baru saja mengalah dalam permainan anak-anak.

“Panglima Eden menang!” pekik pembawa acara. “Hidup Panglima!”

Sorak-sorai membahana. Namun di antara tawa dan tepuk tangan, dua pasang mata saling mengamati tajam. Yena dan Eden. Mereka tahu… Hazard sengaja kalah.

Hazard beranjak, menyibak kerumunan sambil bersiul pelan.

“Namamu Hazard, bukan?” Eden menahan langkahnya dengan satu tepukan di bahu.

Hazard menoleh dan tersenyum. “Benar, Panglima. Salam kenal.”

“Kau tidak mengucapkan selamat. Jangan-jangan kau sengaja—”

“Maaf, saya hanya seorang pengelana biasa, tak pantas menandingi Panglima.”

Eden hampir saja menghunus pedangnya ketika suara Yena menyelusup di telinganya.

“Eden! Kendalikan dirimu. Jangan terpancing.”

Eden menghela napas. Pedangnya kembali bersarang di sarung. “Sebagai permintaan maaf… bagaimana kalau makan siang bersama?”

“Baiklah. Jika Panglima memaksa.” Hazard menyeringai, lalu melenggang mendahului. Begitu cepat, begitu tak terduga.

“Sabar,” ucap Yena pelan. “Aku juga merasakannya. Ada yang aneh dengan pria itu.”

Eden menatap Yena lekat. “Kau juga?”

🍂🍂🍂

Hazard menyelip di antara kerumunan dengan tubuh yang ringan, seperti angin musim gugur yang tak bisa ditangkap. Ia sempat melirik ke arah sekelompok anak kecil yang bertepuk tangan girang, lalu melempar senyum kecil—bukan karena kemenangan Eden, tapi karena dunia ini terlalu mudah untuk dimanipulasi. Terlalu banyak orang yang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.

Eden diam-diam mengikutinya dengan pandangan penuh waspada. Ada sesuatu dari pemuda itu—sikapnya, caranya bicara, bahkan langkah kakinya—yang tak cocok dengan kesan pengelana biasa. Ia terlihat terlalu tenang. Terlalu licin. Terlalu... tahu banyak.

Dan di antara kerumunan, Yena sempat merasa seperti ditatap oleh mata tak kasatmata. Ada hawa aneh menyelimutinya. Seolah kristal di tubuhnya—yang selama ini tak pernah ia sadari—bereaksi. Tapi Yena terlalu terbiasa mengabaikan hal-hal ganjil sejak perjalanannya dimulai.

🍂🍂🍂

Saat ketiganya duduk di meja makan, suara pasar yang riuh mulai mereda, digantikan aroma kaldu kambing dan dedaunan rempah yang mengepul dari dapur kedai. Piring-piring ditata seadanya, namun meja itu seakan menjadi panggung kecil bagi tiga karakter yang masing-masing menyimpan rahasia besar.

Yena curi-curi pandang. Mata Hazard berubah-ubah dalam cahaya. Kadang gelap, kadang terlalu terang. Mungkin hanya bias cahaya. Mungkin tidak.

“Kenapa kau tidak ikut turnamen resmi?” tanya Eden mendadak, nada suaranya seperti ujian.

Hazard masih mengunyah, lalu menjawab sambil mengelap sudut bibir. “Saya tidak suka keramaian. Taruhan kecil lebih menyenangkan.”

“Padahal dengan kekuatanmu, kau bisa jadi ksatria.”

Hazard terkekeh. “Dan terikat sumpah, protokol, hormat berlebihan dari orang yang tak saya kenal? Terima kasih, Panglima, saya sudah cukup bahagia jadi orang bebas.”

Jawaban itu membuat Eden diam. Tapi Yena merasa ada kebenaran aneh dalam kata-kata Hazard—seakan ia pernah menjadi bagian dari sistem… lalu keluar darinya.

Hazard menyelesaikan makan dalam hitungan menit. Satu demi satu mangkuk kosong berjejer di depannya seperti trofi tak kasatmata. Ia berdiri sambil menunduk. “Saya pergi dulu. Sampai jumpa.”

Seketika itu juga, angin bertiup dari jendela yang terbuka. Tirai bergerak pelan, dan ketika Eden bangkit untuk mengejar—Hazard sudah lenyap. Seolah keberadaannya hanya bayangan.

🍂🍂🍂

Setelah kejadian di kedai, Eden berjalan menyusuri lorong kota yang mulai sepi. Hanya suara sepatu bot dan gelegak kesal di dadanya yang menemani.

“Aku harus tahu siapa dia sebenarnya,” gumamnya. Ia menatap langit, mendung tipis mulai menggantung.

Sementara itu, Yena berjalan sendirian tak jauh dari sana. Ia memandangi telapak tangannya. Entah mengapa, kulitnya terasa hangat. Seketika ia berhenti dan menarik napas dalam.

Ada bisikan kecil di telinganya—bukan suara manusia, tapi seperti suara dalam mimpi.

"Jika tiga telah terkumpul, satu akan bangkit. Jika satu bangkit sebelum waktunya... maka dunia akan terbakar oleh takdir yang belum siap."

Yena memejamkan mata. Ia tak tahu apa arti semuanya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia bermimpi tentang mata berwarna biru yang bersinar dari kegelapan.

Dan suara asing berkata:

“Namamu… Siapa?”

🍂🍂🍂

Sementara ditempat lain...

Hazard membuka pintu rumah kecil di pinggir kota. Ia menanggalkan jubahnya, melepas syal dan kaus, hingga tubuh bagian atasnya telanjang. Rambutnya perlahan berubah jingga, dan di keningnya tampak kristal biru keemasan.

Ia duduk bersila di atas ranjang. Ujung jarinya menyentuh kristal itu perlahan.

“Aku belum terbiasa dengan benda ini,” gumamnya.

Ia menarik sebuah buku dari sisi ranjang—buku pinjaman dari Tuan Sigra. Ketika dibuka, cahaya biru dari kristal menyentuh halaman, dan huruf-huruf yang sebelumnya tak terbaca berubah jelas. Energi alam diaktifkan.

Hazard membaca cepat. Tentang Adura Stone. Tentang empat kepingan. Tentang pedangnya. Dan…

“Kepingan ketiga kemungkinan ada pada gadis pengawal itu… aku melihatnya di Denvail,” gumamnya. “Jika benar, aku harus membawanya ke Middle Earth.”

Hazard menatap langit-langit. Mikir. Berat.

“Kawan,” ucapnya pada pedang yang bersandar di dinding. “Bagaimana caranya membawa gadis itu… tanpa terlihat seperti penculik?”

Hening. Ia mencoba meditasi.Matanya tutup kembali. Fokus. Energi aktif. Tapi…

Bayangan Yena muncul. Lagi. Seakan menari-nari di dalam pikirannya.

“Sial!”

Hazard membuka mata. Tangannya mengusap wajah.

“…Aku bahkan belum tahu namanya.”

◇◇◇

BERSAMBUNG