Chereads / Program 30 Hari Menulis NAD / Chapter 17 - Cruel Dejavu

Chapter 17 - Cruel Dejavu

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_17

#NomorAbsen_144

Jumlah kata : 801 kata

Judul : Cruel Dejavu

Isi :

Rejeki nomplok. Begitulah yang dikatakan orang saat mendapat sesuatu dengan gratis. Begitu pula yang kurasakan. Meski yang kudapat hanyalah sebuah tiket gratis ke museum. Tapi lumayanlah. Namanya juga gratis.

Tanpa membuang waktu, aku segera berangkat. Kutatap dinding-dinding museum bercat putih itu. Terasa hambar dan membosankan. Jujur aku kurang tertarik dengan museum, tetapi sayang saja jika tiket ini disia-siakan.

Aku bergegas masuk dan melihat-lihat. Entah mengapa, kakiku seolah tersihir untuk melangkah ke bagian belakang museum yang sepi. Netraku terpaku saat melihat gerbong kereta tua yang berwarna putih usang. Aku melangkah mendekat. Dengan jelas kulihat jejak-jejak berlubang seperti tertembus peluru dan kaca-kaca yang retak serta pecah. Meski ada rantai yang menghalangi, aku tidak peduli dan melangkah masuk melalui pintu gerbong yang terbuka.

***

Saat berada di dalam, aku seperti melewati dimensi waktu. Kereta itu seolah bergerak maju. Aku terkejut dan ketakutan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Kulihat orang-orang berpakaian kuno tengah duduk di kursi kereta sambil bercakap dengan keluarga atau kerabat. Aku makin ketakutan. Mungkin yang kulihat adalah arwah penasaran. Akan tetapi, orang-orang itu seperti nyata, seolah mereka memang masih hidup.

Suara deru kereta terdengar jelas di telingaku. Begitu pula suara riuh para penumpang tersebut. Meski begitu, mereka seolah tidak melihatku. Aku menganggap mereka hantu, tetapi mungkin akulah yang menjadi hantu di kereta tersebut karena sedari tadi beberapa di antara mereka berlalu-lalang, bahkan menembus tubuhku.

Desing peluru dan suara kaca pecah mengejutkanku dan semua orang. Seorang pria yang duduk di hadapanku tewas seketika dengan kepala berlubang tertembus peluru. Rentetan peluru menyusul sesudahnya. Suasana berubah panik. Orang-orang ketakutan dan berusaha untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, mereka tentu tidak bisa lari. Terjebak dalam gerbong kereta yang terus melaju sementara peluru menembus tubuh mereka satu per satu. Darah segar membanjir di dalam gerbong. Membasahi dinding dan kursi dengan warna merah pekat. Bau anyir seolah menusuk hidung.

Aku harus pergi dari sini, tekadku dalam hati sambil bergegas. Meski tubuhku gemetar dan kakiku seolah terpaku tidak mau bergerak saat menyaksikan kengerian yang terjadi di depan mataku, tetap kupaksakan diri untuk pergi.

Aku berbalik dan terdiam. Menatap seseorang yang mengarahkan pistol ke arahku. Aku tahu dia tidak bermaksud menembakku karena dia tidak bisa melihatku. Akan tetapi, yang membuatku mematung adalah orang itu adalah aku. Peluru yang dilepaskan oleh orang yang sama persis denganku tersebut menembus tubuhku dan mengenai sosok di belakangku. Aku menoleh dan melihat sosok gadis kecil terbaring tidak bergerak. Darah segar mengalir keluar dan membasahi gaun putihnya yang cantik.

"Apa yang kaulakukan?" teriakku marah.

"Kau sudah membunuh anak kecil yang tidak berdosa!"

Tentu saja sosok kembaranku tidak menyahut. Ia tidak bisa mendengar suaraku. Akan tetapi, aku tertegun saat melihat dia seolah menyeringai ke arahku. Kulihat darah di tangannya. Kemudian aku juga merasakan cairan merah berbau anyir tersebut di tanganku. Aku menjerit histeris, tetapi lagi-lagi dia menatapku sambil tersenyum tipis.

"Apa yang …?"

Belum selesai aku bicara, kembaranku yang kejam tersebut tiba-tiba menghilang. Begitu pula dengan orang-orang bersenjata yang datang bersamanya.

"Tunggu!" teriakku. Kata-kataku kembali terhenti saat tangan dingin meraih kakiku. Aku menunduk dan melihat gadis kecil yang tadi tertembak sedang memegang erat kakiku. Mata hitamnya menatapku lekat. Wajah manis itu terlihat pucat seputih kertas.

"Aku minta maaf. Aku tidak bisa menolongmu," ucapku. Akan tetapi, dia tetap tidak melepasku. Kemudian aku melihat orang-orang telah tewas tertembak itu bangkit satu per satu. Mereka bergerak menghampiri seolah tidak merasakan sakit padahal darah segar terus mengalir keluar dari bagian yang terluka. Tatapan mata kosong mereka tertuju ke arahku dan tangan-tangan mereka seolah terulur untuk menjangkau diriku.

"Aku tidak bersalah. Bukan aku yang membunuh kalian!" teriakku. Akan tetapi, mereka seolah tidak peduli. Kurasakan tangan-tangan dingin itu meraih tanganku dan mencekik leherku. Bau anyir semakin tajam menusuk.

"Tidak!" teriakku sambil berusaha meronta, tetapi cekikan mereka semakin kuat. Aku bahkan tidak bisa melepaskan diri. Kupejamkan mata sambil berdoa agar seseorang datang menolongku.

"Nona," tegur seseorang.

"Sedang apa Anda di sini? Anda tidak boleh masuk ke dalam gerbong ini."

Dia mengguncang tubuhku pelan. Kubuka mata dan hanya melihat seorang pria tua berdiri di hadapanku. Gerbong tersebut telah kembali seperti semula. Tua dan berkarat di beberapa bagian. Melalui jendela kereta, aku melihat dinding-dinding bercat putih museum. Sosok-sosok yang tadi berada di dalam gerbong juga tidak ada.

Aku menarik napas lega. Kuredakan detak jantung yang masih berdegup keras. Aku mengangguk kepada bapak itu dan mengucap terima kasih.

"Ini adalah kesempatan, Nona. Hiduplah dengan baik dan gunakan saat ini untuk menebus dosa dari kehidupan masa lalumu," ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk sekali lagi dan bergegas keluar dari gerbong. Saat di luar, aku menoleh untuk mengucapkan terima kasih sekali lagi, tetapi bapak tersebut menghilang tanpa jejak dan pintu gerbong kereta tertutup rapat. Semua seolah mimpi, tetapi aku tahu itu adalah nyata. Aku tidak bisa mengubah keadaan yang terjadi di gerbong tersebut, tetapi aku akan berusaha menjadi orang yang lebih baik untuk menebus dosa yang pernah kuperbuat pada kehidupan masa laluku.

Tamat