Meski Sabtu-Minggu adalah hari libur, aku lebih senang hari lainnya. Berada di rumah 24 jam membuatku risih, karena aku merasa apa pun yang aku lakukan akan selalu salah di mata anggota rumah, apa lagi Selly sepupuku selalu mencari masalah denganku. Saat ini aku baru saja selesai menyiapkan sarapan, lalu buru-buru sarapan sendiri tanpa mengganggu hidangan di meja. Karena daftar tugas telah menunggu: menyiram tanaman, membersihkan kamar mandi, menyapu dan mengepel lantai serta menyetrika pakaian. sudah enam bulan aku tinggal di keluarga Paman Rudi, kakak kandung ibuku. Sebenarnya Paman tidak jahat, tapi pengaruh istrinya, Bibi Suhai yang terlalu mendominasi.
Semua tugas sudah selesai, aku melihat daftar kerjaku untuk hari Senin, sambil mengutak-atik menu layar di androidku. sepertinya tidak ada pekerjaan yang berat buat besok.
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Aku duduk di kursi teras rumah untuk beristirahat sambil menghirup udara segar dari tanaman sansivera Paman.
Kebetulan Bibi sedang ke pasar dan paman ada di kebun belakang rumah, sementara Selly gadis licik itu sedang berusaha menghabiskan uang mingguan di Mall bersama kawan-kawannya.
"Menunggu pria tadi malam?" suara Bibi tiba-tiba mengagetkan lamunanku.
aku terlonjak berdiri. Bibi lewat halaman samping ternyata.
"Tentu saja menunggu Bibi, mana belanjaannya Bi? Biar Lia bawa ke dapur dan susun di kulkas." Aku meraih dua buah keranjang belanjaan yang berada di lantai. Tanpa menghiraukan wajah dingin Bibi Suhai.
"Jangan mudah jatuh cinta pada laki-laki yang baru dikenal!" Hardik Bibi dari ruang tamu sementara aku pura-pura tak dengar.
***
"Meski pun aku bukan orang tua kandungmu, tapi kamu adalah keponakan suamiku. Kuharap kamu bisa menjaga nama baik pamanmu, apa kata tetangga di kampung jika kamu tidak bisa menjaga diri, hindari semua pria yang baru kamu kenal. kami di sini tidak mau disalahkan nantinya, akibat pergaulan bebasmu."
Ocehan Bibi menemaniku sepanjang hari, setelah Derry Tanjaya malam itu mengantarku pulang, walau berbeda dengan reaksi paman yang senang mengobrol dengan Derry.
Bibi terkesan iri karena Selly tidak pernah membawa laki-laki yang berkualitas ke rumah, tapi bagaimana pun Bibi tidak permasalahkan. Tentu saja aku mengatakan Derry pria yang berkualitas sebab tata Krama dan juga penampilannya yang tak hanya berpendidikan tapi juga berkelas. Kenapa aku berani menilai Bibi iri, sebab aku pernah mendengar Bibi menceramahi Selly; lihat, Helia pertama kali membawa laki-laki ke rumah ini dengan penampilan yang luar biasa dan mengendarai roda empat. Seandainya kamu seperti itu, ada bahan obrolanku ke teman-teman arisan.
Usai membereskan dapur, aku mendengar Ando, adik Selly. Berkelakar dengan seseorang di teras. Tidak lama dari itu terdengar suara Paman memanggilku untuk menyediakan Teh dan cemilan. Tanpa memastikan siapa tamu di depan aku segera menyahut. "Ya, segera Paman!"
Hampir saja aku menumpahkan nampan berisi set teko dan cangkir teh serta sepiring lapis legit.
Laki-laki itu punya nyali untuk datang lagi setelah disunguti Bibi. Apakah kehangatan Paman yang membawa ia datang lagi. "Ayo.. Lia.. bawa kemari jangan melamun di situ. Nak Derry, dimana bisa dapat sansivera jenis ini? ini sangat langka dan harganya paling atas dari jenis lain."
Owh..., dia mengambil hati paman lewat kekasih ke dua paman..., aku melirik satu pot ukuran sedang berisi sebuah sansivera yg paling bagus dari yang sudah ada.
"Hei... Lia... apa kabar? Paman... boleh saya bawa Lia Makan malam ke rumah orang tua saya? sebab saya bingung, mau ajak siapa lagi."
Saat cangkir teh kutaruh di meja teras dan menuangkan teh, dalam hatiku sangat girang. Semoga Bibi tidak mempengaruhi Paman.
"O... tentu saja boleh, boleh sekali. Lia... segera ganti pakaian dan berdandan sana! Bibimu pasti mengizinkan ya kan.. sayang??" Paman berusaha membuat istrinya memberi izin.
Bibi memasang wajah setuju yang dipaksakan. sesekali melirik sinis kepadaku.
"Ayo... Nak Derry, diminum tehnya. mungkin sedikit pahit karena Helia kurang begitu pandai menakar gula." Bagaimana pun Bibi mencari celah, membeberkan kekuranganku. Untung Selly jarang di rumah, jika ia ada di situasi ini, Bibi pasti tidak sungkan juga menonjolkan anak kesayangannya agar Derry melirik juga ke anak gadisnya yang selalu sempurna di mata ibunya.
" Ah... tidak Bi, ini teh ternikmat yang pernah saya rasa, barangkali dikarenakan saya meminumnya bersama keluarga yang hangat."
Aku salah tingkah mengaduk pakaian di lemari plastik yg hanya berisi beberapa gaun. Aku sudah lama tidak mengenakan pakaian feminim selain pakaian kerja yang lebih terkesan smart casual. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah terusan selutut berwarna jingga muda. Ini gaunku pertama kali pergi ke pesta ulang tahun kampusku, ibu menjahitnya karena kondisi keuangan keluarga sudah sangat menurun. Hingga membuat ayah sakit-sakitan dan berpulang kepangkuan Sang khalik. Ibu bangkit dengan mesin jahit tuanya menghidupi aku dan adikku Wela yang kini duduk di bangku SMP. Saat ini aku hanya bisa mengirimi seperempat gajiku ke meraka setiap bulan. Sebab aku juga harus memberikan setengah gajiku ke Bibi agar aku bisa membuatnya senang. Tapi rasa senang Bibi kepadaku hanya hitungan jam saja setelah menerima uang dariku.
***
Bibi bersender di dinding, seraya melipat kedua lengannya di perut. "Hebat ya..., baru saja dinasehati, berani buat janjian via Handphone. Punya nyali juga kamu memasang skenario tanaman kesenangan pamanmu. Ingat, jangan terlalu malam pulang. Bagaimana pun dia tetap orang yang baru kamu kenal. Mau ditaruh kemana muka kami jika tak bisa mengurus keponakan satu-satunya di rumah ini.
Aku hanya menunduk dan mengangguk kecil, percuma menjawab, malah akan membuat orang tua satu ini menambah omelannya.
***
"Kenapa tidak berkabar jika ingin ke rumah hari ini?" aku memulai percakapan ketika dia fokus ke kendaraanya.
"Pasti akan ada alasan untuk menolak kehadiranku. Bukankah sesuatu tiba-tiba akan terlaksana dengan baik, ketimbang yang direncanakan." Dia menjawab sekenanya.
"Oya, ide dari mana menyogok Pamanku dengan sansivera?"
"Emmm, itu sudah dipelajari di salah satu mata kuliahku yaitu strategi bisnis." Derry mengedipkan sebelah matanya, menggodaku. lalu melanjutkan, "Maaf ya, mungkin ini terlalu cepat, tapi aku tidak bisa mengulur waktu lagi. Aku terpaksa memintamu untuk ke rumahku, memenuhi janjiku pada nenek. Nenek memintaku untuk segera membawa calon istri makan malam bersama keluarga. Sejauh ini aku belum menemukan wanita yang tepat dan sudah banyak beralasan sama nenek. Jadi setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya kalau kamu membantuku. Nenek pasti sangat bahagia."
"Kamu terlalu banyak bicara, kepalaku jadi sakit. Jadi kamu mau membohongi nenek dan memanfaatkan aku. Lalu keuntunganku apa di sini? apakah sandiwara ini honornya mahal?" Aku tidak setuju niat dia yang ingin membohongi orang tua.
"Apakah kamu merasa aku sedang membuat drama?"
"Lalu apa?"
"Aku juga bingung, aku tidak tahu usia nenekku berapa lama lagi, setidaknya aku ingin di sisa hidupnya bahagia. Setidaknya kamu mengerti posisiku. Akhir-akhir ini nenek selalu sakit-sakitan dan memintaku segera mempertemukan calon istri kepadanya. selebihnya aku tidak bisa jelaskan."
Penjelasannya terkesan klise, tapi dari mimik wajahnya sangat serius dan ia sangat sulit untuk menemukan kalimat yang tepat untuk semua itu.