20 TAHUN YANG LALU
.
"Budak kurang ajar! Nyonya Alma mengatakan ia membayarmu 10 koin untuk pekerjaan kemarin. Kenapa kau hanya menyerahkan 5 koin kepadaku? Kau kemanakan sisa uangnya??? Heh! Kau sudah berani membohongiku ya..!"
Laki-laki tua berpenampilan compang-camping itu tak henti-hentinya memukuli bocah kecil kurus yang tergeletak di tanah dengan tubuh luka-luka itu dengan tongkat di tangannya.
Secara refleks anak itu berusaha melindungi kepalanya dari pukulan, tetapi akibatnya kedua tangannya menjadi sasaran pukulan tongkat yang bertubi-tubi. Wajahnya mengernyit kesakitan, tetapi sama sekali tidak terdengar suara keluar dari bibirnya.
"Hei.. hei, Dotan, jangan kau pukuli terus anak itu, nanti tulangnya bisa patah..." tegur beberapa orang tetangga yang ada di kawasan kumuh itu, berusaha melerai lelaki tua itu agar berhenti menyiksa budaknya.
"Jangan ikut campur! Kalau aku tidak memberinya pelajaran, maka nanti dia akan terus menipuku. Kau tidak tahu betapa mahal aku membelinya waktu itu. Selama lima tahun ini aku juga sudah mengeluarkan sangat banyak uang untuk memberinya makan... Aku bisa melakukan apa saja kepadanya sesukaku," tukas lelaki tua yang dipanggil sebagai Dotan itu.
Ia memukuli anak itu beberapa kali lagi dan bahkan melayangkan tendangan. Barulah ketika melihat anak itu sama sekali tidak bergerak, ia berhenti. Dalam hati, ia juga kuatir membuat anak ini patah tulang. Kalau budak kecilnya ini tidak bisa bekerja, maka ia juga tidak akan memperoleh uang.
Setelah mencampakkan tongkatnya, ia lalu berjalan masuk ke dalam rumah kumuhnya dan membanting pintu. Beberapa wanita tetangga yang kasihan kepada bocah itu lalu mendekat dan memeriksa keadaannya. Mereka hanya bisa geleng-geleng kepala dan menoleh ke arah pintu dengan wajah muak.
Mereka sangat kasihan kepada anak ini, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Dotan memiliki bukti kepemilikan atas bocah ini dan ia berhak melakukan apa saja terhadapnya. Kalau mereka melarikannya, atau setidaknya hanya membantunya melarikan diri, maka Dotan dapat membuat mereka masuk penjara.
Mereka tidak tahu pasti siapa lelaki itu. Ia pindah ke area kumuh mereka beberapa bulan yang lalu dari negara asing. Ia selalu sesumbar dan mengatakan bahwa dulu ia adalah orang kaya yang memiliki banyak budak.
Entah apa yang terjadi kemudian sehingga kini ia menjadi miskin dan berpindah-pindah tempat dengan bocah laki-laki yang menjadi budaknya ini. Dotan menyewakan budaknya itu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah orang kaya dan menerima bayaran atas jasanya.
Kebanyakan orang yang mempekerjakan anak itu melakukannya karena kasihan. Mereka mengerti bahwa kalau anak itu tidak pulang membawa uang, maka ia tidak akan memperoleh makanan sama sekali. Bocah itu pernah pingsan saat bekerja karena tidak makan selama lima hari, hanya minum air sumur saja.
Untuk anak berumur delapan tahun, ia cukup rajin dan cekatan, dan segera membuat para nyonya rumah suka kepadanya. Mereka selalu memperlakukannya dengan baik. Beberapa bahkan berusaha membelinya dari Dotan. Namun, tentu saja Dotan tidak akan menjual satu-satunya sumber penghasilannya itu.
Mereka juga tidak pernah tinggal lama di suatu kota karena sebenarnya Dotan membuat budaknya mencuri barang berharga di rumah orang-orang kaya tempatnya bekerja. Mereka selalu harus pergi ke kota berikutnya sebelum empunya rumah menyadari bahwa barang mereka telah dicuri.
Anak laki-laki itu tidak pernah bicara. Tuannya pun tak membutuhkan suaranya. Selama budak kecil itu melakukan tugasnya, maka buat apa ia bicara, benar kan? Selama ini, ia hanya dipanggil sebagai Nomor 5. Dotan tak mau repot-repot memberinya nama baru.
Kali ini, ia dipukuli bukan karena mencuri uang upah 5 koin seperti yang dituduhkan Dotan kepadanya. Nomor 5 gagal mencuri satu pun barang berharga dari rumah Nyonya Alma dan hanya pulang membawa upah pekerjaannya yang halal.
Dotan sedang tidak punya uang sama sekali dan ia sedang ingin minum minuman keras. Uang 10 koin dari Nomor 5 hanya cukup untuk membeli makanan untuk mereka dan satu botol tuak. Ia membutuhkan lebih.
Karena ia sangat kesal, akhirnya ia menghajar Nomor 5 habis-habisan untuk melampiaskan kekesalannya. Ketika tetangga bertanya, ia beralasan bahwa budaknya mencuri uang darinya.
"Nak.. kau bisa bangun?" tanya seorang wanita berambut putih dengan wajah prihatin.
Ia menyentuh tubuh Nomor 5 dengan hati-hati. Air matanya menggenang saat ia melihat betapa malangnya kondisi tubuh bocah kurus kering itu. Ia tahu Nomor 5 sudah berusia delapan tahun, tetapi dari sosok tubuhnya yang kecil dan kurus, ia terlihat seperti anak yang baru berumur lima tahun saja.
Nomor 5 pelan-pelan membuka matanya dengan susah payah. Ia mengernyit kesakitan, tetapi seperti biasa, tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Para tetangga tahu ia bisu. Kalau anak ini bisa bicara, tentu peristiwa pemukulan dan berbagai siksaan yang diterimanya sewaktu-waktu dari Dotan akan terdengar lebih mengerikan di telinga orang yang mendengarnya.
Wajah anak itu tirus dengan kulit kecokelatan dan kering. Sepasang matanya berwarna hitam pekat dan terlihat hampir tanpa cahaya kehidupan. Rambutnya yang cokelat tampak acak-acakan dan agak bau karena tadi disiram air comberan oleh Dotan.
"Nak.. kenapa kau tidak melarikan diri dari tuanmu yang jahat itu?" bisik wanita itu ke telinga Nomor 5. "Sebentar lagi ia akan mabuk-mabukan... kenapa kau tidak mencoba kabur saja di saat ia lengah? Di pinggir kota ini ada hutan. Kau bisa bersembunyi di sana."
Sebenarnya hutan bukanlah tempat yang aman buat seorang anak kecil, tetapi dalam benak perempuan itu, di mana pun akan jauh lebih aman daripada bersama Tuan kejam seperti Dotan.
Anak itu memejamkan mata kembali. Pikirannya melayang pada beberapa kesempatan di masa lalu ketika ia berusaha melarikan diri dari Dotan. Percobaannya selalu gagal dan hanya berakibat pada hukuman yang jauh lebih kejam. Ia tidak tahu apakah kali ini ia akan berhasil.
Dengan susah payah Nomor 5 bangkit dan memeriksa luka-lukanya. Lukanya kali ini tidak separah biasanya. Ia sudah belajar untuk berbaring seperti orang mati setiap kali Dotan memukulinya dan hanya berharap pukulan-pukulan itu akan berhenti. Kali ini Dotan rupanya benar-benar takut akan mematahkan tulangnya sehingga ia berhenti sebelum tubuh Nomor 5 menjadi rusak tak berbentuk.
Dulu Dotan pernah memukulinya separah itu. Ia tidak peduli apakah Nomor 5 akan mati atau tidak. Ia masih memiliki beberapa budak lain yang dapat menghasilkan uang. Tetapi kini, Nomor 5 adalah hartanya satu-satunya. Ia menjadi lebih berhati-hati.
Nomor 5 membungkuk dalam-dalam kepada para tetangga yang berusaha menolongnya dan dengan tersaruk-saruk masuk ke dalam rumah untuk mencuci lukanya.
Orang-orang yang tadi berkerumun hanya menatapnya dengan pandangan kasihan.
"Apa yang tadi kau bisikkan kepadanya?" tanya seorang wanita kepada wanita pertama yang bicara kepada Nomor 5.
"Tidak apa-apa. Aku hanya menanyakan keadaannya."
"Oh.. begitu ya?"
Melihat Nomor 5 tampak baik-baik saja, mereka pun akhirnya bubar.