"apa aku pernah punya alasan untuk menetap?" tanya Lili dengan mantap. Alan terdiam. ia mengarahkan wajah Lili untuk menatapnya, jemarinya menyentuh dagu Lili lembut. Alan menatapnya lekat. Tak ada binar keceriaan disana yang selalu ia lihat saat remaja dulu. Lama mereka terdiam.
"aku tidak mengijinkannya" jawab Alan akhirnya.
Lili mendelik tajam "aku tidak membutuhkan ijinmu"
wajah Alan mengetat. Tatapannya dingin menghujam. Alan membereskan peralatan makan Lili kemudian keluar dengan debuman keras pintu membuat Lili terlonjak kaget.
Lili lupa dengan kuasa Alan. semua harus sesuai dengan keinginan bos besar tersebut. apapun itu. siapapun itu.
'kamu sendiri lupa bagaimana cara menghargai, namun memintaku tetap disini setelah berkali-kali melukai. tidak adil sekali'
***
LILI POV
Dela menatapku dengan menganga lebar. akupun termangu melihatnya menatapku dari atas kebawah yang sedang terduduk di atas tempat tidur.
dia terkejut melihat keadaanku tetapi aku lebih terkejut dengan kehadirannya di kamarku dan kak Alan. apa aku mulai berhalusinasi di siang bolong? kalau iya kenapa harus Dela yang muncul?
"kenapa kau bisa ada di-"
"apa yang terjadi denganmu?" Dela menghambur ke arahku dan aku meringis merasakan berat tubuhnya. dia tak membiarkanku menyelesaikan kalimatku.
"ceritanya panjang" aku menunduk dengan lemah seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dariku.
"ceritakan semuanya padaku!" matanya melebar mencari kejelasan. ada rasa cemas yang tergambar di wajahnya. ternyata masih ada orang yang benar-benar peduli padaku. masih pantaskah aku merasa sendiri di dunia ini? aku jadi merasa sedikit malu karena tidak bersyukur memiliki Dela yang setia berada disisiku sejak dulu. ya, ku akui aku memang tidak memiliki banyak teman dikampus. aku tidak tahu kenapa orang-orang tidak akrab denganku. entahlah aku tidak ingin memikirkannya saat ini.
"aku..." aku menggantung kalimatku bingung mencari kata yang tepat.
"kak Alan melakukannya padaku.." aku menggigit bibir bawahku. entah kenapa hanya kalimat itu yang terlintas dibenakku. aku tak tahu lagi harus bagaimana mengatakannya.
"melakukan apa? bicara yang jelas!" matanya melotot hampir keluar dari kelopak matanya. badanku diguncangnya dengan keras. tidak bisakah ia memperlakukanku sedikit lebih lembut?. aku sedang sakit disini!
"yah... dia.. hmm.. he-hentikan tatapanmu itu. dan duduklah dulu yang benar" Dela menggerutu dan bergeser sedikit lebih jauh dariku. entah mengapa aku merasa malu untuk menceritakan apa yang terjadi malam itu. disamping rasa malu, rasanya hatiku terlalu sakit untuk mengingat kejadian-kejadian itu. menceritakannya pada Dela sama saja dengan menabur garam pada luka yang belum kering itu
"jadi, tuan putri apa yang terjadi denganmu? kenapa kau bisa terlihat semakin menyedihkan seperti ini" Dela menatapku sendu. aku tahu ia prihatin dengan keadaanku.
"kak Alan memaksaku melayaninya kemarin malam. di.. dia memperkosaku. aku tahu itu adalah haknya sebagai suamiku. tapi dia memperlakukanku dengan sangat kasar dan terlebih itu tanpa cinta.." tuturku lirih. Dela mengusap bahuku guna menguatkanku. aku sangat bersyukur memiliki Dela disampingku. setidaknya saat dunia memusuhiku aku masih memilikinya yang berdiri menguatkanku disaat suamiku sendiri tak ada disana.
"kenapa dia tiba-tiba begitu? kukira dia tidak tertarik padamu" Dela menurunkan nada suaranya khawatir aku semakin terluka dengan fakta yang ia ungkit ke permukaan.
"Aku tidak tahu, sakit sekali rasanya. dia tidak menghargaiku sebagai istrinya. dia melihatku hanya sebagai salah satu pemuas nafsunya. aku tidak ingin disamakan oleh wanita-wanita sewaannya Del! aku lelah. aku ingin pulang.." tanpa kusadari air mata jatuh dari pelupuk mataku. aku kembali terisak. Dela memelukku dan mengusap punggungku.
aku menangis sejadi-jadinya. aku teringat akan mamaku. mamaku yang selalu ada disaat-saat sulitku kini telah meninggalkanku. Dela tidak berkata apapun selama aku menumpahkan air mataku dalam pelukannya. aku berharap bebanku sedikit berkurang dengan adanya Dela disisiku.
"sekarang apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dela lirih setelah tangisanku sedikit mereda. spring bed ku sudah berserakan tisu dan aku sama sekali tidak peduli lagi dengan wajahku yang berantakan.
"Aku tidak tahu, kak Alan tidak mengijinkanku pergi dari sini.. aku takut kak Alan memaksaku melakukannya lagi" aku mengurai pelukanku darinya.
"kau takut padanya?" Dela bertanya padaku dengan hati-hati. aku mengangguk lemah menjawabnya.
"awalnya aku berpikir kak Alan memang membencimu Lili, tapi semua pikiran itu sirna sekarang. kurasa kau memiliki harapan bahwa kak Alan bisa saja mencintaimu" Dela menatapku serius yang malah terdengar konyol bagiku.
"hentikan itu Del, aku lelah hidup mengira-ngira dan menerka-nerka. aku memutuskan menyerah mendapatkan cintanya. mungkin kami memang saling dipertemukan namun tidak untuk dipersatukan"
Dela mendelik marah padaku. aku tau Dela, ia tidak suka intuisinya dibantah begitu saja.
ia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan mengutak-atiknya sejenak. aku hanya memperhatikannya dengan seksama. ia menyodorkan ponselnya padaku. aku mengernyit heran melihat sebuah foto yang menampilkan gadis cantik yang seksi disana. aku menghela napas menyadari siapa dia.
"apa itu wanita yang kau bilang kekasih kak Alan?" Dela menodong sebuah pertanyaan mutlak padaku. aku terpekur keheranan dengan situasi ini.
"jawab aku iya atau tidak??" Dela menaikkan nada suaranya membuatku berjingkat kaget. ia menatapku tidak sabaran
"i..iya lalu kenapa?" jawabku tergagap.
"dia bukan kekasih atau wanitanya kak Alan! dia saja yang mengejar-ngejar kak Alan selama ini" aku heran dengan penuturan Dela barusan. darimana ia dapat informasi semacam itu?
"apa yang kau katakan? dari mana kau tahu hal semacam itu?"
"tidak penting aku tahu dari mana, dan kau tahu kenapa aku bisa ada disini?" Dela menaikkan alisnya menungguku.
"itu yang dari tadi kutanyakan padamu" aku mendengus kesal. Dela bisa menjadi sangat menyebalkan ketika dia sedang antusias.
"kak Alan meneleponku memintaku menemanimu disini. dia bilang kau sedang butuh seseorang. apa kau tidak tahu itu adalah bentuk perhatiaannya padamu?" aku terbelalak kaget mengetahui hal itu. apa benar kak Alan yang menelepon Dela di tengah kesibukannya itu? apa benar kak Alan sedikit menaruh perhatiannya itu padaku.
rasanya aku tak ingin terlalu berharap jika itu akan membuatku makin sakit. mungkin saja dia hanya merasa bersalah padaku dan pada kedua orangtuaku yang sudah meninggal. ah Dela memang plin-plan. belum lama dia bilang padaku dia lebih senang melihatku dengan kak Abi dan sekarang ia ingin melihatku damai dengan kak Alan. Dela benar-benar membingungkan.
Aku baru akan menjawab ketika Dela tak memberiku kesempatan bicara.
"kurasa kau hanya perlu lebih mengenalnya. Lili" kalimat yang ingin kulontarkan kembali tertelan olehku. sedikit banyak aku mengakui pernyataan yang Dela katakan barusan. aku rasa aku belum terlalu mengenal kak Alan seutuhnya. maksudku, aku memang mengenalnya sejak kecil karena orang tua kami yang bersahabat. tapi semakin lama aku menghabiskan waktu dengannya, aku malah semakin merasa tidak mengenalnya dengan baik. banyak sekali perilaku nya yang tidak pernah dia perlihatkan padaku tiba-tiba muncul. dia seperti orang berbeda yang tidak pernah kutemui.
"ngomong-ngomong..." Dela menaikkan sebelah alisnya membangunkanku dari ketermanguanku akan kata-katanya. Dela memandangku menggoda. aku mengernyit heran dan curiga.
"apa?" tanyaku polos. perasaanku semakin tidak enak saja.
"apa kak Alan sehebat itu hingga membuatmu sampai seperti ini? ceritakan juga bagian itu padaku" Dela menatapku mesum dan wajah antusias terlihat jelas disana. aku langsung merasakan wajahku memanas memahami maksud perkataannya.
"aku tidak ingin mengingatnya. pulanglah!" aku menutup wajahku dengan selimut tebal. ah aku sangat malu sekali membicarakan hal-hal semacam itu. tunggu dulu, apa ini artinya aku menikmati permainan kak Alan yang memabukkan itu?, ya. sepertinya aku mulai gila.
"kau mengusirku??" tanya Dela menaikkan nada suaranya.
"heeiii. aku belum selesai bicara!" Dela menarik-narik selimut yang membungkus tubuhku dan mulai memukul-mukulku dengan bantal. ahh tega sekali dia tak tahukah ia tubuhku masih terasa sakit dengan pukulannya itu?