Tong Lu berpikir jika dia mengikuti Leng Yejin secara diam-diam, pria itu tidak akan menyadari keberadaannya. Dia terus mengikutinya sampai di depan pintu kamar mandi pria. Dia menunggu dan terus menunggu selama beberapa saat. Namun anehnya pria itu tidak juga keluar. Apa mungkin dia buang air besar? Gumamnya dalam hati.
Tong Lu masih menunggu di muka pintu toilet, namun Leng Yejin tetap saja tidak kunjung keluar dari toilet. Aneh! Bukannya tadi dia tidak tampak membawa tisu ke dalam toilet? Batinnya berusaha mengingat-ingat.
Ah lupakan. Seorang wanita berdiri di depan toilet pria seperti ini sangat beresiko. Bagaimana jika nanti orang mengira bahwa aku adalah wanita mesum? Batin Tong Lu sambil mengintip ke dalam sekali lagi sebelum berjalan pergi dari tempat itu.
"Aaaaa!!" jerit Tong Lu karena terkejut. Jantungnya terasa hampir saja meloncat keluar dari kerongkongannya. Sesosok pria tinggi menjulang tiba-tiba muncul di depannya sehingga hidungnya langsung saja menabrak dada bidang pria itu. Dia mengerutkan keningnya dan mengangkat kepalanya.
"Kamu bagaimana bisa ada di belakangku?" tanya Tong Lu terkejut.
"Berdiri di depan pintu kamar mandi pria, apakah kamu berencana untuk masuk ke dalam dan mengintip?" ucap Leng Yejin sambil menyipitkan matanya menatap Tong Lu curiga.
"Ten… Tentu saja tidak. Aku kan mau memasuki kamar mandi wanita," sahut Tong Lu gugup setelah tertangkap basah oleh Leng Yejin. Sangat jelas terlihat di wajahnya sebuah perasaan bersalah. Dia tahu benar tidak seharusnya dirinya mengintip ke dalam kamar mandi pria seperti barusan. Namun apa boleh buat, pria itu tidak juga keluar.
Setelah tertunduk beberapa saat, Tong Lu kembali teringat apa yang menjadi tujuan utamanya barusan. Dia segera mendongakkan kepalanya, menatap mata Leng Yejin dan memerhatikannya dengan cermat. Namun dia tidak menemukan adanya teropong tidak terlihat pada mata pria itu. Sebaliknya, dia menemukan sepasang mata yang tampak dalam dan menghanyutkan. Membuat siapa saja yang menatap mata itu menjadi terbuai dan tenggelam oleh pesonanya.
Jantung Tong Lu sontak kembali berdebar kencang. Bayangan dirinya terbangun di dalam pelukan pria itu di pagi tadi membuat wajahnya memerah seketika. Berdiri dalam jarak sedekat itu, membuat Leng Yejin yang memiliki tinggi tubuh 188 cm dan dirinya yang memiliki tinggi 162 cm tampak kontras. Pria itu tampak memandangnya dari sudut matanya. Namun ekspresinya sama sekali tidak berubah, tampak datar dan dingin. Arti dibalik mata menawan itu, sama sekali bukan sesuatu yang dapat diselidiki olehnya.
Suasana di sekitar keduanya terasa memanas. Napas keduanya juga dapat saling dirasakan satu sama lain dengan jarak sedekat itu. Hal itu membuat Tong Lu menjadi panik, jantungnya berdetak sangat kencang dan konsentrasinya menjadi tidak karuan. Dia tampak menelan ludahnya dan berusaha untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun tangan Leng Yejin sudah terlebih dahulu direntangkan dan menghalangi langkahnya. Merasa tidak bisa lari ke mana-mana dan membuat Tong Lu menjadi sangat panik dan pucat.
"Apa yang sebenarnya sedang kamu mata-matai?" tanya Leng Yejin sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Ti… Tidak. Itu…" jawab Tong Lu terbata-bata dengan suara yang sangat pelan. Dia ketakutan melihat tatapan mata Leng Yejin yang begitu menyelidik. Namun rasa ingin tahunya telah membuncah sehingga dia akhirnya balas menatapnya dan bertanya, "Itu.. Apa kamu benar-benar dapat membaca naskah pidato yang Sekretaris Yu pegang dari tempat duduknya?"
Leng Yejin tampak sedikit menunduk dan memandangnya dari ujung matanya. Tubuhnya menutupi tubuh Tong Lu dengan bayangan tubuh bidangnya.
Tong Lu tidak tahan lagi dengan perasaan mengintimidasi yang terpancar dari tubuh Leng Yejin. Akan tetapi dia tetap ingin mendapatkan jawaban atas rasa ingin tahunya yang sudah meluap penuh itu. "Jadi apa kamu benar-benar dapat membacanya dari panggung?"
"Tidak terlihat," jawab Leng Yejin dengan singkat.
"Ta… Tapi…" ujar Tong Lu masih belum puas dengan jawaban dari adik iparnya itu.
"Sekretaris Yu hanya menggodamu saja. Aku sudah sempat membacanya sebelum kamu tiba," sahut Leng Yejin terlihat tenang seperti air, yang membuat Tong Lu tidak dapat melihat tanda-tanda jika dia sedang berbohong.
Seketika itu juga wajah Tong Lu menunjukkan sebuah ekspresi lega. Pantas saja. Sudah kuduga, tidak mungkin dia dapat membaca naskah pidato dengan tulisan sekecil itu dengan jarak sejauh itu, gumamnya dalam hati.
Leng Yejin menurunkan lengannya dan tidak lagi menghalangi tubuh Tong Lu, lalu berkata, "Pergilah dan buatkan aku secangkir kopi."
"Menyeduh kopi lagi?" erang Tong Lu seolah ingin mati saja.
"Kenapa? Sukarelawan tidak diperbolehkan untuk membuatkan kopi untuk para peserta? Apakah ini sikap pelayananmu terhadap peserta konferensi ini?" tutur Leng Yejin sambil menyipitkan matanya. Sepasang matanya tampak menatap dalam ke mata Tong Lu dan mengamati wajah mungil itu yang tampak pucat. Nada bicaranya terdengar sangat mengintimidasi, membuat gadis itu mau tidak mau segera menuruti kemauannya.
"Tentu saja bukan seperti itu maksudku. Aku akan segera membuatkan secangkir kopi untukmu," ucap Tong Lu dengan wajah tersenyum yang tampak sedikit dipaksakan. Beberapa detik kemudian, dia segera menyelinap pergi melewati tubuh Leng Yejin. Dia memanfaatkan kesempatan sebelum pria itu kembali berbicara dan dengan segera angkat kaki dari sana.
Leng Yejin menatap punggung Tong Lu yang berlari menjauh. Terlihat menggemaskan, namun tidak membuat bibirnya menyunggingkan senyum pada wajah datarnya. Tampaknya belakangan ini terlalu banyak rahasia yang terendus oleh gadis itu. Hal ini membuat dia berpikir keras, apa dia perlu menghabisi seseorang atau tidak.
Tong Lu buru-buru membawa secangkir kopi di tangannya, tanpa menyadari bahwa sebuah pisau besar tergantung di punggungnya. Pisau itu mungkin jatuh kapan saja dan menusuknya sewaktu-waktu. Dia menyajikan kopi dengan kedua tangannya dengan penuh sopan santun. Dia juga tampak cemas jika Leng Yejin tidak puas dengan kopi yang dibuatnya dan menyuruhnya menyeduh kopi untuk berkali-kali lagi seperti waktu yang lalu.
"Adik ipar, ini kopimu. Oh ya, ngomong-ngomong, ada yang ingin aku tanyakan padamu," tanya Tong Lu pada Leng Yejin.