"Lo ternyata orang Aceh?" Artha bertanya dengan penuh keheranan saat mereka telah duduk di dalam pesawat. Menunggu pesawat lepas landas.
"Iya," jawab Anya acuh tak acuh sambil mengeluarkan pouch make-up dan mengeluarkan maskara. Hendak berdandan.
"Gue kira lo orang Tegal. Dialek lo sama sekali nggak mirip kayak orang Aceh. Mirip kayak Tegal juga nggak sih...."
Anya menoleh dengan sempurna. Cermin mungilnya ia letakan di pangkuan. Tidak sabar lagi dengan kebawelan Artha yang melebihi ibu-ibu yang sedang berebut barang diskon.
"Bokap gue seratus persen Aceh, almarhumah nyokap gue setengah Tegal setengah Belanda. Gue lahir dan besar di Lhokseumawe Aceh. Tapi gue nggak terlalu banyak menguasai bahasa Aceh, hanya sedikit mengerti, karena gue sama bokap nyokap lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Dan lagi gue sudah lama di Jakarta. Hampir sepuluh tahun. Dialek gue sekarang lebih mirip orang betawi. Jadi lo jangan bawel melulu. Berisik tau." Anya menjelaskan panjang lebar sambil mengaplikasikan maskara di bulu matanya yang sebenarnya sudah lebat.
"Wow..." Artha terpana. Tidak menyangka Anya menjelaskan sepanjang itu tanpa berhenti menggunakan maskara. Meski pun dengan wajah jutek seperti itu. Entah kenapa Artha merasa Anya sebenarnya tidak senang pulang kampung. Bukan karena dirinya yang menemaninya, tapi karena sesuatu. Soal perjodohan sepertinya.
"Apa lagi yang mau ditanyakan lagi soal gue, pak Raden?" Anya menyeringai nakal saat menyebut nama depan Artha.
"Artha saja please..." Artha membalas dengan nada dongkol dipanggil 'pak Raden'. "Udah cukup kok. Nanti aja kalo sudah sampai, gue nanya-nanya lagi." Cengiran khas Artha menutup sesi tanya jawabnya.
"Ok." Anya kembali fokus menatap cermin mungilnya. Lanjut memulas bibirnya dengan lipstik. Artha memilih memperhatikan kelihaian Anya dalam bersolek. Ternyata mitos cewek kalau dandan lama hingga bikin yang nunggu lulus sarjana itu tidak berlaku pada Anya. Tidak sampai tiga puluh menit, meski bagian terlamanya adalah ketika Anya mengggambar alisnya.
"Kenapa lihat-lihat?" Anya memasukan pouch make-up nya ke tas lagi. "Baru lihat cewek lagi dandan ya?"
Artha tertawa mati gaya gara-gara tertangkap basah memperhatikan Anya berdandan. Sebenarnya Artha kagum dengan skill Anya. Untuk kemampuannya itu, Anya pantas dapat sepuluh jempol pinjam dari para tetangga.
Setelah sempat transit selama dua jam di bandara Kualanamu, pesawat mereka akhirnya tiba di bandara Malikussaleh, Lhokseumawe.
Ini kali pertama Artha berkunjung ke Aceh. Jika bukan karena Anya, ia mungkin akan melewatkannya. Berjalan mengiringi langkah cepat Anya, dari kejauhan Artha melihat seorang pria ganteng jangkung dengan senyum ramah telah menunggu mereka di bandara. Merentangkan kedua tangannya saat melihat Anya bergegas menghampirinya. Warna bola matanya sama dengan Anya. Coklat.
"Pu haba dek*?" Sapanya sambil memeluk Anya erat. Artha hanya menonton takjub menatap Anya yang memeluk pria itu dengan manja. Baru kali ini Artha melihat Anya semanja itu dengan seorang pria. Artha menduga pria itu mungkin saudara laki-laki Anya. Apalagi Artha menemukan banyak kemiripan yang terdapat pada wajah keduanya.
"Haba geut bang*." Anya melepaskan pelukannya. Menoleh ke Artha. "Kenalin bang dia pacar aku. Namanya Ra..."
"Artha bang." Artha memotong dengan cepat sebelum Anya menyebutkan nama depannya yang sekali lagi hanya jadi bahan olok-olok bagi Anya. Artha menjabat tangan pria yang dipanggil Anya dengan sebutan abang itu.
"Sultan. Abangnya Cut." Pria bernama Sultan itu menyebut nama yang terdengar asing bagi Artha.
"Cut?" Artha menoleh bingung ke Anya. Siapa nama lengkap Anya yang sebenarnya mulai menemukan titik terang.
"Cut Anya Maulida Saleh," tambah bang Sultan membuat Artha akhirnya mengetahui nama Anya yang sebenarnya. Nama yang terdengar indah dibandingkan nama palsu Anya yang sebelumnya, Anya Seranova.
"Jeh...Kalian dah lama kenalnya? Nama lengkap adek aku pun nggak tahu." bang Sultan menyindir dengan dialek Aceh yang kental dan cepat. Jujur, Artha nyaris tidak bisa menangkap kata-kata yang keluar dari mulut bang Sultan.
Artha dan Anya saling melempar tatapan. Seolah sedang saling lempar kode, siapa yang harus menjawab.
"Dua tahun, bang," jawab Artha mendahului Anya yang baru akan buka mulut.
Tapi kita berdua nggak pernah akur kayak Tom and Jerry. Batin Artha.
Artha melirik Anya yang memilih acuh tak acuh saat nama lengkapnya dibocorkan oleh abangnya. Pura-pura sibuk dengan ponselnya. Padahal cuma lagi mengabari Amor bahwa ia dan Artha telah sampai.
"Ayok Cut." Bang Sultan mengambil alih koper Anya. "Ayah minta kau pigi ke Takengon hari ni juga," tambah bang Sultan membuat Anya melotot kaget.
"Takengon? Kenapa kesana bang? Cut malas ah!"
"Jeh...bek beungeh* dolo Cut...Ayah mendadak harus kesana. Ada kawan ayah mau tengok kebun kopi kita."
Kawan ayah? Anya lansung mengerti maksud bang Sultan. Kawan ayah yang hendak dijodohkan dengan Anya.
"Abang dah pernah tengok kawan ayah?" Anya bertanya lagi kali ini dengan aksen yang telah berubah serupa dengan aksen bicara Sultan abangnya. Artha diam-diam senang mendengar aksen bicara Anya yang seperti ini. Sepintas seperti aksen melayu.
"Belum lah. Tapi sebelum ke Takengon, kalian mampir ke kedai abang dulu ya."
"Kedai abang di Cunda?"
"Bukan Cut. Kedai abang di Kuta blang. Abang buka baru di sana. Kak Medina sudah menunggu di sana." Bang Sultan menerangkan dengan penuh semangat.
"Wow...makin sukses aja ya abang Cut. Kak Medina gimana kabarnya? Dah hamil lagi belum? Terus ponakan Cut si Rian gimana kabarnya?" Anya berjalan sambil bergelayut manja di lengan abangnya.
"Medina lagi hamil lagi. Rian juara pencak silat minggu lalu dan si Husna kawan kecil kau dah kawen semalam. Giliran kau kawen kapan?" Bang Sultan mencubit hidung mancung Anya dengan gemas.
"Auw...Kenapa nggak kasih kabar ke Cut soal Husna, bang?"
"Makanya sering-sering pulang. Bek* nanya kabar teros," canda bang Sultan, sekali lagi mengusap rambut Anya.
Di belakang abang adek itu, Artha tak ubahnya seperti koper yang ditarik dengan pasrah. Cuma jadi penonton dan pendengar. Tapi melihat Anya yang berbeda menjadi hiburan buat Artha. Si bengal Anya ternyata bisa semanja itu jika bersama abangnya.
"Tapi kamu pakek jilbab dulu lah. Abang nggak mau kamu kena razia," tegur Bang Sultan sambil mengacak-acak rambut tebal adiknya.
"Gampang itu baaang, Cut pakek nantik di mobil," jawab Anya enteng.
Mendengarnya, Sultan cuma bisa geleng-geleng pasrah dengan kelakuan adiknya.
Hmm...Artha hampir lupa. Di bumi Serambi Mekah para muslimah memang diwajibkan mengenakan jilbab. Tapi Anya malah dengan santai membiarkan rambut panjangnya berkibar bebas.
Di dalam SUV hitam yang telah meluncur dari bandara, Anya tampak cekatan mengenakan pashmina merah yang rupanya telah ia siapkan di tas cangklongnya sebagai penutup rambutnya. Artha jadi ingat dengan si Umi stafnya yang gemar mencuri waktu menonton tutorial hijab di youtube saat bekerja.
Artha sampai terpukau menatap Anya yang kepalanya telah dibalut pashmina. Seharusnya Anya pakai jilbab saja setiap hari, jadi lebih sejuk lihatnya. Bahkan memancarkan aura yang lebih positif menurut Artha. Anya semakin tampak cantik. Membuat Artha sebentar-sebentar melirik mencuri pandang Anya. Tapi malah mendapat pelototan dari Anya.
Setelah 45 menit perjalanan dari bandara, mereka tiba di kota Lhokseumawe yang didominasi dengan banyaknya jumlah kedai kopi. Artha jadi tidak sabar ingin mencicipi kopi Aceh yang tersohor itu. Mendadak Artha teringat pesan Jovan, bosnya yang meminta oleh-oleh. Jovan pasti senang jika mendapat oleh-oleh kopi Aceh.
Mobil yang membawa mereka akhirnya sampai di sebuah parkiran sebuah kedai kopi bernama Kupie Sultan 2. Kedai kopinya abang Sultan yang menurut Artha lebih pantas disebut cafe.
Lalu seorang wanita cantik yang tampak sedang hamil dan berbusana terusan muslimah tentunya, menyambut mereka dengan senyum lebar. Ada kegembiraan yang terpancar dari wajah cantiknya yang mengingatkan Artha pada Cut Mini, artis terkenal keturunan Aceh.
"Cuuuut! Aku kangen kali!" Wanita itu memeluk Anya dengan erat sampai membawa Cut berputar bersamanya bagai sedang berdansa.
"Kak...bayinya ikut nendang-nendang perut Cut nih," Anya berkelakar sambil melonggarkan rangkulannya.
"Ayo masuk Cut...kakak dah bikin kuah pliek u* kesukaan kau." Wanita yang ternyata istri bang Sultan itu menarik Anya masuk ke dalam.
Sementara Artha ditarik bang Sultan. "Kau harus cicipin kopi andalan kami. Kopi Gayo hasil kebun keluarga kami di Takengon." Bang Sultan mengajaknya duduk di salah satu sudut kedainya. Meminta salah satu karyawannya meracik kopi Gayo untuk mereka berdua.
Setelah makan siang dengan menu masakan Aceh yang menurut Artha tidak jauh beda dengan masakan Padang, lalu mengobrol hingga dua jam lamanya. Mereka lanjut perjalanan menuju Takengon. Tapi kali ini tanpa bang Sultan.
Bang Sultan tidak bisa ikut mengantar karena Medina istrinya sedang hamil tua. Jadilah mereka pergi berempat dengan supir berikut kawannya pergi ke Takengon dengan SUV bang Sultan.
Perjalanan menuju kota dingin Takengon yang terletak di wilayah Aceh Tengah menempuh waktu kurang lebih dua hingga tiga jam. Melalui jalan beraspal yang berkelok-kelok dengan banyak bonus pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Sampai-sampai Artha beberapa kali minta berhenti hanya untuk berfoto. Anya sedikit kesal namun berusaha memaklumi karena Artha memang gemar traveling dan hunting foto bagus. Jadi perjalanan ke Takengon justru malah memanjakan hobby Artha.
Artha merasakan kepalanya ada yang menoyor berkali-kali. Siapa lagi kalau bukan Anya. Artha mengangkat kepalanya yang entah sejak kapan tertidur dan sudah bersandar di bahu Anya. Dengan wajah mengantuk Artha mengangkat kepalanya, beralih menempel di kaca jendela mobil.
"Pura-pura ketiduran, huh?" tuduh Anya begitu kejam. Padahal demi setiap kuda yang mereka lihat di Takengon, Artha benar-benar tidak sengaja melakukannya. Tertidur begitu saja dan bersandar pada bahu Anya adalah bukan rencananya. Tapi Anya memanglah Anya, tidak mudah percaya begitu saja.
"Di mana kita?" Artha celingukan. "Brrr...dingin." Kedua tangan Artha bersedekap karena diterpa angin dingin Takengon yang langsung menerpa tubuhnya yang hanya mengenakan t'shirt lengan pendek.
"Villa bokap gue," Anya menyahut sambil menutup pintu mobil. "Ayok turun."
Artha berhenti celingukan. Takjub dengan pemandangan senja di villa ayah Anya yang menghadap langsung ke arah danau yang airnya kebiru-biruan seperti air laut.
"Itu danau laut tawar, bang." Tanpa diminta supir SUV yang berewokan tebal memberi tahu. Sang supir menurunkan barang-barang bawaan Anya dan Artha.
Bersama Anya, Artha menjejakan kakinya di teras villa. Tampak sepi, hanya seorang wanita cantik berkerudung yang sedang melintas di teras sambil menggendong anak balitanya.
"Assalamualaikum kak," sapa Artha sambil celingukan bingung menatap Anya yang tiba-tiba saja masuk begitu saja tanpa suara sedikit pun meninggalkannya di teras.
"Aah...waalaikumsalam! Kawan Cut dari Jakarta ya?" sahutnya antusias. Wanita itu berwajah cantik khas Aceh. Berbeda dengan wajah Anya yang justru sulit ditebak asal muasalnya.
Artha mengangguk antusias.
"Mari silahkan masuk. Cut tadi saya lihat masuk ke kamarnya. Mari...mari..." Wanita yang Artha tebak kakak Anya itu mempersilahkan masuk Artha, mengantar Artha ke ruang tamu. Begitu ramah. Berbeda sekali dengan tabiat Anya.
Artha celingukan lagi setelah wanita itu meninggalkan ia sendirian di ruang tamu.
Haduh, Anya kemana sih? Masa gue nyelonong gitu aja....
Artha mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan menemukan Anya yang muncul dari balik korden pintu yang menuju ruang lain.
"Sini lo. Gue antar ke kamar lo." Anya melambaikan tangannya.
"Bokap lo mana?" tanya Artha sempat-sempatnya teringat pada ayah Anya.
"Belum balik. Masih di perkebunan," jawab Anya sambil mengarahkan Artha menyusuri lorong pendek di dalam rumah.
"Meninjau kebun ya?"
"Iya," Anya menjawab ketus.
Artha sedikit heran dengan sikap Anya. Artha merasa Anya lebih galak begitu di Aceh. Efek udara atau memang karena ia tidak senang pulang kampung?
Heran deh ini perempuan galak banget, mirip siapa sih dia? Semoga bukan mirip bokapnya.
Artha mengusap dadanya sambil mengikuti Anya masuk ke sebuah kamar.
Sabar Tha sabaaar. Masih lebih galakan ibu kost nagih uang kost di bandingkan Anya.
"Lo istirahat aja dulu." Anya berujar sebelum keluar kamar meninggalkan Artha yang tampak lelah dan memilih langsung merebahkan diri di kasur.
Selepas mandi air hangat lalu sholat maghrib, Artha mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Artha yang masih mengenakan sarung, membuka pintu kamarnya. Tampak di depannya Anya berdiri dengan balutan kain hitam tebal bermotif etnik. Dia tampak imut dalam balutan kain hitam itu dan lagi-lagi tampak natural.
"Saatnya makan malam," katanya sambil berbalik tapi dengan cepat Artha menarik kain yang dikenakan Anya.
"Kok nggak ada manis-manisnya sih ke pacar?"
"Kita cuma pura-pura pacaran, ok?" Anya menepis tangan Artha yang masih memegang kainnya.
"Kalo gitu kita harus pura-pura mesra juga dong." Artha tiba-tiba meraih tangan Anya dan menggandengnya menuju ruang makan. Anya tidak mampu berkelit. Genggaman Artha begitu kuat.
"Bokap lo belum pulang juga?" Artha bertanya karena mendapati mereka hanya makan berdua saja. Bahkan wanita cantik yang ia temui di teras pun tidak ikut serta makan malam bersama mereka berdua.
"Belum. Udah makan aja jangan bawel kayak nenek-nenek." Anya mulai mengambil nasi dan lauk pauknya yang tidak jauh berbeda seperti yang Artha temui saat mereka makan siang di kedai kopi bang Sultan.
"Terus kakak lo yang cantik kemana?" tanya Artha lagi sambil menyendok nasi ke atas piringnya.
"Kakak gue?" Kening Anya berkerut.
"Iya, kakak lo yang gendong anak balita. Gue ketemu di teras waktu kita baru sampai." Pertanyaan yang langsung membuat wajah Anya berubah kian jutek.
"Bukan kakak gue," Anya menjawab ketus.
"Lalu siapa dia? Hantu penunggu villa?"
"Iya kali." Anya tampak tidak mau memperpanjang obrolan. Sementara Artha malah mulai percaya kalau wanita cantik di teras itu hantu villa. Hiiii....
Tepat setelah mereka menghabiskan makan malam, tiba-tiba terdengar deru mesin mobil berhenti di halaman villa. Anya mengelap mulutnya dengan serbet makan. "Pasti bokap gue." Anya bergegas bangkit dari kursinya, disusul Artha yang tampak penasaran.
Begitu Anya membuka pintu, Artha melihat seorang pria berkumis dan brewok tebal turun dari mobil jeep hijau army. Penampilannya tidak jauh beda dengan koboi Amerika. Lengkap dengan topi koboi dan sepatu boot tinggi sebetis, pria tua itu tampak garang dan berwibawa. Sorot matanya pun tajam sehingga langsung membuat dengkul Artha mendadak lemas saat mereka berdua beradu pandang untuk pertama kalinya.
Duh gusti...bokap Anya kok mirip tuan Takur....
*Keterangan:
Pu haba : apa kabar
Haba geut : kabar baik
Bek beungeh : jangan marah
Kuah Pliek u : makanan bersantan khas Aceh mirip gulai yang bahan utamanya terdiri dari nangka muda, kacang panjang, kacang tanah, pepaya muda dan sebagainya.