Seperti cacing kepanasan, cewek mungil itu tidak bisa duduk diam. Berkali-kali ia mencengkram roknya kuat. Kemudian menggigit bibir bawah, sambil sesekali melirik cowok yang sedang mengemudi di sebelahnya. "Raf...," panggil Runa pelan. "Gue boleh nanya?"
Rafael tidak menjawab, merespon pun tidak. Kedua matanya terarah lurus ke depan.
Runa menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Dalam hati, ia getar-getir. Namun, mulut tidak bisa diajak kompromi. Penasaran, pertanyaan itu tetap meluncur begitu saja. "Kenapa sih, sikap lo gitu banget ke Papa Daniel?"
Cengkraman tangan cowok itu di setir kian menguat. Kedua rahangnya mengeras. Sorot mata itu berpuluh kali lipat lebih tajam dari biasanya. Melihatnya, sisa-sisa keberanian Runa menguap. Nyalinya ciut. Dipaksanya air liur melewati kerongkongan. "Oke, gue telen lagi pertanyaan gue. Nggak usah jawab kalo nggak mau."
"Lo lupa sama perjanjian kita yang kedua?" desis cowok itu tajam.
Runa mengembuskan napas panjang. Pasrah. "Gue inget. Gue nggak boleh ikut campur sama urusan pribadi lo."
"Baguslah kalo ternyata otak lo masih berfungsi," jawab Rafael ketus hingga membuat Runa mencibir.
Kesunyian kembali menghiasi perjalanan mereka. Tidak satu pun yang bicara. Runa juga tidak berani mematahkan kesenyapan itu, atau sekedar menyalakan radio karena ia tahu, cowok ini sedang tidak dalam mood untuk diajak berdebat.
"Jangan nyebarin tentang pernikahan kita di sekolah. Cukup guru aja yang tahu. Kalo sampe kesebar, lo orang pertama yang gue cari!"
"Yeeee, lo kira gue gila nyebarin aib sendiri!" cibir cewek itu. "Eh! Tapi, kalo ngasih tahu temen deket gue boleh, kan? Satu orang doang, kok."
"Boleh,"—Rafael mengangguk--"dengan syarat temen lo gagu, atau punya penyakit amnesia akut yang bisa langsung ngelupain ucapan lo setelah lima detik lo cerita."
Runa kontan melotot. Ia mendengus. "Pokoknya gue cerita ke Dita! Titik! Gue bisa gila kalo nggak ada temen berbagi!"
"Inget, kalo sampe nyebar, elo orang pertama yang gue cari!" ancam Rafael.
"Tenang aja sih, Dita mulutnya aman, kok." Runa berdecak kesal karena Rafael meragukan sohibnya.
"Jadi, lo udah paham kan, nggak ada yang boleh tahu soal kita?" tanya cowok itu lagi.
"Iya! He-eh! Gue pahaaaam!" jawab Runa kesal.
"Bagus!"
Rafael menginjak rem mendadak hingga mobil dipaksa berhenti. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Runa, membuka pintu penumpang dan melepas seatbelt cewek itu. "Karena lo udah paham, silakan turun."
Runa melongo. "Raf, kagak ada bus di deket sini. Angkot juga jarang lewat."
"So? Gue liat kedua kaki lo masih sehat."
Cowok itu sukses membuat Runa terperangah. Gila, nih cowok beneran tega nyuruh gue jalan kaki ke sekolah? Namun, keraguannya musnah begitu mendengar perkataan cowok itu selanjutnya. "Cepetan! Katanya lo udah paham? Kalo sampe ada yang ngeliat lo turun dari mobil gue, itu sih, bukan cuman bakal ketahuan. Tapi, ngasih pengumuman!"
Muka Runa memerah. Napasnya memburu. Dengan emosi yang tidak terbendung, ia melompat turun dari mobil Rafael dan membanting pintu sangat keras.
Moga-moga aja tuh pintu copot. Meski kenyataannya mustahil, karena mobil mewah buatan Jepang itu bukan cuman harganya yang melambung. Kualitas juga sangat terjamin!
Tepat di depan wajah Runa, mobil Rafael melesat pergi, menyisakan asap knalpot dan kemarahan serta perasaan terinjak-injak.
"RAFAEL SIALAN! COWOK BERENGSEK! GUE SUMPAHIN LO KENA KARMAAAA!!!
***
"Nih, lo minum dulu." Dita mengulurkan segelas es teh manis ke arah Runa. Cewek itu langsung menyambarnya. Dalam hitungan detik, isi gelas itu tandas.
Runa membanting gelas ke meja. "Emang berengsek tuh cowok! Lo tahu nggak, Dit? Setelah Rafael ninggalin gue di pinggir jalan, gue hampir aja keserempet mobil. Gue juga kena cipratan air dari motor. Gila, dosa apa gue bisa kejebak sama dia?"
"Yang sabar ya, Run. Namanya juga Rafael. Lo masih selamet setelah semaleman sekamar sama dia aja udah syukur lo. Eh, tapi bener kan, semalem nggak terjadi apa-apa?" Kedua mata Dita menyipit.
Sontak Runa melebarkan kedua mata. "Ih! Liat aja kalo dia berani nyentuh gue! Gue racunin makanan dia, terus gue tenggelemin mayatnya ke kali Cisadane."
Suasana kantin tempat Runa dan Dita berada, mendadak gaduh. Cewek-cewek memekik kegirangan, terbirit-birit lari ke arah lapangan basket.
"Ada apaan sih, Dit?" Runa menautkan kedua alis.
"Mana gue tahu, gue bukan paranormal! Bentar." Dita menoleh ke kiri dan kanan. Begitu Mawar—cewek yang kalau sudah buka mulut panjang kalimatnya nyaingin air terjun Niagara—lewat, Dita langsung menyambar tangan cewek itu.
"Eh, War. Ada apaan, sih?"
Mawar kontan melotot. "Ditaaa, makanya kalo punya kuping itu dipake, jangan ditempel doang. Lo juga dianugerahin mata bukannya bersyukur terus dimanfaatin baek-baek, malah lo sia-siain, atau lo keasikan ngegosip? Aduuuh. Itu sih, lebih parah lagi. Lo tahu sendiri kepanjangannya, digosok makin sip! Coba lo bayangin kalo lo di posisi orang yang digosipin. Nggak enak, kan? Jadi—"
"Aduh, Mawaar... kagak ada shortcut kalo ngomong sama lo, ya? Mending lo langsung kasih tahu pada kenapa tuh cewek-cewek?" potong Runa.
"Lah? Lo berdua beneran kagak tahu? Itu loh, Rafael. Dia lagi tanding basket di lapangan. Kenapa emang? Atau jangan-jangan lo berdua nggak tahu Rafael Dafano? Jadi, dia itu—"
Belum selesai Mawar bicara, Runa dan Dita langsung tancap gas. Sori, bukannya mau tidak sopan, tapi kalau nunggu kata-katanya si Mawar nyampe titik, keburu cicit-cicit mereka wisudaan.
Pernah sekali teman sekelas mereka—yang usut punya usut ada rasa sama si Mawar—coba menunggu sampai tuh cewek kalimatnya selesai. Besoknya, tuh cowok kagak masuk. Diopname dengan diagnosis dari dokter gendang telinganya rusak, karena terpapar polusi suara terlalu lama. Hiiy! Ngeri nggak, tuh?
Runa dan Dita berdiri di pinggir lapangan. Karena cewek-cewek yang berkumpul menyaingi acara jumpa pers artis terkenal, pandangan Runa dan Dita terhalang.
Mereka lalu menyerbu kerumunan. Tidak lupa dengan kedua tangan melindungi kepala, sambil sesekali mengucapkan kata permisi yang sebenarnya percuma. Wong sekitar mereka teteriakan semua!
Susah payah akhirnya sampai juga di baris paling depan, kemudian berdiri dengan kening berlipat. "Jiah! Cuman tinggal credit. Tandingnya udahan kayaknya, Run. Liat aja si Rafael udah ketawa-tawa sama temen-temennya di pinggir lapangan. Pasti tim dia menang, deh," gerutu Dita.
Runa menyipitkan mata. "Eh, siapa tuh, Dit?" tunjuk Runa pada cewek berambut panjang yang menghampiri Rafael. Cewek itu memeluk Rafael dari belakang.
"Oh... selir 003, Sasa, anak XII IPA 1. Pasti dia dateng mau ngasih selamat ke rajanya tuh, 'Cayang, kamu hebat, deh! Aku makin cinta cama kamu,' kira-kira gitu deh, dia ngomong," ledek Dita.
Runa tertawa geli.
"Eh, dateng lagi tuh," tunjuk Runa pada dua cewek yang memeluk lengan kanan dan kiri Rafael.
"Nah, kalo yang nemplok di lengan kiri itu selir 001, Dela, anak XII IPS 1. Yang di lengan kanan, Anggri, selir 004 anak XII IPA 2. Si Anggri ini sekelas sama Rafael."
"Dit, kok, lo bisa tahu, sih?"
Dita nyengir kuda, menampilkan deretan gigi putihnya. "Apa sih, yang nggak terendus si ratu gosip Dita? Pak Danung guru penjas kita tunangan sama Bu Endang aja gue tahu."
Runa memukul pundak Dita pelan. "Terus, mana selir 002?" Runa menebarkan pandangannya berkeliling.
"Lagi berantem dia sama Rafael, Run. Menurut hasil penyelidikan gue, si selir 002 yang namanya Nana pengen Rafael putusin semua ceweknya yang laen. Dia pengen Rafael setia sama dia. Mungkin dia pikir berhasil ngebuat tuh cowok fell in love kali. Sableng emang, udah tahu buaya, masih aja masukin kepala ke mulutnya," ucap Dita yang lagi-lagi membuat Runa terkikik geli.
"Balik, yuk. Kagak ada yang seru nih," ajak Dita.
***
Niko yang berdiri di belakang Rafael tidak henti-hentinya tertawa, menatap sohibnya yang sedang digandrungi tiga cewek. "Kapan mau tobat?"
Rafael menoleh. Ia menyeringai. "Life is adventure, Man."
Tawa Niko kembali pecah sambil geleng-geleng kepala. Sarap memang sohib yang ia kenal sejak SD ini. Tidak sengaja, perhatian Niko teralih ke arah koridor. Ia lalu mendekati Rafael, menyikut pelan perut cowok itu dan berbisik, "bini tuh."
Rafael menoleh. Dilihatnya Runa sedang berjalan dengan Dita.
Entah takdir merencanakan apa, Runa tiba-tiba menoleh. Saat kedua mata mereka bertemu, Runa menghentikan langkah. Tanpa suara. Tidak ada pergerakan. Mengabaikan keramaian yang ada di sekitar.
Tidak berapa lama, Rafael tersenyum miring. Ia ulurkan tangan kekarnya, memeluk pundak kedua selir dengan pandangan tidak lepas dari Runa. Memamerkan kekuasaan. Menunjukkan pada siapa cewek itu tengah berurusan.
Runa menghunus Rafael dengan sorot mata tajam. Kemudian, diangkatnya jari tengah tinggi-tinggi. Mengisyaratkan tantangan. Mengumumkan ia sama sekali tidak takut dengan cowok itu.
Sontak Rafael terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Saat ia kembali menatap Runa, ternyata cewek itu tidak lagi melihat ke arahnya. Seolah-olah menunjukkan bahwa ia benar-benar tidak peduli, Runa melenggang pergi.
***
"Nyebelin banget tuh cowok! Dia pasti tadi sengaja, Run. Dia mau nunjukin, 'nih liat, betapa hebatnya gue.' Najis! Kayak gitu dibilang hebat? Habibie yang setia sama Ainun baru dahsyat!"
"Ya elah, Dit. Lo yang cuman nyaksiin aja sampe kesel gitu. Gue yang ngejalanin mati merana kali."
"Pokoknya lo jangan sampe ikutan mabok, Run. Jangan kena pesonanya si Rafael. Bukan sekedar ngeledek lagi soalnya nih. Ini menyangkut harga diri! Harga diri wanita yang seringkali teraniaya sama cowok-cowok model buaya kampung itu," emosi Dita.
"SETUJU!" Runa yang sudah terkompori oleh sohibnya, ikut membara. Hatinya panas hingga tidak sengaja, ia menyenggol pundak seorang cewek di koridor dekat kelasnya.
"Eh, sorry," ucap Runa cepat.
Cewek itu sih, tidak jatuh. Disenggolnya juga pelan, kayak ditoel malah. Kagak ada memar, lecet apalagi. Tapi, reaksinya itu looooh. Hadeuh, lebay banget! Runa dan Dita saja sampai melongo.
Setelah cewek itu terdiam cukup lama dengan kepala tertunduk, ternyata dia nangis. Diulang, NA-NGIS! Sesunggukan. Perih. Terlihat sangat menderita sambil memegangi pundak, seolah-olah Runa baru saja menabrakkan tronton ke pundak mungil cewek itu.
"Shirley, lo kenapa?" Teman-teman cewek itu datang. Ini bagian luar biasanya. Si cewek yang dipanggil Shirley itu merajuk, dengan kedua pipi yang dikembungkan. Mungkin kalau di mata cowok-cowok, wah, imutnya! Namun, di mata Runa dan Dita, ew....
"Pundak aku sakit."
Lagi-lagi si Shirley berhasil membuat mulut Runa dan Dita tidak bisa menutup. Suaranya... kenapa tuh? Kayak tikus kejepit.
Teman-teman Shirley melotot marah. Dengan langkah tegap, salah satu teman Shirley yang berambut ikal menghampiri Runa. Kemudian, didorongnya kasar cewek mungil itu hingga menabrak Dita. "Heh! Lo buta? Jalan aja kagak becus! Kalo sampe pundak Shirley patah terus masuk rumah sakit, mau tanggung jawab lo?"
Karena terlalu syok mencerna perkataan temannya si Shirley, Dita dan Runa tidak bereaksi. Sampai akhirnya, Shirley dan pasukan pergi. Kalau dari reaksi lebay tadi sih, kayaknya tujuan mereka UKS. Atau langsung ke UGD?
Begitu kerumunan yang berkumpul karena penasaran mulai bubar, barulah kesadaran kembali didapat. Dita memegang lengan Runa. Wajahnya nampak khawatir. "Lo nggak apa-apa, Run?"
Runa mengerjapkan mata berkali-kali. Kemudian, mengangguk.
"Gila, ini dia yang paling repot," dengus Dita. Kesal.
"Dia siapa, sih? Lo tahu, Dit?" Kening Runa berkerut.
Dita mengangguk. "Shirley Taneysa, anak XII IPA 3. Kalo cewek-cewek yang kita liat di lapangan tadi selir-selirnya Rafael, si Shirley ini ratunya. Cuman dia satu-satunya cewek yang jalan sama Rafael lebih dari satu tahun."