"Run! Jangan kenceng-kenceng dong, service-nya! Gue kewalahan, nih!" gerutu Dita.
Runa nyengir. "Sori." Kemudian, ia kembali memasang kuda-kuda. Begitu ia sudah menemukan titik lemah wilayahnya Dita dan ingin mengayunkan tangan, tiba-tiba sebuah bola dengan kecepatan cukup tinggi melesat ke arahnya.
Runa lengah. Dalam satu hantaman keras, bola itu mengenai kepala Runa. Tak ayal, cewek itu oleng, terdorong cukup keras hingga menabrak pagar besi yang ada di dekatnya.
Dita sontak terperangah. Begitu sadar, ia lari secepat kilat ke arah sohibnya. "Lo nggak apa-apa, Run?" tanyanya cemas sambil membantu Runa berdiri.
Runa mengangguk pelan. Kemudian, matanya menajam, mencari siapa pelaku penembakannya barusan. Kedua rahangnya mengatup keras ketika ia menemukan si tersangka, yang ternyata teman Shirley yang waktu itu mendorongnya di koridor.
Cewek itu sama sekali tidak merasa bersalah. Ia malah tertawa bersama Shirley dan teman-temannya, seakan puas kejadian yang menimpa target sesuai ekspetasi.
Shirley melipat tangan di depan dada. Dagunya terangkat tinggi, dan wajah sombongnya sangat ketara meremehkan Runa.
"Dasar cewek-cewek resek!" desis Runa.
Katanya, kita harus belajar memaafkan dan punya kesabaran melebihi dalamnya sumur. Namun sori, Runa tidak sesuci itu hingga merelakan dirinya teraniaya. Prinsip cewek itu, jika seseorang menampar pipinya, maka akan Runa hadiahi satu bogeman mentah!
Runa berdiri. Gagah. Sama sekali tidak menunjukkan dirinya yang terintimidasi oleh jumlah lawan yang lebih banyak darinya. Ia mengambil satu bola voli yang tergeletak di lapangan. Mengambil ancang-ancang, kemudian dengan gerakan cepat dan ahli, ia mengenai si pelaku penembakan tepat di lengannya.
Si pelaku penembakan—sebut namanya Lola—terperangah. Namun, hanya sesaat. Detik berikutnya, ia mendengus marah. Ia balas Runa dengan service-nya yang tidak kalah cepat dengan serangan Ayip Rizal.
Gendang perang dibunyikan. Dalam sekejap, lapangan voli sudah disulap jadi arena pertempuran membara. Duo Runa VS Lola cs—minus Shirley karena tuh cewek terlalu lembek kayak tahu. Masing-masing kubu menyerang hingga titik darah penghabisan!
Meski jumlah tidak seimbang—tiga lawan dua—tetapi Runa dan Dita tidak gentar. Mereka tetap maju membela kehormatan. Tetap berdiri atas nama persahabatan. Tidak ada istilah mundur dan menyerah saat menghadapi cewek-cewek sok berkuasa kayak si Lola. Sedikit saja mereka menunjukkan ketidakberdayaan, maka keangkuhan Lola cs akan tumpah seperti air bah.
Emosi yang tengah meluap, membuat mereka lupa bahwa dalam permainan voli, bola yang digunakan tuh cuman satu, bukan masing-masing orang pegang satu. Target yang diincar juga wilayahnya, bukan malah badan lawan.
Jadinya, yang terlihat dari sisi penonton bukan lagi permainan voli, melainkan dodgeball bola voli, dengan bola yang ditembakkan keras-keras menggunakan service maut menuju titik kematian lawan.
Kerumunan penonton berkumpul di pinggir lapangan. Sebagian orang bersorak-sorak, menikmati pertandingan itu sebagai tontonan gratis di tengah-tengah penatnya sekolah.
Shirley yang menyaksikan dari pinggir lapangan, mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Napasnya memburu. Kenapa Runa susah sekali ditaklukan? Kenapa cewek itu tidak mau tunduk padanya?
Kemudian, kedua matanya menangkap sosok Rafael yang sedang berlari mendekati arena pertempuran. Shirley terperanjat. Cepat-cepat ia mengambil peran dengan melompat ke tengah lapangan, diam mematung, menunggu salah satu bola menghantam tubuh rapuhnya.
Shirley memejamkan mata. Dalam hati, ia komat-kamit berdoa agar kecepatan bola yang akan menimpuknya masih dalam batas toleransi. Namun, ia lupa Yang Kuasa tidak akan mendengar doa orang-orang licik. Di luar dugaan, bola yang mengenainya adalah bola yang sudah disalurkan tenaga dalam, hingga menghantam keras punggung cewek itu dan membuat ia terjerembab mencium kerasnya tanah.
Insiden jatuhnya si tahu lembek yang begitu fenomenal jadi peluit tanda berakhirnya pertandingan. Kedua kubu menghentikan penyerangan. Dengan wajah ternganga, semua orang melihat ke arah Shirley.
Siapa pemilik bola jackpot itu? Jawabannya adalah Lola yang sekarang terbirit-birit menghampiri tuan puteri gengnya. "Shir, lo nggak apa-apa? Sori, gue nggak sengaja. Lagian lo juga sih, kenapa muncul tiba-tiba?" ucapnya panik sambil membantu Shirley berdiri.
Shirley mengangkat wajahnya. Matanya merah dengan air bening yang sudah menggenang di pelupuk mata. Begitu ia menyadari cairan hangat berwarna merah menetes dari hidungnya, tangis Shirley yang memekakkan telinga itu pecah.
Rafael yang baru tiba di TKP terheran-heran. Pandangannya tertuju pada Shirley yang mimisan dan menangis, kemudian beralih ke Runa. Ke Shirley lagi, terus ke Runa lagi. Begitu terus sampai akhirnya ia menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar.
Ia berjalan mendekati Shirley, mengangkat cewek itu lembut hingga membuat napas para penonton seketika tertahan. Tatapannya menghujam Runa. Tajam. Menusuk. "Lain kali jangan kekanakan!" ucapnya dengan suara dingin.
Cowok itu melangkah pergi. Dita yang tidak terima cowok itu menyimpulkan kesalahan terletak pada sahabatnya, sontak berteriak keras, "HEH, BAJINGAN! LO NGGAK NANYA DULU KEJADIANNYA GIMANA?"
Rafael tetap melangkah tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.
Dita terperangah tidak percaya. Nyaris ia mengejar Rafael dan mencekik cowok itu, tetapi dihentikan Runa yang memegang tangannya.
"Lo nggak apa-apa, Run?" tanya Dita khawatir.
Runa menoleh ke Dita. Memberikan satu senyuman kecil, kemudian mengangguk.
Kedua mata Dita melebar horor. "Run, tangan lo!"
Runa meletakkan jari telunjuk di depan bibir, meminta Dita agar diam.
Tangan kiri Runa menekan keras lengan kanannya. Menahan rasa sakit yang teramat sangat. Perih yang tidak terbendung, berpusat pada lengan kanannya yang berdarah karena membentur pagar besi tadi.
Karena warna kaus olahraga SMA Belajarbharsama berwarna hitam, merah darah memang tidak terlalu terlihat di baju itu. Kecuali dibidik menggunakan teropong, atau dipelototin langsung seperti yang dilakukan Dita sekarang.
"Darahnya lumayan banyak, Run. Kok, lo bisa tahan, sih? Duh, bego banget gue baru sadar sekarang. Kita ke klinik aja, ya?" ucap Dita khawatir, nyaris menangis.
Dengan pandangan yang sulit dijelaskan, Runa menatap ke arah Rafael dan Shirley menghilang tadi. Detik berikutnya, Runa tertawa miris, menggigit bibirnya kuat.
Rasa kesal yang tidak tertahankan ini...
Tanpa sadar, setetes air bening terjatuh dari mata bulatnya.